Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menulis Kembali Wajah Aceh di Pantai Kampung Jawa Setelah 20 Tahun Lalu Dihantam Tsunami

Foto : ANTARA/Risky Syukur

Warga menonton para ofisial yang mengangkat layar usai digunakan atlet dalam perlombaan di Pantai Kampung Jawa, Banda Aceh dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI/2024 Aceh-Sumatera Utara di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, Minggu (15/9/2024).

A   A   A   Pengaturan Font

Banda Aceh - Pantai Kampung Jawa, Banda Aceh, yang 20 tahun lalu area sekitarnya rata terlindas tsunami, pada hari ini, Minggu, dipadati banyak warga.

Untuk pertama kalinya setelah 20 tahun bangkit dari musibah tsunami, pantai "titik 0 kilometer Banda Aceh" itu menjadi lokasi perlombaan layar PON XXI Aceh-Sumut 2024.

Perubahantonesituasi yang drastis, dari musibah tsunami 20 tahun lalu ke momen bertemunya atlet layar terbaik dari berbagai provinsi serta suaka rasa kagum nan penasaran warga dari berbagai wilayah di Aceh.

Tak berlebihan jika mengatakan bahwa Pantai Kampung Jawa hari ini menjadi saksi bisu momen 20 tahun kebangkitan Aceh pascatsunami.

Di lokasi, warga sudah berbondong memenuhi area pantai sebelum pukul 11.00 WIB, jadwal dimulainya perlombaan layar kelas putri dan internasional 470 campuran.

Warga yang sudah memadati area pantai itu secara saksama memperhatikan para atlet yang tengah mempersiapkan layarnya, mengamati para wartawan yang sana-sini mengambil gambar.

Sebagian dari mereka berdiri di balik pembatas penonton, sebagian lagi berdiri menjorok hingga bibir pantai, bahkan ada yang duduk berbaris di atas bebatuan tanggul.

Sebagian lagi duduk membentang tikar di area atlet sambil menyantap jajanan yang sudah disiapkan dari rumah. Anak-anak pun tak mau kalah menyumbang keramaian dengan bermain air laut, layaknya keluarga bertamasya pada akhir pekan.

Menepi ke arah aspal yang membentang di pinggir pantai, warung-warung kopi berjejer nan penuh dengan warga yang menonton.

Mata warga yang hadir berbinar-binar penasaran. Perahu putih kecil dengan layar lebar yang memenuhi area tengah pantai itu seakan baru pertama kali mereka lihat langsung. Barangkali selama pernah mereka lihat lewat televisi atau internet.

Angin barat yang kencang bercanda-gurau dengan pakaian warga sebagai mana angin itu juga menggerakkan daun layar yang siap membawa atletnya bertarung dalam perlombaan.

Sementara itu para atlet dan ofisialnyatampak sibuk menyiapkan layar masing-masing. Di sepanjang pantai, tertancap sejumlah bendera dari masing-masing provinsi yang mengirimkan atletnya.

Mereka mengencangkan tali layar, mengarahkannya dengan tepat agar dapat membawa mereka ke titik mulai perlombaan. Para atlet tampak berpakaian khas atlet laut lengkap dengan kaca mata hitam dan pelampung yang membungkus bagian badan.

Akibat hujan gerimis dan kondisi angin yang kurang mendukung pada pukul 11.00 WIB, perlombaan ditunda beberapa menit. Pada pukul 11.36 WIB, para atlet dibantu ofisial dan panitia mulai mendorong layar lomba ke arah laut menuju titik mulai perlombaan.

Tak hanya menggerakkan tangan dan kaki untuk memindahkan layar, para ofisial juga tak lupa berteriak mengalahkan dentum ombak dan gemuruh angin yang berisik siang itu, seakan menyumbang semangat dan doa yang lantang bagi atlet andalannya.

Satu per satu atlet mulai berlayar dan meninggalkan Pantai Kampung Jawa menuju titik mulai perlombaan dari masing-masing kelas.

Meskipun jalannya perlombaan tidak dapat dilihat jelas dari pantai imbas jarak yang jauh dari pandangan mata, sebagian besar warga penonton tetap setia menunggu.

Mereka menatap kosong ke arah laut, seolah-olah bisa menyaksikan jalannya perlombaan. Tampaknya mereka tetap setiap berdiri di area pantai, tak peduli siapa yang menang atau kalah, tapi untuk tetap menjadi bagian dari momen bersejarah itu.

Pukul 12.00 WIB, tiba-tiba angin semakin kencang dan hari semakin terik. Sebagian warga mencari keteduhan di warung-warung kopi yang ada di sekitar pantai.

Sebagian lagi tak mau tau. "Kami datang untuk menonton, bukan untuk berteduh," demikian tersirat dari wajah warga yang seragam memicingkan mata ke arah laut sambil terbakar terik Matahari dan digoyang sana-sini oleh angin.

Hari ini, cabang olahraga layar melombakan sedikitnya delapan kelas dengan sekitar 50-an atlet yang terlibat.

Setiap kelas pun berisi tiga sampai dengan empat balapan, tergantung dari kondisi ombak, angin dan keputusan panitia.

Pada pukul 14.39 WIB, sejumlah atlet yang selesai berlomba merapat kembali ke Pantai Kampung Jawa.

Para ofisial masing-masing atlet terjun ke laut untuk menyambut atletnya yang berusaha melabuhkan layarnya ke pinggir pantai.

Sorak warga pun pecah menyambut atlet yang basah kuyup dengan wajah terbakar terik Matahari. Mereka seperti menyambut para pahlawan yang baru saja pulang dari medan perang.

Warga yang ada juga tak lupa melepas "pedang" gawai dari sarungnya dan mengabadikan momen bersejarah itu.

Sebagian ofisial nampak dengan sigap mendorong gerobak ke tepi pantai untuk membopong "senjata" peraih medali para atlet ke bendera masing-masing provinsi. Di titik parkir layar, selang air bersih sudah siap untuk menyapu lapisan garam pada tubuh layar.

Seorang wanita asal Ulee Kareng, Banda Aceh bernama Iin yang datang dengan ketujuh anggotakeluraganya mengaku baru pertama kali melihat layar.

Dia datang dengan saudara, anak, dan cucunya ke Pantai Kampung Jawa untuk menyaksikan perlombaan yang selama ini hanya ia lihat di televisi.

Di lokasi, Iin bersama keluarganya membentangkan tikar dan menjajakan sejumlah makanan ringan sambil menikmati perlombaan yang bahkan tidak bisa mereka lihat dengan jelas.

Iin sendiri tidak begitu berharap akan kemenangan Aceh. Baginya, hadir di Pantai Kampung Jawa untuk menyaksikan olahraga laut itu adalah hal sayang untuk dilewatkan.

Bukan soal menang kalah, melainkan ihwal kebersamaan

Sementara itu, dosen Pendidikan Fisika Universitas Syiah Kuala,Susana, juga tak mau ketinggalan momen perlombaan layar.

Menurut wanita 60 tahun itu, melihat Pantai Kampung Jawa menjadi lokasi perlombaan layar seakan mengobati luka lamanya.

Pasalnya, lokasi sekitar pantai itu tersapu rata saat bencana tsunami melanda 20 tahun lalu, salah satu keluarga dekatnya menjadi korban dalam bencana tersebut.

Susana menyebut dengan tegas bahwa dirinya tak begitu peduli dengan kekalahan atau kemenangan Aceh dalam cabang olahraga itu.

Namun lebih dari itu, Susana melihat perlombaan itu sebagai salah satu momen bersejarah pada 20 tahun kebangkitan Aceh pascatsunami.

Ia tak mau melewatkan bagaimana para atlet layar terbaik dari berbagai provinsi berkumpul di Aceh dan menunjukkan kemampuan terbaik mereka.

Lebih lagi, Susana ingin menunjukkan bahwa masyarakat Aceh tidak seperti yang orang-orang bayangkan. Dalam hal ini, menurut pengamatan Susana, Aceh sering kali dilihat sebagai provinsi ekstrem yang menurutnya cenderung berkonotasi negatif.

Lewat tulisan ini, Susana ingin mengajukan sejumlah pertanyaan bagi para atlet lintas provinsi serta warga dari seluruh Indonesia yang berkunjung ke Aceh untuk mengikuti atau menyaksikan perhelatan PON.

Pertanyaan-pertanyaan itu kiranya berbunyi demikian, bagaimana dengan keramahan orang Aceh kepada orang luar? Apakah Aceh seekstremyang orang-orang prasangkakan? Tidakkah orang-orang melihat adanya sejumlah gereja, kuil, dan tempat ibadah sejumlah agama lain di Aceh?

Susana juga menceritakan satu tradisi khas orang Aceh dalam melayani tamu. Jika ada orang bertamu ke rumah orang Aceh selama lebih dari 3 hari, maka otomatis orang itu akan menjadi keluarga dari pemilik rumah bersangkutan.

Bahkan jika ada penjual keliling yang kebetulan lewat di depan rumah, orang Aceh setidaknya bisa saja menawarkan air putih atau kopi jika membeli atau tidak membeli barang pedagang itu.

Mengenai toleransi beragama, ucapan Susana terbukti dengan adanya sejumlah gereja dan vihara aktif di dekat Masjid Raya Baiturrahman.

Dengan itu semua, di dalam momen perhelatan PON XXI Aceh-Sumut, Susana berharap agar prasangka yang tidak benar terhadap masyarakat Aceh tidak lagi didengungkan tanpa dasar yang jelas.

Terlepas dari teknis perhelatan PON, Susana menegaskan bahwa masyarakat Aceh memeluk erat setiap ajaranyang ada dengan tidak meninggalkan syariat islam.

Misalnya, kata Susana, toko atau warung yang ada di Aceh itu tutup dari Magrib sampai dengan Isya. Itu salah satu bentuk penghargaan masyarakat Aceh, termasuk yang non-muslim terhadap syariat islam.

Susana juga menyentil bahwa dirinya bukan semacam ahli toleransi. Dirinya hanya prihatin dengan prasangka terhadap masyarakat Aceh yang tidak menunjukkan toleransi.

Singkat cerita, perlombaan layar di Pantai Kampung Jawa hari ini menjadi saksi bisu momen bersejarah kebangkitan Aceh dari bencana tsunami dan penyangkalan segala prasangka tak berdasar terhadap masyarakat Aceh.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top