Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Nasib Konsumen Apartemen

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Kasus Muhadkly alias Acho bermula saat menuliskan kekecewaannya terkait fasilitas yang disediakan pengembang Apartemen Green Pramuka, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, di blog pribadinya muhadkly. com pada 8 Maret 2015 silam. Stand up comedian ini berharap mendapatkan kawasan ruang terbuka hijau seperti yang dijanjikan pengelola. Akan tetapi, setelah menempati apartemen tersebut, Acho merasa apa yang dijanjikan tidak sesuai dengan kenyataan. Acho juga mengunggah cuitan di Twitter soal berita media massa terkait pungli di Apartemem Green Pramuka dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan di Twitter.

Tapi, apa lacur, cuitan Acho itu dijadikan alasan oleh pengembang Apartemem Green Pramuka untuk memperkarakannya ke ranah hukum. Acho kemudian dilaporkan ke polisi karena melakukan pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tak tanggung-tanggung, berkas kasus Acho sebagai tersangka ternyata telah dilimpahkan dari pihak penyidik ke Kejaksaan. Kini, Acho hanya bisa menunggu keajaiban di tengah kekhawatiran bakal menjadi pesakitan pengembang nakal.

Kasus Acho hanyalah salah satu dari sekian banyak konsumen apartemen di Jakarta. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat setidaknya lima apartemen yang paling sering diadukan para konsumen. YLKI juga mencatat bahwa kasus aduan konsumen terhadap pengelolaan apartemen menjadi yang tertinggi kedua, yakni mencapai 18 persen.

Apa yang dilakukan Acho sesungguhnya sudah sesuai haknya yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 4 tentang perlindungan konsumen. Artinya, konsumen boleh menyampaikan keluhan dan pendapatnya lewat media massa atau media sosial asalkan apa yang disampaikan adalah fakta dan hukumnya sudah jelas, bukan fiktif (hoax) yang berpotensi fitnah.

Sebaliknya, tindakan pengembang Green Pramuka kepada konsumen merupakan tindakan yang berlebihan dan cenderung arogan serta kontraproduktif untuk perlindungan konsumen di Indonesia. Hal itu bisa membuat konsumen takut untuk memperjuangkan haknya secara mandiri.

Sementara itu, dalam perspektif hukum, tulisan Acho adalah murni bentuk kekecewaan konsumen kepada pengembang apartemen. Jadi, Acho dapat dikualifisir sebagai pembelaan terhadap hak-haknya yang tidak dipenuhi pengembang. Dalam konteks penjual dan pembeli, Acho dilindungi UU Perlindungan Konsumen.

Justru, polisi seharusnya lebih dulu memidana pengembang Apartemen Green Pramuka karena tak kunjung memenuhi janji kepada penghuni atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dijanjikan, baik dalam iklan maupun brosur-brosur penjualan. Apa yang disampaikan Acho adalah bukti awal bagi aparat hukum.

Tak cuma itu, Acho dan penghuni apartemen lain berhak menuntut ganti rugi atas tidak diwujudkannya ruang terbuka hijau. Kasus ketidaksesuaian janji pengembang dengan realitas dalam praktiknya sudah banyak terjadi karena tidak ada perjanjian yang mengikat mengenai hal ini. Tidak ada satu pun dokumen legal yang menyatakan hak pembeli mendapatkan sesuai dengan brosur dan tidak ada kewajiban juga dari developer yang dinyatakan dalam dokumen itu sesuai dengan brosur. Sebenarnya ada tiga dokumen legal yang ditandatangani oleh pembeli, yaitu: surat pemesanan, PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), dan AJB (Akta Jual Beli) setelah sertifikat keluar.

Untuk itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta dan aparat penegak hukum mesti bekerja sama untuk melindungi konsumen apartemen. Bukan justru sebaliknya, berpihak kepada pengusaha atau pengembang apartemen. Kasus Acho mesti menjadi momentum bagi terwujudnya hubungan yang saling membangun antara penghuni dan pengembang apartemen.

Komentar

Komentar
()

Top