Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menyelamatkan Situs Majapahit

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Endang Suryadinata

Di media sosial beberapa hari ini heboh oleh informasi sejarah Majapahit,bahkan menjadi viral. Pertama bahwa Mahapahit adalah kesultanan Islam.Pernyataan ini konon didukung oleh bukti bahwa padatahun 1989, di daerah Trowulan ditemukan ratusan keping uang emas bertuliskan lafadz syahadat. Setelah diteliti, koin-koin emas ini diketahui berasal dari abad ke 12, abad ketika kerajaan Majapahit tengah berkuasa dan berjaya.

Bukti lain adalah tulisan pada batu nisan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Di nisan yang bertarikh 1419 M ini, disebutkan Sunan Gresik menjadi kadi ulama-waliyullah Kesultanan Majapahit sekitar 1350 atau era kepemimpinan Sri Sultan Hayam Wuruk (1350-1389 M).

Kedua, kehebohan makin memuncak ketika Mahapatih Gajahmada disebut sebagai seorang muslim. Namanya bukanlah Gadjah Mada, melainkan Gaj Ahmada. Menurut kabar yang viral tersebut, untuk memudahkan penyebutan nama pada masa itu, Gadjah Mada pun disebut dengan Gajahmada. Penulisannya pun bukan Gadjah Mada, melainkan Gajahmada.

Kehebohan itu sebenarnya berawal dari buku yang berjudul "Fakta Mengejutkan Majapahit Kerajaan Islam yang ditulis pada 2014 oleh penulisnya, Herman Sinung Janutama. Sebetulnya, buku Fakta Mengejutkan Majapahit Kerajaan Islam itu adalah versi mutakhir dari buku serupa, yaitu Kesultanan Majapahit: Fakta Yang Tersembunyi (2010) yang dibuat oleh Herman Janutama dan timnya di LJKP Pangurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta.

Sejarah adalah rekontruksi tentang masa lalu. Tantangan terbesar kerja di bidang sejarah adalah godaan untuk melebih-lebihkan sehingga fakta-fakta yang disajikan lebih dimaksudnya untuk melayani kesenangan (subyektif atau kelompok) atau kekuasaan sehingga berbagai potongan kebenaran yang berserakan dan memiliki benang merah satu sama lain menjadi tidak lagi berkaitan.Yang muncul ke permukaan bukan realitas obyektif yang utuh. Akibatnya, kebenaran termanipulasi, obyektivitas melemah dan publik dibohongi.

Padahal dari beragam ahli atau sejarawan yang merekonstruksi Majapahit sampai sejauh ini, semua sepakat bahwa Majapahit bukan kerajaan bercorak Islam. Bagi penulis, apa yang dihebohkan di media sosial tentang Majapahit atau Gajahmada tidak lebih hanya sekedar "hoax", mirip hoax untuk menyudutkan presiden kita, oleh penulis buku "Jokowi Undercover" yang mendasarkan tulisannya pada sumber sumber hoax. Jangan lupa rekontruksi sejarah itu harus ilmiah.

Lebih Urgen

Maka yang lebih urgen untuk kita sekarang daripada merespons hoax sejarah seperti di atas, adalah bagaimana kita bisa menyelamatkan situs Majapahit yang tengah dalam kondisi rusak. Misalnya sebuah situs berupa struktur batubata yang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit di Kabupaten Mojokerto, dilaporkan mengalami kerusakan akibat dijarah sekelompok orang (BBC, 8/4/2017).

Sebelum kejadian di atas, situs Majapahit di Trowulan ternyata justru sengaja dirusak pemerintah sendiri. Seperti diketahui, di bekas ibu kota Kerajaan Majapahit itu semula hendak dibangun Majapahit Park seluas 2.190 meter persegi. Majapahit Park adalah proyek untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu. Tujuannya untuk menyelamatkan situs dan benda cagar budaya dari kerusakan serta untuk menarik wisatawan.

Ironisnya, dalam proses pembangunan, akibat penanaman 50 tiang pancang beton di dalam tanah, menga k i b a t kan terjadinya perusakan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno.

Yang lebih memprihatinkan, tindakan destruktif juga dilakukan sebagian masyarakat Trowulan yang menggali tanah dan menjadikannya batu bata. Ini sudah menjadi mata pencaharian mereka, bahkan menjadi industri. Kini pertumbuhan industri batu bata itu tampak sulit untuk dikendalikan lagi dan izin untuk mendirikan industri baru bata itu juga terus diberikan. Yang paling parah, pencurian, penggalian serampangan serta perdagangan benda purbakala di pasar gelap sudah lama berlangsung tanpa dapat ditindak secara tegas. Yang terakhir ini jelas merupakan sebuah vandalisme yang patut dikutuk.

Akibatnya hari-hari ini, situs Majapahit benar-benar memasuki fase paling pahit dalam perjalanan sejarahnya. Jika tidak ada upaya penyelamatan segera, jelas situs Majapahit akan menjadi puing-puing yang hancur dan tidak lagi memiliki nilai sejarah. Padahal situs Trowulan adalah salah satu saksi sekaligus bukti kita memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi dan tidak kalah dengan bangsa-bangsa di Eropa.

Bayangkan saja misalnya, dalam era Majapahit, multikulkulturalisme atau penghargaan pada keragaman dan perbedaan sudah dijunjung tinggi. Temuan koin emas bertuliskan lafadz syahadat dan tulisan di nisan Sunan Gresik bisa jadi buktinya.Memang semua pakar sejarah tentag Majapahit sepakat bahwa Majapahit adalah kerajaan agro-maritim yang multikultural.

Majapahit, terlebih dengan Sumpah Palapa Gajahmada telah menyatukan pulau-pulau di wilayah Nusantara. Perdagangan dan komunikasi dari berbagai daerah, termasuk dari luar Majapahit membuat warga Majapahit tidak alergi pada perbedaan.Kita tidak akan tahu semua ini, jika bukti-bukti historisnya dirusak.

Sangat Bernilai

Jangan lupa pula, bangsa-bangsa Eropa, tahu betapa bernilainya situs Trowulan sehingga merekapun juga tertarik untuk meneliti dan mengapresiasi. Peneliti pertama adalah Wardenaar pada tahun 1815 atas instruksi gubernur Thomas Raffles. Hasil penelitian Wardenar kemudian ikut dicantumkan dalam buku "History of Java" (1817). Dalam buku itu diantaranya ditulis "situs Trowulan, terletak 60 kilometer barat daya Kota Surabaya, mungkin merupakan ibu kota kerajaan Majapahit. Di kawasan seluas 11 kilometer x 9 kilometer, telah ditemukan sedikitnya 32 kanal, satu kolam seluas lebih kurang 6,5 hektar, serta dua pintu gerbang; Gapura Bajangratu dan Gapura Wringin Lawang. Selain itu, ditemukan permukiman dan pendapa kuno, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Brahu, Candi Tikus, dan Candi Gentong. Sebagai bekas ibu kota, di Situs Trowulan memang terdapat ratusan ribu peninggalan arkeologis baik berupa artefak, ekofak, serta fitur berbagai obyek arkeologis"

Kemudian banyak peneliti lain mengikuti jejak Wardenar, seperti WR van Hovell (1849), JVG Brumund, dan Jonathan Rigg. Kemudian RDM Verbeek (1889), RAA Kromodjojo Adinegoro seorang Bupati Mojokerto (1849-1916), J Knebel (1907), dan kemudian Henry Maclaine Pont (1921- 1924). Yang menarik menurut Maclain Pont, Ibu Kota Majapahit di Trowulan berulang kali tertimpa debu gunung berapi sehingga bekas ibu kota yang menjadi saksi Kejayaan Majaphit dari tahun 1293 hingga 1521 Masehi.itu makin tertimbun di dalam tanah.

Niat pemerintah (sejak era SBY) hendak "menghidupkan" lagi Ibu Kota Majapahit dalam skenario Majapahit Park, sebenarnya mulia, apalagi dana yang disiapkan konon mencapai 25 miliar rupiah. Namun tujuan mulia tidak cukup. Apalagi keberadaan benda-benda bersejarah dalam bentuknya yang masih orisinal sesungguhnya tidak bisa diukur dengan nilai uang, karena memang tak terhingga nilainya.

Maka jika proyek Majapahit Park hendak dilanjutkan, pemerintah jangan menyelesaikan sendiri. Pola konservasi Borobudur yang dulu menggandeng UNESCO dan banyak negara bisa menjadi pertimbangan.Seperti diketahui, proyek Borobudur didukung penuh Pemerintah Belanda, Jepang, Perancis, Jerman dan sebagainya. Karena ada kerja sama dengan berbagai negara, tingkat pengawasannya juga p tinggi. Borobudurpun bisa kita banggakan lagi. Kalau Borobudur bisa, kenapa Majapahit tidak?

Penulis, lulusan Universiteit Rotterdam

Komentar

Komentar
()

Top