Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mewahnya Bui Koruptor

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Dinda Balqis

Jumat (20/7) malam hingga Sabtu dini hari, KPK menangkap Kalapas Sukamiskin, Wahid Husein, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) terkait suap jual beli fasilitas dan izin khusus keluar lapas bagi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin. Selain mengamankan Kalapas Sukamiskin, KPK juga menangkap narapidana korupsi, Fahmi Darmawansyah, di selnya karena diduga menjadi pelaku suap Wahid Husein guna mendapat fasilitas mewah dan izin untuk keluar lapas. Dalam OTT tersebut, KPK juga menyegel beberapa sel narapidana korupsi karena tidak menemukan penghuninya.

OTT KPK serta merta menyingkap sel mewah para narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Sukamiskin. Tahun 2012, lapas ini mulai dikhususkan untuk menampung terpidana kasus-kasus korupsi. Penghuninya antara lain Gayus Tambunan, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazzaruddin, dan Setya Novanto.

Salah satu acara TV swasta menayangkan keadaan sel para narapidana koruptor di Lapas Sukamiskin. Barang-barang elektronik, fasilitas mewah, hingga uang tunai ditemukan di dalam sel. Bersamaan dengan itu, ditemukan pula dugaan bahwa sel yang ditempati Setya Novanto dan Muhammad Nazaruddin yang saat itu disinggahi bukanlah sel asli mereka.

Dugaan ini diperkuat dengan tulisan dalam daftar penghuni sel, di mana tulisan nama Setya Novanto masih terlihat baru. Barang-barang yang saat itu berada di dalam sel terlihat tidak lazim dimiliki Setya Novanto. Begitu pula sel Muhammad Nazaruddin. Kebenaran ini langsung dikonfirmasi Menteri Hukum dan HAM, Yassona H Laoly. Sel tersebut memang bukanlah asli kamar Setya Novanto.

Gagasan pemasyarakatan pertama kali dicetuskan oleh Dr Sahardjo pada tahun 1963. Gagasan tersebut kemudian ditindaklanjuti untuk menggantikan sistem kepenjaraan di Indonesia. Ada 10 prinsip pemasyarakatan seperti ayomi dan berikanlah bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. Pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Kemudian, disusunlah UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang mengukuhkan perubahan sistem penjara menjadi pemasyarakatan.

Pemidanaan yang sebelumnya untuk balas dendam yang artinya seseorang dihukum sebagaimana kejahatan yang dilakukannya, menjadi proses untuk memperbaiki terpidana dan mengembalikan keseimbangan di dalam masyarakat.

Indonesia merumuskan tujuan pemidanaan dalam Pasal 51 Rancangan KUHP. Isinya, pemidanaan untuk (1) mencegah dilakukan tindak pidana dengan menegakkan hukum demi pengayoman masyarakat. Kemudian, (2) memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan. Lalu, (3) menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta (4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Sistem pemasyarakatan bertujuan warga binaan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki dan tidak mengulangi kejahatan. Dalam Pasal 5 UU Pemasyarakatan dijelaskan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilakukan berdasarkan 7 asas. Salah satunya asas persamaan perlakuan dan pelayanan. Asas ini berarti mendasarkan perlakuan yang sama bagi semua warga binaan. Tidak ada perlakuan istimewa kepada satu atau beberapa warga binaan.

Kejadian di Lapas Sukamiskin sama sekali tidak menggambarkan keberadaan asas ini dalam sistem pemasyarakatannya. Narapidana korupsi memiliki kesempatan memperbaiki nasib di dalam tahanan karena sanggup untuk itu. Ini berbeda dengan narapidana umum yang menjalani hari-hari di tahanan dengan fasilitas seperti seharusnya.

Memperbaiki kehidupan di dalam tahanan disebut juga sebagai hak pistole yang hanya diberikan kepada orang yang menjalani pidana kurungan. Mereka adalah pidana yang lebih ringan dari penjara dengan masa tahanan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Hak pistole tidak berlaku untuk orang yang menjalani pidana penjara.

Permasalahan fasilitas mewah dalam tahanan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013. Dalam huruf (i), (j) dan (k) menjelaskan, narapidana dilarang melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas angin, televisi, dan/atau alat elektronik lainnya. Mereka dilarang memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat elektronik seperti laptop atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager dan sejenisnya. Napi juga dilarang memasang instalasi listrik di dalam kamar hunian.

Harus Dihukum

Pelanggaran penggunaan fasilitas di dalam lapas dapat dikenai hukuman. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 hukumannya: disiplin tingkat ringan berupa peringatan tertulis. Ada juga hukuman disiplin tingkat sedang berupa memasukkan dalam sel pengasingan paling lama 6 hari dan menunda atau meniadakan hak tertentu berdasarkan hasil sidang TPP.

Kemudian, hukuman disiplin tingkat berat berupa memasukkan dalam sel pengasingan paling lama 6 hari dan dapat diperpanjang selama 2 kali 6 hari. Mereka tidak mendapat hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, dan pembebasan bersyarat dalam tahun bejalan.
Kasus Lapas Sukamiskin seharusnya menjadi tamparan keras pemerintah, khususnya Menteri Hukum dan HAM. Sejak tahun 2015 hingga kini Lapas Sukamiskin sudah mengganti 5 Kalapasnya. Empat di antaranya terkait kasus plesiran narapidana koruptor. Terbaru, Wahid Husein terkena OTT KPK terkait jual-beli fasilitas mewah dan izin khusus keluar masuk lapas.

Ini menjadi pekerjaan rumah berat Menkumham untuk lebih teliti lagi dalam mengangkat pejabat lapas. Perlu seseorang yang berintegritas tinggi untuk memimpin suatu lapas. Mereka bukan hanya untuk lapas yang dihuni narapidana korupsi, namun semua lapas. Tujuan sistem pemasyarakatan yang dirumuskan guna memperbaiki diri para narapidana harus serius dijalankan. Jangan sampai lembaga pemasyarakatan yang prinsip dasarnya sebagai tempat pembinaan warga binaan pemasyarakatan malah menjadi tempat melakukan kejahatan.

Perbaikan fasilitas lapas juga layak menjadi perhatian. Dalam UU Pemasyarakatan telah diatur hak-hak narapidana. Di antaranya, dapat melakukan ibadah menurut kepercayaan masing-masing, mendapatkan perawatan, pengajaran, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan makanan layak. Mereka berhak mendapat bahan bacaan dan menerima kunjungan keluarga.

Dari hak-hak tersebut, secara implisit terlihat bahwa fasilitas standar yang harus terpenuhi dalam lapas ialah rumah ibadah, klinik, tempat pelatihan, perpustakaan, ruang tamu dan makanan yang memenuhi standar kesehatan. Selain itu, kapasitas sel, fasilitas penunjang di dalam sel seperti kasur dan kamar mandi serta kebersihan sel juga diupayakan guna terwujudnya lingkungan pembinaan yang efektif.

Instrumen hukum pemasyarakatan yang sudah baik harus diikuti kerja keseriusan para pengurus lapas. Lapas harus benar-benar dapat membina narapidana dalam memperbaiki diri, menyadari kesalahannya, dan tidak mengulangi kejahatan. Mereka akhrinya dapat kembali ke dalam masyarakat sebagai insan yang lebih baik.


Penulis Alumna Fakultas Hukum Universitas Andalas

Komentar

Komentar
()

Top