Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Wisata Blora

Oro-oro Kesongo, Fenomena Gunung Lumpur di Zona Perbukitan Kapur

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Sebagian Blora berada di Zona Rembang atau wilayah perbukitan kapur. Di tempat ini banyak munculnya gunung lumpur akibat terjadinya cekungan sedimentasi salah satu adalah Oro-oro Kesongo.

Di Zona Rembang di Kabupaten Grobogan terdapat gunung lumpur Bledug Kuwu dan Bledug Cangkring yang terkenal. Sementara Kabupaten Blora fenomena alam serupa juga ada dengan nama Oro-oro Kesongo yang saat ini disebut dengan Kawasan Geowisata Kesongo.

Oro-oro Kesongo yang berada di Desa Gabusan, Kecamatan Jati. Tempat ini berupa area terbuka yang luas membentuk lingkaran. Pada sisi dalamnya berupa pemandangan tanah kering yang tadinya adalah lumpur. Pada titik tertentu terdapat kerucut lumpur (grifon) yang tidak aktif.

Pada bagian lain terdapat genangan lumpur (salsa) dalam kondisi basah. Salsa ini selalu berpindah-pindah. Penelitian Salahuddin Husein PhD, dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik(FT) Universitas Gadjah Mada (UGM), menyebutkan pada 2013 salsa berada di sisi barat, sedangkan pada 2016 berpindah di sisi selatan dari aliran lumpur.

Pada bagian sekitarnya dengan posisi agak rendah dan sangat luas ditumbuhi dengan rerumputan dan tanaman semak juga beberapa pohon pisang. Lokasi ini menjadi tempat menggembala, bertani, dan berladang, dan menambang garam bagi masyarakat setempat.

Oro-oro Kesongo yang berada di petak 141 RPH Padas BKPH Trembes Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung, Blora, menjadi tujuan wisatawan edukasi. Secara administratif wilayahnya berada di Desa Gabusan, Kecamatan Jati. Lokasi Oro-oro Kesongo berjarak sekitar 60 kilometer dari pusat kota Blora melewati Kecamatan Randublatung dan Kecamatan Jati.

Lokasinya berjarak sekitar 11 kilometer arah timur-tenggara dari kawah lumpur yang lebih banyak dikenal orang yaitu Bledug Kuwu. Wilayahnya memang berada di rangkaian perbukitan yang diberi nama Zona Rembang, atau sering disebut sebagai Zona Perbukitan Kapur Utara, karena banyaknya perlapisan batu gamping/batu kapur di kawasan tersebut.

Zona Rembang ini dibagi dua yaitu Perbukitan Rembang Utara dan Perbukitan Rembang Selatan, dan permukaan keduanya dipisahkan oleh lembah Sungai Lusi. Sedangkan di bawah permukaan keduanya dibangun oleh beberapa patahan anjak yang mengangkat perlapisan batuan lebih tinggi daripada sekitarnya.

Padang rumput pada zona depresi yang luas ini disebut oro-oro oleh masyarakat setempat. Tempat terbuka yang luas merupakan bagian depresi yang terjadi karena kekosongan pada rongga di bawahnya akibat terjadinya letupan lumpur yang keluar.

Selain menciptakan gunung lumpur juga berdampak pada penurunan (ambles) permukaan tanah di sekitarnya. Tanah yang ambles ini membentuk depresi melingkar (depresi kaldera). Semakin besar volume lumpur yang keluar, semakin besar pula area amblesannya.

Dampaknya tanah di sekitar gunung menjadi amblasan yang menghasilkan pada rumput yang luas di sekitarnya. Sedangkan zona genangan lumpurnya saja mencapai 104 hektare dengan kawah seluas 3,29 hektare.

Berbeda dari Bledug Kuwu yang selalu melepaskan gas terus-menerus, kawah Kesongo melepaskan gas dalam bentuk erupsi lumpur cair yang terjadi secara mendadak dan tidak dapat diprediksi. Namun demikian kadang erupsinya bisa cukup besar dengan tinggi mencapai 20 meter lebih.

Letupan terbesar Bledug Kuwu yang dinamai Joko Tuwo sesuai mitos misalnya meletup secara periodik sekira 15 detik sekali dengan bunyi bledug seperti namanya kini. Lemparan lumpur sekira 5-10 meter ke udara dan jatuh ke tanah sekitar 10 meter.

Letupan terkecil disebut Roro Denok di Bledug Kuwu, bunyinya lebih lemah. Kapasitas lemparan ke udara hanya 1-2 meter ke udara. Letusan kecil mencapai 10 kali lebih per menit, sedangkan letusan Joko Tuwo 4-5 kali per menit.

Jarak letusan Oro-oro Kesongo, antara satu erupsi dengan yang lain dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pada Oktober 2020, letupannya berupa semburan lumpur cair setinggi 20 meter lebih secara terus-menerus selama setengah jam. Semburan ini disertai dengan pelepasan gas beracun dan lumpurnya menimbun 17 ekor kerbau yang tengah digembalakan di lapangan tersebut.

Letusan lainnya terjadi pada pada 27 Agustus 2020. Korbannya adalahbelasan ekor kerbau yang sedang digembalakan di area ini. Sedangkan empat warga dilaporkan mengalami keracunan gas beracun yang dikeluarkan.

Letusan kembali terjadi pada 11-12 April 2023. Dalam dua hari itu dilaporkan letusannya mencapai 12 kali menyebabkan 1 orang meninggal. Letusannya mengeluarkan gas beracun yang mengakibatkan 1 orang penggembala kerbau meninggal dunia.

Sebelumnya menurut ingatan warga Gunung Lumpur Kesongo pernah meletus pada 2013 dan 2009. Kandungan gas metan yang beracun di Gunung Lumpur Kesongo mencapai 78persen mol menurut laporanBurhanuddinnur(2019), dengan lumpur yang dominasi oleh lempung jenis illit dan kaolinit.

Zulfikar Fahimul AuliaHadi, mahasiswa Jurusan Geologi Universitas Pertamina menyebutkan kawah Gunung Lumpur Kesongo memiliki diameter 1,3 kilometer. Ketika meletus tinggi semburan dapat mencapai 15 meter.

Fenomena Jamak

Dalam pandangan Salahuddin, kemunculan bagian tengah Pulau Jawa bagian timurberupa gunung lumpur adalah fenomena yang jamak. Gunung Lumpur Kesongo merupakan bagian dar Kompleks Gunung Lumpur Kradenan. Di kompleks ini muncul gunung lumpur lain muncul pada area yang luas, seperti Kuwu, Medang, Crewek, Cangkingan, Medang dan Banjar Lor.

Ke arah timur, gunung lumpur lain bermunculan, Denanyar, Gresik, Dawarblandong, Penganson, Sidoarjo (Lusi), Porong, Gunung Anyar, Kali Anyar, Pulungan, hingga ditemukan di dasar Selat Madura.

"Gunung lumpur ataumud volcanoesadalah fenomena lazim pada cekungan sedimentasi yang mengalami pengendapan secara cepat dan pada daerah yang secara tektonik aktif," tulisan Salahuddin pada laman resmi FT UGM.

Dengan menggunakan data seismik eksplorasi migas, terhitung laju pengendapan Formasi Tawun yang kaya kandungan lumpur mencapai 700 meter per juta tahun. Ini merupakan nilai paling tinggi untuk kawasan sekitar, demikian pula dengan deformasi tektonik yang dialami formasi tersebut yang mencapai rasio regangan 0,7, juga merupakan angka tertinggi di kawasan tersebut.

"Meski gempa bumi besar jarang terjadi, tercatat beberapa gempa bumi kecil (skala intensitas ≤ 3) pernah terjadi beberapa tahun silam," kata dia.

Menurut Salahuddin, Gunung Lumpur Kesongo sendiri terletak di Zona Perbukitan Rembang Selatan, pada puncak struktur antiklin Gabus.Tekanan kompresif dari patahan-patahan anjak tersebut memengaruhi kekuatan batuan di sekitarnya, terlebih bagi lapisan-lapisan lumpur yang masih lunak dan belum membatu di Formasi Tawun.

Getaran-getaran dan gempa-gempa yang merambat melalui patahan dan batuan, akan semakin memperbesar tekanan yang diterima oleh lapisan lumpur, menyebabkan semakin berkurangnya kekuatan geser antar butiran lumpur. Hal ini memaksa dan mendorong mereka untuk bergerak ke atas menuju tekanan yang lebih rendah.

"Pergerakan ke atas ini membentuk pipa lumpur (mud diapir), yang bila mampu menembus permukaan Bumi akan menjadi gunung lumpur (mud volcano)," jelas dia. "Gunung Lumpur Kesongo memiliki depresi amblesan yang paling besar dibandingkan gunung-gunung lumpur lain di Kompleks Kradenan, dengan diameter 1,3 kilometer dan menempati area 135 hektare. Aktivitas semburan lumpur menyebabkan tidak ada pohon yang mampu tumbuh di dalam depresi kaldera Kesongo," tutur dia.

Di sekitar Gunung Lumpur Kesongo hanya rumput dan tanaman semak sejauh ini yang bisa hidup. Oleh Padang rumput ini dimanfaatkan untuk menggembalakan ternak, yang menjadi pemandangan menarik bagi wisatawan.

Menurut Salahuddin, di Oro-oro Kesongo gunung lumpur yang menciptakan letusan seperti di Bledug Kuwu yang menciptakan kaldera seluas itu kini sudah hilang, digantikan oleh berbagai grifon dan salsa di sekitarnya. Saat ini salsa yang aktif terisi lumpur basah menempati sisi barat, dengan diameter diameter 0,3 kilometer dan pada area 8 hektare.

Ia menjelaskan, tidak diketahui sejak kapan salsa tersebut aktif, namun dinamikanya dapat dicermati. Dari serangkaian citra satelit dalam 20 tahun terakhir, tampak dinamika perpindahan grifon di dalam salsa tersebut, yang mengindikasikan dinamika erupsi lumpur dan diapir di bawahnya.

Perpindahan tersebut bisa berulang di masa akan datang. Jika melihat proses alam selalu akan berulang,bila material masih tersedia dan perpindahan energinya masih sama. Apalagi mengingat jumlah lumpur di Formasi Tawun di bawah sana masih berlimpah, dengan kondisi tektonik yang sama, tentu letusan besar berikutnya akan terjadi.

"Yang terpenting adalah mitigasi bencana bisa diterapkan, mengingat fenomena gunung lumpur adalah kesamaan dengan proses vulkanisme gunung berapi, yang berbeda hanyalah material dan energinya," tutur dia.

Gunung Lumpur Kesongo berada di kawasan yang tidak berpenduduk, serta memiliki dampak letusan dengan radius tidak terlalu besar. Hal ini menyebabkan tidak adanya nilai ancaman kebencanaan bagi masyarakat, ekonomi, dan infrastrukturnya.

Saat ini sekitar Gunung Lumpur Kesongo menjadi tempat bagi masyarakat bertani, berladang, dan menggembalakan ternak, dan penambang garam. Aktivitas masyarakat bisa dilihat saat berkunjung ke Oro-oro Kesongo. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top