Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ngujo Roso, Kritik Bebas Segala Ikatan ala Gatot Eko Cahyono

Foto : ISTIMEWA

Karikatur

A   A   A   Pengaturan Font

Dalam karyanga ia menggunakan konsep "ngujo roso," yang artinya membebaskan rasa, dari berbagai unsur dalam dunia seni. Di sini rasa menempati urutan khusus dan diperlakukan istimewa.

Sebagai orang timur unsur kehati-hatian ini sangat dipegang erat, sebagai pegangan dalam pergaulan sosial, sehingga kata Purwono Gatot dalam berbicara, berperilaku, dan berekspresi. Begitulah yang dianut Gatot pria kelahiran Yogyakarta 10 Maret 1961 itu.

Rasa dalam berkesenian berbeda dengan rasa (passion) dalam pengertian umum, misalnya takut khawatir, dan sejenisnya. Dalam ngujo roro, seni karikaturnya harus dibebaskan dari segala macam ikatan, tidak boleh dibelenggu oleh apapun, pokoknya mutlak harus bebas. Hal ini karena kreativitas berasal dari imajinasi yang harus bebas dari rasa ewuh pakewuh atau sungkan.

Namun demikian dalam berkarya sebagai kartunis tidak boleh bebas dari segala aturan. Sebagai media gambar kartun harus empan papan artinya mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat, sehingga tidak menerobos rambu-rambu sosial seperti SARA, pronografi, sopan santun, ujaracan kebencian dan lainnya.

Untuk itu diperlukan kecerdasan spesifik. Gatot sebagai kartunis profesional dan terasah menurut Purwono memenuhi syarat-syarat itu. Pria yang lulus Fakultas Institut Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) pada program studi Seni Grafis tahun 1988 itu mampu membuat kartun yang ringan, jenaka, tanpa menyinggung pihak-pihak yang dikritik.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top