Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menyembuhkan Pluralisme lewat Pendidikan

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Post-Truth dan (Anti) Pluralisme

Penulis : Agus Suwignyo (Editor)

Penerbit : Kompas

Cetakan : 2019

Tebal : xxxiv + 182 halaman

ISBN : 978-602-412-646-9

Secara singkat, Post-Truth merupakan situasi sosial-politik yang mengutamakan keyakinan, meskipun fakta menunjukkan berbeda (hlm 5). Post-Truth menjadi kondisi yang begitu tren di masyarakat Indonesia kini. Salah satu anak kandungnya adalah hoax. Bagi masyarakat era digital, hoax, keributan, ujaran kebencian, hingga teror sudah menjadi santapan setiap hari.

Hal itu sama dengan media sosial yang menjadi suguhan harian. Setiap hari dan setiap sudut masyarakat menggunakan gadget berselancar di dunia maya. Savic Ali menunjukkan data di mana penetrasi penggunaan internet Indonesia 50 persen (hlm 167). Tentu jumlah tersebut tidak sedikit jika disangkutpautkan dengan total penduduk yang mencapai 265,4 juta jiwa pada tahun 2018.

Dapat dibayangkan jika warga sebanyak itu setiap hari hanya mendapati hoax dan berbagai informasi yang tidak jelas kebenarannya. Dampaknya, berkembang subur antipluralitas dalam kehidupan bermasyarakat. Buku menunjukkan secara serius sikap antipluralitas menjadi keprihatinan besar bangsa.

Yogyakarta adalah bukti nyata kesuburan antipluralisme dan mendapati posisinya di urutan 41 dari 94 kota Indonesia. Selain itu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menunjukkan, 53,06 persen guru berpemikiran intoleran.

Guru yang seharusnya menjadi teladan dalam proses pendidikan, justru menjadi salah satu sumber utama antipluralisme. Kondisi ini tentu memprihatinkan, mengingat pendidikan yang seharusnya mencerahkan, membebaskan, dan memberdayakan, justru menjadi teror bagi keberlangsungan hidup negara Indonesia. Menurut mendiang Romo Mangun, agama pada dasarnya memiliki sifat eksklusif. Namun, tetap terbuka lebar untuk saling menghormati dan menghargai.

Dalam menjalani kehidupan, beragama saja tidak cukup. Sebab agama mengacu kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan. Romo Mangun menyebutnya sebagai "dunia atas" (hlm 73). Aspek formal atau ciri ekslusif agama, menurut Romo Mangun, harus disertai dengan religiositas atau sifat inklusif. Religiositas adalah aspek kedalaman manusianya, seperti hati nurani, rasio, dan sisi manusiawinya.

Penghayatannya bisa lewat dunia pendidikan. Misalnya, cara membentuk kurikulum Sekolah Mangunan. Menurutnya, kurikulum sesuatu yang hidup, menyatu dengan kesatuan organis tumbuh kembang anak. Kurikulum bukan tumpukan materi ajar (hlm 77). Hal ini penting mengingat kendala dalam dunia pendidikan kecenderungan menghafal yang kuat, bukan pemahaman, apalagi pengembangan daya kritis dan kreativitas.

Tambah lagi pendidikan yang cenderung disempitkan kepada per-sekolah-an semata, di mana sekolah dihiasi dengan pagar tinggi yang sejajar dengan biaya sekolah. Ironisnya, sekolah yang senyatanya berada di tengah-tengah dunia, justru dirasa menjadi tempat begitu jauh dari dunia, bahkan terasing dari dunia.

Selain menjelaskan arti-Post-Truth, cara kerja, dan dampaknya, buku hendak menggaungkan kembali semangat pendidikan yang dihayati Romo Mangunwijaya. Semangat pendidikan yang dibangun Romo Mangunwijaya dapat dijadikan teladan demi keberlangsungan hidup bangsa. Sebab aktus utama pendidikan adalah belajar, maka sudah seharusnya pendidikan tidak lepas dari pembelajarannya tentang pluralisme.

Keberagaman itu indah dan menawan. Dengannya, manusia dapat saling belajar dan mengakui perlu mengakui orang lain, tanpa harus memaksa untuk seragam dengannya. Melalui keberagaman atau perbedaan, manusia belajar mencintai keindahan dan merendahkan hati. Artinya, melalui pendidikan yang baik akan tercipta pula masyarakat beradab. Diresensi Firman Siregar, Alumnus Universitas Kristen Satya Wacana

Komentar

Komentar
()

Top