Pantai nan Indah di Pulau Sumba
Foto: koran jakarta/selocahyo basukiPulau Sumba di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Sumbawa, Flores, Timor dan Australia memiliki banyak pantai-pantai yang indah.
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang dikaruniai kekayaan dan keindahan alam yang memesona. Dengan lebih dari 17 ribu pulau, membuat keragaman wisata alam dan budaya seolah tidak ada habisnya. Begitu banyaknya wisata alam di Indonesia yang masih tersembunyi dan belum diketahui oleh banyak orang. Saat ini, lewat sejumlah cara, pemerintah sedang berusaha mengangkat berbagai destinasi wisata yang terdapat di Indonesia Timur. Adalah Nusa Tenggara Timur, sebuah provinsi dalam gugusan Sunda Kecil di Kepulauan Nusa Tenggara yang banyak menarik perhatian para wisatawan. Wilayah ini terdiri dari lebih kurang 550 pulau, dengan tiga pulau utama, yaitu Pulau Flores, Pulau Timor Barat, dan Pulau Sumba.
Pulau Sumba, sebuah pulau di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Dengan kondisi geografis seperti itu, Pulau Sumba memiliki banyak pantai-pantai yang indah.
Belum lagi dari sisi kultur budaya. Masyarakat yang tinggal di pulau yang sempat dikuasai oleh Hindia Belanda pada 1866 itu juga memiliki kebiasaan yang unik dan layak untuk dilihat. Masyarakat Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Sementara kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.
Desa Adat Ratenggaro
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba, yang tetap mempertahankan adat istiadat asli di tengah-tengah arus budaya luar asing yang telah masuk ke wilayah Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Adalah kepercayaan khas daerah Marapu, yang masih dipegang teguh secara turun-temurun.
Kepercayaan ini membawa suku Sumba pada banyak kebiasaan. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba, mulai dari upacara-upacara adat, umaratu (tempat ibadah), rumah adat, dan tata cara rancang bangunnya, desain corak kerajinan ukiran dan tekstil, pembuatan perangkat busana, perhiasan dan senjata. Tradisi Marapu juga diterapkan pada berbagai kegiatan, mulai cara memperlakukan orang yang sudah meninggal, sampai memperlakukan pemimpin raja.
Bagi wisatawan yang tertarik melihat dari dekat jejak nyata budaya Sumba, dapat mengunjungi Desa Adat Ratenggaro yang terletak di Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Secara geografis, letak kampung ini bersebelahan dengan Kampung Adat Wainyapu yang juga terletak di pinggir pantai dan muara Sungai Waiha.
Salah satu daya tarik dari destinasi ini adalah bangunan rumah adat dengan ciri khas bentuk atap yang mencuat tampak seperti menara dengan ketinggian sekitar 15 meter. Sebagaimana bangunan tradisional lain yang banyak dijumpai di berbagai daerah, atap rumah-rumah warga tersebut masih menggunakan bahan dasar jerami kering. Ketinggian puncak atap pada setiap bangunan yang ada mencerminkan status sosial sang pemilik, semakin tinggi semakin kaya dan terhormat.
Rumah adat ini terdiri dari empat buah tingkat, paling bawah digunakan untuk kandang hewan peliharaan, tingkat kedua tempat pemilik tinggal, tingkat ketiga untuk menyimpan hasil panen, dan paling atas untuk dapur. Sebagian pemilik juga menggunakan tingkat paling atas sebagai tempat penyimpanan benda pusaka, dan tanduk kerbau sebagai lambang kemuliaan.
Kampung adat ini sempat mengalami kerusakan akibat abrasi. Lokasi kampung sekarang di atas dinding tebing, lengkungan muara Sungai Waiha adalah hasil pemindahan yang dilakukan secara gotong royong oleh warga.
Selama berada di Desa Adat Ratenggaro, wisatawan akan merasakan suasana yang berbeda. Kesan dingin, misterius, sekaligus eksotis berpadu hadir dari jajaran bangunan-bangunan beratap tinggi. Betapa tidak, unsur nama tempat itu "Rate" yang berarti kuburan, dan "Garo" berarti orang-orang Garo, berasal dari sejarah perang antarsuku. Pihak yang kalah perang akan dikubur di lokasi tersebut.
Setidaknya terdapat 300 kuburan adat dari zaman megalitikum di sekitar Kampung Adat Ratenggaro. Batu-batu nisan kuburan yang berbentuk khas itu tampak kokoh meski dimakan cuaca dan telah berusia ribuan tahun. Hal itu tampak dari bentuk pahatan yang ada pada batu kuburan yang masih jelas terlihat. Keunikan lainnya adalah seluruh peninggalan leluhur tersebut posisinya menghadap ke laut, seolah menghantarkan penghuninya beristirahat, menyatu dengan keindahan alam yang ada.
Pesona Ratenggaro tak hanya terpancar dari khasanah adat setempat. Kita akan dihadapkan pada landskap alam yang luar biasa. Desa yang berada di kawasan pesisir itu memiliki akses menuju pantai. Nikmati bonus berupa perpaduan hamparan biru samudera dengan pantai berpasir putih, lekukan magis batuan nisan tua, dan padang rumput nan hijau. Sebuah mahakarya luar biasa yang dapat kita nikmati sambil merasakan lembutnya butiran pasir yang memeluk telapak kaki, diselingi orkestra ombak memecah karang dan kicauan burung laut.
Meski belum sepopuler pantai-pantai lain di Tanah Air, suasana tenang, bersih dan alami menjadi salah satu keunggulan tempat ini.
Untuk mencapai Desa Adat Ratenggaro dari pusat Kota Tambolaka, pengunjung akan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam. Berbagai moda transportasi bisa dipilih, mulai kendaraan travel sewa, atau angkutan umum berupa bus. Untuk bus, pilih jurusan Tambolaka-Kodi, turun di Bondo Kodi dan lanjutkan perjalanan dengan ojek roda dua menuju lokasi.
Untuk penginapan, wisatawan dapat memilih bermalam di Tambolaka karena belum ada fasilitas hotel atau homestay di obyek wisata adat tersebut.
Tambolaka sendiri merupakan Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat Daya yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat. Dalam sejarah, Paraingu atau kampung besar merupakan sistem pemerintahan tradisional Sumba. Seiring dengan bertambahnya jumlah orang-orang yang datang dari luar, masyarakat Sumba membentuk berbagai kelompok kekeluargaan besar atau klan yang didasarkan atas kesamaan asal usul dan Marapu yang disembah. Kelompok ini disebut dengan nama kabihu.
Beberapa kabihu ada yang bergabung dengan wilayah lain yang membangun wilayah sendiri yang tetap diatur dengan hukum dan cara yang berlaku pada waktu itu. Hingga kedatangan penjajah Belanda yang mengubah sistem Paraingu menjadi sistem kerajaan yang bertujuan untuk menguasai wilayah Sumba.
Untuk menuju destinasi wisata ini, Anda yang dari Jakarta bisa menggunakan pesawat Garuda Indonesia atau Sriwijaya Air dengan tujuan Bandara Tambaloka, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. SB/E-3
Menikmati Pantai Pero
Surga wisata bahari adalah julukan yang cocok untuk Pulau Sumba. Salah satu serpihan surga tersembunyi Sumba lainnya adalah Pantai Pero. Seperti halnya Pantai Renggano, pantai yang terletak di Desa Pero Kodi, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya ini juga menawarkan suasana alami yang masih jarang tersentuh keramaian turis.
Meski berjarak sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Sumba Barat Daya, wisatawan hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam karena kondisi jalan yang relatif sepi.
Saat tiba di lokasi, wisatawan akan disambut dengan sebuah gardu pandang. Melanjutkan perjalanan ke arah pantai, kita akan melewati padang rumput yang cukup luas, seolah sebagai pembatas pusat keramaian di darat dengan kawasan pantai yang eksotis.
Pantai Pero merupakan sebuah teluk dengan landskap yang khas. Bagian hilir sungai tidak langsung menuju laut, tetapi dipisahkan daratan pantai berpasir putih yang terlihat seperti jembatan alami. Sementara itu pada bagian tengah pantai terdapat banyak batu karang berukuran besar bertonjolan, terlihat perkasa dan kontras dengan hamparan ombak yang membiru.
Selain lukisan alam karya Sang Pencipta, ombak pantai yang cukup tinggi seolahvmenantang untuk ditaklukkan. Tak sedikit peselancar yang jauh-jauh datang untuk memuaskan hasrat petualangannya. Aktivitas para penunggang ombak ini juga menjadi tontonan seru, dan melengkapi hamparan pemandangan yang tersedia.
Aktivitas nelayan yang bersiap melaut di pelabuhan kecil yang ada juga menjadi pemandangan khas pada sore hari. Mereka berasal dari perkampungan di sekitar pantai, dan telah turun temurun menjalankan profesi itu. Sebagian keluarga juga tampak ikut mengantar, sambil duduk menikmati tiupan angin laut yang membelai wajah. Para nelayan terlihat hilir mudik membawa perlengkapan menuju perahu mereka. Sementara sebagian perahu yang sudah lebih dahulu bertolak, tampak berjajar di garis horizon, seperti mainan warna-warni di antara langit dan laut biru. Wisatawan juga bisa langsung memesan ikan hasil tangkapan nelayan untuk di panggang.
Sore hari adalah waktu yang tepat untuk menikmati suasana Pantai Pero. Pancaran surya yang mulai meredup menghadirkan nuansa jingga di garis horizon, dengan bola keemasan sebagai pusatnya. Suasana senja memang merupakan magnit dengan keindahan memukau yang sulit dilukiskan. Semua mata memandang dan waktu seakan berhenti demi turut menikmati keajaiban alam yang ada. SB/E-3
Redaktur:
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Akhirnya Setelah Gelar Perkara, Polisi Penembak Siswa di Semarang Ditetapkan Sebagai Tersangka
- 2 Jakarta Luncurkan 200 Bus Listrik
- 3 Krakatau Management Building Mulai Terapkan Konsep Bangunan Hijau
- 4 Indonesia Bersama 127 Negara Soroti Dampak dan Ancaman Krisis Iklim pada Laut di COP29
- 5 Kemenperin Usulkan Insentif bagi Industri yang Link and Match dengan IKM
Berita Terkini
- HUT ke-25, Dharma Wanita Persatuan Kemendagri Berperan Penting Wujudkan Indonesia Emas 2045
- Pemprov Jateng Miliki 79 Sekolah Damai Cegah Terorisme
- MK Tetap Terima Gugatan Pilkada Meski Lewat Batas Waktu Pendaftaran
- Pemkab Bogor Luncurkan Program Ini untuk Hilangkan Kesan Wilayah Kumuh
- Pemkot Kediri Siagakan Satgas Penanggulangan Bencana Hidrometeorologi