
Opini Daniel Yudistya: Fenomena Quiet Quiting, Apa dan Bagaimana Menyikapinya?

Pandemi memberikan dampak luar biasa pada lingkungan kerja, perubahan pola kerja dan memberikan tekanan kerja tersendiri. Kendati bukan satu-satunya penyebab, pandemi diyakini memiliki kontribusi atas maraknya fenomena quiet quitting yang menurut Konsultan Manajemen ternama Gallup sudah menjadi alarm bagi eksekutif dan human resources (HR) profesional sebagai hal yang harus disikapi dengan serius.
Temuan Gallup yang dirilis September lalu, setidaknya 50% tenaga kerja di Amerika Serikat mengalami quiet quitting. Hal ini terutama terjadi di kalangan Generasi Z dan milenial muda, yakni mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Keterikatan dan kepuasan mereka terhadap perusahaan tempat mereka bekerja mulai mengalami penurunan tajam sejak paruh kedua tahun 2021.
Fenomena quiet quitting
Di Indonesia sekarang pun, tidak sedikit pula tenaga kerja yang merasa kehilangan motivasi, terombang-ambing dalam ketidakjelasan dan mengalami penurunan motivasi kerja, lebih jauh, keterlibatan kerja juga menurun. Tenaga kerja yang terabaikan itu tidak merasa menjadi bagian dari perusahaan karena tidak diberi kesempatan untuk tumbuh dan hanya akan mengerjakan pekerjaan secara minimalis. Pekerja tidak lagi menempatkan inovasi brilian, pemikiran kreatif, juga pengembangan potensi-potensi yang lain sebagai hal-hal yang penting untuk dilakukan.
Ringkasnya, ketidakpuasan atas pekerjaan tidak lantas mendorong pekerja untuk keluar dan mencari pekerjaan di lain perusahaan. Para pekerja tersebut memilih tetap berada di perusahaan yang sama namun dengan melakukan pekerjaan secukupnya saja. Kondisi inilah yang dewasa ini dikenal dengan istilah quiet quitting.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Eko S
Komentar
()Muat lainnya