Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menyaksikan Jejak-jejak Kekuasaan Inggris di Bengkulu

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Inggris pernah berkuasa di Bengkulu selama 140 tahun sebelum perjanjian Traktat London yang menukar wilayah itu dengan Singapura. Beberapa jejak-jejak peninggalan kolonialisme itu masih dapat disaksikan hingga saat ini.

Bengkulu merupakan salah satu daerah yang pernah lama diduduki Inggris selama periode periode 1685 sampai dengan Maret 1825. Hal ini dimulai ketika Inggris mendapatkan izin untuk berdagang rempah-rempah di wilayah ini oleh petinggi setempat bernama Orang Kaya Lela dan Patih Setia Raja Muda.
Inggris baru hengkang dari Bengkulu setahun setelah perjanjian antara Raja Inggris dan Raja Belanda, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Perjanjian yang dikenal dengan Traktat London oleh Belanda (The Anglo-Dutch Treaty of 1824), berupa perjanjian pertukaran kekuasaan Inggris di Bengkulu dengan Singapura di Malaka yang dikuasai Belanda saat itu.
Namun meski telah meninggalkan Bengkulu sejak lama, kehadiran Inggris selama 140 tahun melalui perusahaan perdagangan bernama East India Company (EIC), masih menyisakan jejak sampai sampai saat ini. Peninggalan-peninggalan itu berupa benteng, tugu peringatan, kuburan dan lainnya.
Peninggalan Inggris tertua yang dapat dilihat hingga saat ini adalah Benteng York atau Fort York. Bangunan ini tercatat dibangun pada 1618, lokasinya saat ini berada di di Kelurahan Pasar Bengkulu, Kecamatan Sungai serut, Kota Bengkulu.
Fort York menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah bangunan pertama yang dibangun Inggris di Sumatra. Memang tidak setenar saudara mudanya, Fort Marlborough, yang saat ini menjadi salah satu tujuan wisata sejarah paling penting di kota tersebut. Apalagi bangunannya hanya tinggal puing-puing yang ditumbuhi semak belukar.
Sebelum fungsinya dialihkan ke Fort Marlborough, Fort York ditujukan sebagai benteng pertahanan yang juga berfungsi sebagai lokasi kongsi dagang, barak militer, serta pemukiman. Pembangunan ini sendiri diinisiasi dengan terbentuknya Traktat York yaitu perjanjian antara Kerajaan Selebar, Pangeran Raja Muda dari Sungai Lemau, serta Ralph Ord dari Inggris.
Awal mula terlupakannya Fort York terjadi saat wabah malaria, disentri, dan kolera melanda. Wabah ini mengakibatkan ratusan tentara Inggris yang berada di dalam Fort York meninggal dunia.
Pada 1711, kondisi Fort York mencapai titik kritis. Bangunan benteng dan barak-baraknya semakin rapuh. Air hujan yang terjadi terus-menerus ikut membasahi ruangan tempat tinggal para penghuni.

Benteng Baru
Seiring kondisi Fort York yang semakin kritis, pada 1714 penghuninya menulis surat kepada Dewan Direksi EIC. Ia mengusulkan agar membangun benteng baru di tempat yang disebut Carrang atau dalam bahasa lokal disebut Ujung Karang.
Pada tahun itu juga benteng yang diusulkan dibangun dan selesai pada 1719 pada masa kepemimpinan Gubernur Joseph Collett yang memimpin EIC kala itu. Pada pertengahan abad ke-18, Benteng Marlborough mengalami perluasan dengan menambahkan gudang senjata dan pemukiman.
Nama Marlborough sendiri diambil dari nama Jenderal Inggris terkenal, John Churchill Duke of Marlborough, yang hidup di awal abad ke-17. Letak Fort Marlborough sangat strategis berada di tanah agak tinggi di tepi Pantai Tapak Paderi dan membelakangi Samudera Hindia. Hal ini sangat mendukung pertahanan militer Inggris dalam usaha rempah-rempah di Sumatera dari ancaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang cukup berpengaruh.
Fungsi Fort Marlborough bukan hanya sebagai banteng. Pada 1792 sekitar 90 pegawai sipil dan militer tinggal di dalam benteng. Benteng ini juga menjadi tempat bagi pemakaman Deputi Gubernur Richard Watts dan Residen Thomas Parr.
Saat berada tangan Belanda, benteng ini hanya digunakan sebagai markas polisi Belanda. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, Benteng Marlborough kembali beralih fungsi sebagai basis pertahanan. Setelah Indonesia merdeka, benteng ini dijadikan sebagai markas Polri dan basis pertahanan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Saat ini, Fort Marlborough masih berdiri kuat dan menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang terkenal di Bengkulu. Kompleks bangunannya berbentuk kura-kura, dengan ukuran mencapai 240 x 170 meter.
"Bangunan ini sangat bersejarah apalagi konstruksi bangunan Fort Marlborough ini memang sangat kental dengan corak arsitektur Inggris abad ke-20 yang sangat mengesankan kekuatan dan kemegahan," ucap Kepala Dinas Pariwisata Kota Bengkulu, Teguh A Roni.
Sebagai basis pertahanan Inggris, benteng ini dibangun dengan sangat kuat, di mana dindingnya terdiri atas dua lapis. Tebal dinding luarnya sekitar tiga meter dengan tinggi mencapai 8,65 meter. Sementara tebal dinding bagian dalamnya mencapai 1,8 meter.
Di sekeliling Benteng Marlborough terdapat parit untuk pembuangan air sekaligus pertahanan agar musuh tidak dapat memanjat dinding benteng. Di dalam benteng terdapat beberapa ruangan yang berfungsi sebagai ruang tahanan, gudang senjata, kantor, serta halaman luas di bagian tengahnya.
Sebagai benteng pertahanan, bangunan ini memiliki bastion atau menara jaga dan 72 meriam. Benteng Marlborough sebenarnya juga dilengkapi dengan terowongan bawah tanah yang mengarah ke Pantai Panjang, Tapak Padri, dan Gedung Daerah (Istana Gubernur). Sayangnya, terowongan-terowongan tersebut kini telah tertutup karena tidak dipelihara.
Sebagai destinasi wisata sejarah Benteng Marlborough buka jam 08.00 dan tutup jam 18.00 WIB. Tiket masuk ke tempat ini dikenakan biaya sebesar 5.000 rupiah. hay/I-1

Tugu Peringatan atas Korban Perlawanan Rakyat

Peninggalan lain Inggris di Bengkulu melalui East India Company (EIC) adalah apa yang sekarang disebut dengan Rumah Raffles berasal dari nama Sir Thomas Stamford Bingley Raffles. Bangunan terletak di sebelah selatan Fort Marlborough tersebut ini difungsikan sebagai rumah dinas Gubernur Bengkulu.
Bangunan Istana Gubernur ini terletak sekitar 300 meter ke arah utara Benteng Marlborough. Diantara kedua bangunan penting ini terdapat Tugu Thomas Parr yang merupakan salah satu monumen penting baik bagi bangsa Inggris maupun bangsa Indonesia.
Rumah tersebut konon pada masanya terdapat terowongan bawah tanah yang terhubung dengan Fort Marlborough, dengan fungsinya menyelamatkan para pejabat. Inggris tampaknya trauma karena pernah diserang rakyat Bengkulu pada 1619 dan dan Prancis pada 1760.
Rumah kediaman yang lebih mengesankan sebagai Istana ini sangat kental dengan corak arsitektur Eropa. Tiang-tiang besar yang berjajar di sisi depan bangunan mengesankan kekuatan dan kemegahan. Dinding-dinding yang tebal dengan bingkai jendela yang lebar merupakan ciri khas bangunan bangsa Eropa pada masa itu.
Rumah Raffles bukan karena tokoh ini pernah memerintah Bengkulu. Dalam sejarahnya antara 1811-1816, Indonesia pernah lepas dari cengkraman Belanda dan jatuh ke kekuasaan Inggris. Inggris resmi berkuasa di Indonesia setelah ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang pada 18 September 1811.
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang, Lord Minto yang berkedudukan di India mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai wakilnya dengan pangkat Letnan Gubernur di Jawa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, Raffles berkuasa penuh di Nusantara.
Di depan barat daya kompleks Rumah Raffles dengan jarak kurang lebih 100 meter terdapat bangunan peringatan yang dinamakan tugu Thomas Parr. Berbentuk segi delapan terdapat dengan delapan pilar untuk menyangga atap berbentuk kubah membentuk setengah lingkaran.
Sesuai namanya, Tugu Thomas Parr yang biasa disebut tugu bule itu merupakan monumen peringatan bagi Thomas Parr. Ia adalah salah seorang residen dari pasukan Inggris di Bengkulu yang tewas di tangan rakyat pribumi yang marah karena kesewenang-wenangan penjajahan pada 1807.
Menurut sebuah sumber, Thomas Parr dimakamkan di dalam Fort Marlborough. Pertimbangan, untuk menghindari kemarahan rakyat. Untuk menjaga perasaan, bangunan ini didirikan setahun setelah peristiwa itu. Bagi masyarakat Bengkulu tugu tersebut dipandang sebagai bukti keberanian mereka melawan kolonialisme.
Tugu sejenis adalah Tugu Robert Hamilton yang berada tidak jauh dari rumah ibu Fatmawati dan rumah pengasingan Bung Karno. Letaknya di antara kedua bangunan tersebut, di jalan Soekarno Hatta, di tengah persimpangan jalan Fatmawati dan jalan Soekarno-Hatta.
Tugu Hamilton didedikasikan untuk Kapten Robert Hamilton yang tewas di tangan rakyat Bengkulu pada 1793. Tugu Hamilton ini cukup sederhana. Bentuknya obelisk atau bangunan tinggi ramping bersisi empat yang dimahkotai puncak berbentuk piramida.
Bukti lain keberadaan Inggris di tentang peradaban yang dibangun EIC makam Inggris bernama The Christian Cemetery. Jaraknya kuburan tentara dan masyarakat sipil ini sekitar 800 meter ke arah timur dari Fort Marlborough. Mereka meninggal karena penyakit tropis akibat sanitasi buruk seperti kolera, malaria, disentri, dan juga korban perang.
Area makam Inggris memiliki luas 4,5 hektare. Terdapat lebih dari 1.000 nisan dengan berbagai ukuran. Pada 20 tahun lalu makam ini penuh sesak, banyak nisan besar bertebaran berantakan. Kini makam Inggris tampil berbeda dengan adanya gapura putih di pintu masuk. Lahan pemakaman sudah ditumbuhi rumput hijau. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top