Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Mitigasi Krisis | Sektor Keuangan Sangat Rentan terhadap Dampak Resesi Dunia

Pacu Sumber Baru Perekonomian

Foto : ISTIMEWA

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Tiga fenomena tinggi mengancam semua negara dunia, mulai dari inflasi dan suku bunga tinggi hingga pembengkakan beban utang. Pemerintah bersama bank sentral harus piawai menghadapi ancaman ini.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara, mengingatkan bayang-bayang dari ketidakpastian global juga harus terus diwaspadai. "Sepertiga dunia akan ada dalam periode sangat sulit, bahkan dikatakan resesi. Sementara dua pertiga pasti kena dampak, tetapi dampaknya hampir pasti berbeda-beda. Untuk Indonesia, kita minimalkan dengan fundamental domestiknya kuat. Itu yang sumber optimismenya," kata Wamenkeu di Jakarta, Jumat (13/1).

Untuk mengantisipasi dampak resesi di negara maju, Wamenkeu mengungkapkan Indonesia perlu untuk mencari sumber baru pertumbuhan ekonomi, yakni dengan melanjutkan hilirisasi sumber daya alam, menggunakan produk dalam negeri, mengembangkan UMKM, dan transisi ke ekonomi hijau.

"Ini sudah mulai digaungkan dan kita terus lakukan dengan disiplin karena akan menciptakan banyak sekali multiplier effect di dalam negeri. Empat ini adalah sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia dan itu didorong oleh fundamental kita," jelas Wamenkeu.

Lebih lanjut, ketika dunia resesi, Wamenkeu menekankan sektor keuangan memiliki tingkat kerentanan cukup besar karena memiliki eksposur ke global yang tinggi.

"Pasti kita harus sangat sangat waspada bagaimana hubungan financial sector kita dengan global," kata Wamenkeu.

Sektor lain yang juga terdampak resesi adalah industri manufaktur berorientasi ekspor. Menurut Wamenkeu, ketika pendapatan di negara-negara tujuan ekspor turun, permintaan barang dan jasa ke Indonesia juga ikut melemah. Untuk itu, perlu meningkatkan daya saing dan memperbaiki efisiensi.

"Dunia usaha kemudian meningkatkan penggunaan input yang efisien sehingga produknya itu menjadi kompetitif harganya. Ini mesti diterjemahkan ke setiap dunia usaha. Teman-teman di asosiasi sekarang saya rasa sudah cukup mendalami ini dan kita tentu akan men-support dari pemerintah seperti apa yang harus kita lakukan untuk menjaga competitiveness kita terhadap barang-barang yang kita ekspor ke luar," papar Wamenkeu.

Antisipasi Ancaman

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan selama ini bank sentral memang sudah mengantisipasi ancaman gejolak global dengan menaikkan suku bunga acuan. Pengetatan moneter itu dimaksudkan untuk mengurangi tekanan terhadap capital outflow atau pelarian modal asing ke luar negeri.

Namun kata dia, harus ada upaya tambahan dengan menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) di atas 8 persen. Keputusan Bank Indonesia (BI) yang mengerek rasio GWM rupiah perbankan di atas 8 persen akan berdampak pada penyaluran kredit perbankan. Apalagi di saat yang sama, perbankan akan mempercepat transmisi kenaikan BI 7 days repo rate menjadi 5,5 persen pada akhir 2022 dengan menaikkan suku bunga kredit.

"Dari kenaikan GWM dan kenaikan suku bunga ini, tentu saja dampaknya nanti bank akan melakukan pengetatan likuiditas. Implikasinya bank akan kehilangan sumber daya yang harusnya bisa diputar, kredit menjadi terbatas. Sementara cost of fund-nya akan meningkat," ucapnya.

Tak hanya itu, bank sentral juga harus secepatnya melakukan operasi pasar agar dollar tidak lari ke luar negeri atau nilai tukar rupiah terus tertekan.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top