Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pelestarian Sejarah

Museum Multatuli Dibuka untuk Umum

Foto : KORAN JAKARTA/gemma fitri

Sejarah Multatuli I Dirjen Kebudayaan Kemendiknas, Hilmar Farid (tengah), Ketum PKB, Muhaimin Iskandar (kiri), dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya saat pembukaan Museum Multatuli di Lebak, Banten, Minggu (11/2).

A   A   A   Pengaturan Font

LEBAK - Museum Multatuli, di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Minggu (11/2) resmi dibuka untuk umum. Museum yang menjadi simbol perlawanan terhadap kolonilial ini diresmikan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, yang disaksikan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Hilmar Farid, dan Ketua Umum Partai Kengkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar.

Iti Octavia mengatakan, Museum yang direncanakan sejak empat tahun lalu ini akan menjadi menjadi sarana pendidikan, hiburan, dan literasi. Museum Multatuli dan juga Perpustakaan Saija Adinda menjadi pintu masuk menuju beragam destinasi yang ada di Kabupaten Lebak. Dengan museum ini Lebak tak hanya dikenal di nasional tapi juga internasional sehingga Lebak semakin maju, ungkapnya.

Selain itu, Hilmar mengatakan sosok Multatuli punya peran khusus. Dia orang Belanda mengkritik sistem kolonial, karyanya memiliki dampak besar.

Di karya Multatuli tersebut, Hilmar mengatakan kolonialisme di Lebak hidup dengan adanya ketimpangan-ketimpangan. Pola ini ada di sepanjang sejarah kolonialisme dan feodalisme. Melalui karyanya itu, Multatuli menurutnya banyak mengilhami perintis-perintis kemerdekaan agar terlepas dari sistem kolonial.

Sementara itu, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar mengimbau para birokrat tidak mengabaikan aspek sejarah, terutama dalam menjalankan kebijakan.

Ketidaktahuan birokrat terhadap sejarah, menurut pria yang akrab dipanggil Cak Imin itu, sangat terasa dampaknya pada arah pembangunan.
Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker, memang identik dengan Kabupaten Lebak, dengan ibu kotanya Rangkasbitung.

Saat menjalani jabatan sebagai asisten Wedana Lebak, pria kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 ini menyaksikan praktik pemerasan oleh bupati setempat terhadap rakyat Lebak. Pengalaman pahitnya itu kemudian menginspirasi novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860). ima/P-5


Redaktur : M Husen Hamidy

Komentar

Komentar
()

Top