Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebutuhan Pokok I Bapanas Harus Fokus Buktikan Bisa Tingkatkan Produksi Pangan

Pangan Global Semakin Mengkhawatirkan

Foto : ANTARA/IGGOY EL FITRA

TINGKATKAN PRODUKSI PANGAN I Petani menanam padi di areal sawah dekat permukiman, di Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat, belum lama ini. Badan Pangan Nasional (Bapanas) diminta fokus membuktikan diri untuk bisa meningkatkan produksi pangan Indonesia sehingga dapat mengurangi kuota impor pangan.

A   A   A   Pengaturan Font

» Kemampuan Bulog menyerap produksi petani dengan harga setara dengan swasta sangat kurang.

» Salah satu penyebab harga pangan di Indonesia selalu naik turun karena tidak memiliki alat untuk memperpanjang masa simpan (shelf life).

JAKARTA - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan bahwa tantangan pangan global saat ini cukup mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu beralasan karena jumlah penduduk dunia terus bertambah, sementara lahan pertanian semakin sempit sehingga harga pangan semakin mahal. Kondisi tersebut ditambah dengan faktor geopolitik tidak bisa diprediksi.

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (10/5), mengatakan salah satu solusi yang harus dilakukan pemerintah guna mengantisipasi kekhawatiran itu adalah dengan meningkatkan produksi pangan dalam negeri.

"Masalahnya, setelah produksi dalam negeri naik, sudah banyak, saking banyaknya malah harganya jatuh. Jadinya petaninya enggan menanam lagi, peternak juga. Kita tidak ingin begitu. Jadi, tugas kita semua termasuk Badan Pangan Nasional bersama BUMN, mempersiapkan pada saat produksi meninggi berperan sebagai offtaker," jelas Arief.

Salah satunya dengan memperkuat distribusi logistik pangan di seluruh wilayah Indonesia melalui pengembangan sarana prasarana rantai dingin (cold chain) sehingga produk pertanian tetap aman dan kualitasnya tetap terjaga.

"Aspek perpanjangan shelf life atau kerap disebut masa simpan pangan merupakan faktor penting dalam menunjang distribusi logistik pangan yang menjangkau seluruh daerah. Terkait itu, kami menaruh atensi pada pengembangan sarana prasarana rantai dingin atau cold chain," kata Arief.

Di luar negeri, jelas Arief, sudah dimulai beberapa waktu lamanya. Kalau kita baru mulai, tidak mengapa. "Kita sudah memulai tapi cepat, karena Indonesia ini tidak seperti negara lain, kita ini negara kepulauan," kata Arief.

Salah satu penyebab harga pangan di Indonesia selalu naik turun karena tidak memiliki alat untuk memperpanjang masa simpan (shelf life). "Itu ada apel fuji dari Tiongkok bagian utara, walaupun di sana sedang winter, tapi masih bisa terus kirim. Itu karena mereka bisa mengatur tidak hanya suhunya saja, ada namanya control atmosfer storage," jelasnya.

Menurut Arief, ketahanan pangan yang benar adalah ketahanan pangan yang mendahulukan kemandirian pangan. Salah satu cara menjaganya adalah dengan memiliki alat untuk memperpanjang masa simpan (shelf life) dan disimpan tanpa mengurangi kualitas pangan.

Arief juga menyatakan kalau pihaknya tengah menyiapkan Peraturan Badan Pangan (Perbadan) untuk mengatur mengenai perubahan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium sampai 31 Mei 2024.

Sebelumnya, HET beras premium yang berlaku sejak 10 Maret-24 April 2024 naik seribu rupiah menjadi 14.900- 15.400 per kilogram (kg) dari sebelumnya 13.900-14.400 rupiah per kg.

Bereskan Produksinya

Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Masyhuri, mengatakan Bapanas harus fokus membuktikan diri bisa meningkatkan produksi pangan Indonesia. Sebab, baru saja pada tahun lalu, Indonesia kekurangan banyak stok pangan, beras sampai sayuran, dan harus menambah kuota impor hingga puluhan ribu ton, bahkan lebih dari tiga juta ton beras.

"Problem produksi ini apa strategi dan programnya. Kemarin El Nino saja tidak siap. Nanti alasan apalagi. Menyangkut pascaproduksi memang penting, tapi produksinya dulu yang diberesin," kata Masyhuri.

Berkaitan dengan penyimpanan hasil panen, Indonesia sudah berkali-kali mencobanya dengan berbagai macam metoda, namun hingga saat ini belum terbukti ada yang berhasil.

"Di masa lalu, pemerintah punya sistem subterminal agri bisnis, tapi gagal. Di masa Jokowi, pemerintah punya sistem membangun gudang dan petani bisa menitipkan panennya secara fisik, juga gagal berjalan. Terakhir Sistem Resi Gudang (SRG) juga tak tampak membuah hasil," kata Masyhuri.

Problem utamanya ada di para petani yang tidak tertarik untuk menggunakannya. Sepanjang tahun lalu, petani bahkan tidak punya stok untuk disimpan karena pasar kekurangan stok.

Begitu juga di perikanan, cold storage yang sangat dibutuhkan nelayan sampai saat ini juga belum ada yang terbukti sukses, kecuali milik swasta yang fokus pada pasar ekspor.

"Perlu banyak pembenahan di produksi dulu, baru kemudian soal sistem gudang dan cold storage," kata Masyhuri.

Dihubungi terpisah, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan perlu adanya koneksitas pelaku dan data produksi, distribusi, dan konsumsi pangan nasional. Koneksitas antara petani, pedagang, dan konsumen (buruh) di antaranya dengan mengembangkan koperasi multipihak di sektor pangan.

Adapun teknisnya, terang Awan, koperasi harus dimiliki oleh kelompok/ koperasi yang terkait dengan rantai pasok pangan, seperti halnya petani, pedagang, konsumen, dan sebagainya.

"Hal ini supaya ada koneksitas antarpihak yang menjadi basis produksi, harga, dan pasar," ungkapnya

Sementara itu, peneliti Celios, Nailul Huda, mengatakan peran BUMN, khususnya Bulog, bukan hanya menjadi offtaker ketika produksi tinggi (masa panen), namun juga sebagai penyalur ke konsumen ketika harga rendah. Masalahnya adalah ketika memasuki masa tanam, penyerapan Bulog sangat rendah.

Secara bisnis, papar Huda, Bulog tidak dapat bersaing dengan perusahaan beras swasta. "Kemampuan Bulog menyerap dengan harga setara dengan swasta sangat kurang. Karena penyerapannya anjlok, stok di Gudang Bulog menipis," kata Huda.

Swasta, kata Huda, melihat situasi tersebut sebagai peluang untuk mengatrol harga. Harga di konsumen jadi naik dan Bulog tidak punya cukup kekuatan untuk menambah pasokan di pasaran. Harga pun semakin tidak terkendali. "Jadi, tantangan sebenarnya di dalam negeri yang kusut di Bulog dan Bapanas," ungkap Huda.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top