Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Putusan Hukum - Empat Hakim Nyatakan “Dissenting Opinion”

MK Tolak Uji Materi Pasal Perzinaan dan LGBT

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi pasal Kitab Undangundang Hukum Pidana tentang Zina dan Hubungan Sesama Jenis (LGBT), Kamis (14/12). Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan ketentuan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Meski demikian, terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari empat orang hakim yang menangani uji materi tersebut, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahidudin Adams, dan Aswanto. Empat hakim itu menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mendasarkan pada norma agama dan sinar ketuhanan.

"Mengadili, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (14/12). Permohonan ini diajukan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Euis Sunarti, dan sejumlah orang lainnya.

Pemohon melakukan uji materi Ayat 1 sampai 5 Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan, Pasal 285 KUHP tentang Pemerkosaan, dan Pasal 292 KUHP tentang Homoseksual lantaran dianggap mengancam ketahanan keluarga. Pada Pasal 284 KUHP menjelaskan ancaman hukuman bagi salah satu pasangan atau keduanya yang terikat dalam hubungan pernikahan, kemudian melakukan zina dengan orang lain.

Pemohon meminta zina dimaknai lebih luas, yakni termasuk hubungan badan yang dilakukan pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan. Namun dalam pertimbangannya, hakim menyatakan apabila gugatan itu dikabulkan akan terjadi perubahan perbuatan pidana yang semula delik aduan menjadi delik biasa.

Perubahan delik ini dikhawatirkan akan mengubah kualifikasi Pasal 284 yang semula dikonstruksikan sebagai urusan domestik laki-laki beristri atau perempuan bersuami menjadi urusan negara. "Negara semestinya baru akan turun tangan jika pihakpihak memintanya melalui delik aduan dan harus dihentikan jika aduan itu dicabut," ucap hakim anggota Saldi Isra.

Ketentuan dalam pasal tersebut juga dinilai telah tepat karena menegaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang terikat pernikahan tak boleh berzina dengan orang yang bukan suami atau istrinya. "Ketiadaan larangan zina justru merusak sistem perkawinan dan keluarga. Apalagi telah menjadi pemahaman tidak ada satu agama pun yang membenarkan zina," kata Saldi.

Kemudian pada Pasal 285 KUHP, frasa kekerasan atau ancaman perbuatan perkosaan yang memaksa perempuan bukan istrinya membuat arti pemerkosaan hanya terjadi pada perempuan. Padahal, pemerkosaan bisa saja terjadi pada laki-laki.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan aturan tentang pemerkosaan dengan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan telah sesuai karena diberikan atas konteks KUHP dan tidak berkaitan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang lebih spesifik. "Pasal 285 KUHP justru menjadi instrumen hukum bagi perempuan agar dilindungi dari perbuatan perkosaan," katanya.

cit/Ant/P-4


Redaktur : Khairil Huda
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top