Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pemanasan Global I Kontribusi Emisi Per Kapita AS 114,7 Ton Per Tahun

Negara Maju Diminta Berkontribusi Lebih Besar Atasi "Climate Change"

Foto : Sumber: International Energy Agency - KORAN JAKART
A   A   A   Pengaturan Font

» Ekonomi RI dihadapkan pada tantangan polusi, degradasi, dan deforestasi hutan, serta ketimpangan pendapatan.

» Jangan abaikan darurat iklim demi melindungi bumi dari krisis iklim yang lebih parah.

BADUNG - Negara-negara maju harus berkontribusi lebih besar dalam penanganan krisis iklim global karena mereka menyumbang emisi karbon yang paling besar. Sementara negara-negara berkembang paling merasakan dampak dari perubahan iklim tersebut, padahal kontribusinya pada pemanasan global relatif lebih kecil.

Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marinves), Luhut Binsar Pandjaitan pada side event G-20 yang diadakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Westin, Nusa Dua Bali, Rabu (9/11) mengatakan, Indonesia akan merealisasikan program transisi energi dengan syarat negara-negara maju memberi kontribusi lebih besar untuk pembiayaan. Hal itu disampaikan Luhut saat bertemu utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Perubahan Iklim, John Kerry beberapa waktu lalu, John Kerry.

Data menunjukkan kontribusi emisi per kapita Indonesia misalnya hanya sebesar 2,3 ton per tahun atau lebih rendah dari negara-negara maju seperti AS yang mencapai 14,7 ton per tahun.

"Jadi, Indonesia tidak bisa didikte oleh negara maju untuk melakukan transformasi ke ekonomi hijau. Kita masih memiliki hak untuk menikmati sumber daya alam kita," kata Luhut dalam Seminar Internasional bertajuk "Perubahan Iklim, Dekarbonisasi, Keberlanjutan dan Ekonomi Hijau".

Indonesia, kata Luhut, akan melakukan transformasi ke perekonomian hijau dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi ke depan, antara lain dengan mengembangkan teknologi yang menghasilkan energi baru dan terbarukan (EBT) yang terjangkau.

Apalagi, tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia dihadapkan pada dampak lingkungan dan sosial, termasuk polusi, degradasi dan deforestasi hutan, serta ketimpangan pendapatan.

"Indonesia juga sedang berjuang menghadapi perubahan iklim, yang berdampak parah pada lingkungan fisik, ekosistem, dan masyarakat. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan dataran rendah dan pulau-pulau kecil yang luas, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim," papar Luhut.

Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, dalam sambutannya di depan delegasi dari 25 negara anggota International Association of Deposit Insurers (IADI) menyerukan tindakan nyata untuk melawan perubahan iklim dan mendorong ekonomi yang lebih berkelanjutan dan hijau.

Menurut Purbaya, iklim bumi telah berubah secara dramatis, semakin banyak bencana yang berkaitan dengan cuaca, iklim dan air terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Bank Dunia, kata Purbaya, mencatat dampak perubahan iklim, yang meliputi banjir, kekeringan, pergeseran pola curah hujan, dan kenaikan suhu, dapat mengoreksi pertumbuhan ekonomi negara yang terdampak antara 0,25-0,7 persen.

"Oleh karena itu, kita tidak bisa mengabaikan keadaan darurat iklim, dan kewajiban kita untuk memimpin jalan melindungi Bumi demi mencegah krisis iklim yang lebih besar. Bahkan jika itu hanya satu tindakan kecil, itu akan membuat perbedaan besar untuk mengurangi perubahan iklim, kami percaya bahwa kita masih memiliki harapan untuk planet yang lebih baik terutama untuk generasi kita selanjutnya. Untuk itu, kita perlu segera mengambil tindakan bersama, khususnya para penjamin simpanan," kata Purbaya.

Dia sepakat, kalau negara-negara kepulauan yang produksi emisinya sangat kecil, malah banyak terdampak perubahan iklim karena sewaktu-waktu dataran mereka tergenang oleh air yang mengakibatkan aktivitas perekonomian terganggu.

Turut berbicara dalam seminar tersebut, Perdana Menteri Selandia Baru periode 1999-2008 Helen Clark dan delegasi dari 25 negara antara lain dari kawasan Asia, Eropa dan Afrika di antaranya, Swedia, Georgia, Albania, Jepang, Korea Selatan dan Ghana.

Bencana Meningkat

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer telah menyebabkan kenaikan temperatur global dan memicu krisis perubahan iklim. Intensitas dan frekuensi bencana hidrometereologi pun meningkat.

Bencana tersebut melanda banyak negara baik negara maju, negara berkembang dan miskin. "Negara-negara berkembang dan miskin yang mengalami dampak terbesar karena lemahnya ketahanan dan kemampuan beradaptasi," kata Fabby. Kerugian ekonomi juga dirasakan seperti bencana banjir akibat hujan ekstrem yang melanda Pakistan dan diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi 40 miliar dollar AS.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top