Sabtu, 30 Nov 2024, 19:55 WIB

Menolong Pemulung Tanpa Identitas Diri yang Sedang Sakit Parah

Rina Yulianti (33), istri pemulung yang sedang sakit parah dan hanya bisa berbaring. Sudah hampir 5 hari tidak bisa jalan, kakinya membesar bengkak.

Foto: Koran Jakarta/KPNas

Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)

Ketika pemulung atau orang miskin sakit parah tanpa identitas diri, seperti KTP dan KK atau keterangan lain, surat keterangan domisili atau lainnya akan sulit dirujuk ke rumah sakit milik pemerintah atau swasta. Karena, jelas tidak punya Kartu BPJS.

Butuh pertolongan segera. Kita butuh orang yang peduli, orang kaya yang dermawan untuk menolong pemulung miskin yang sedang sakit parah dengan jalur cepat. Meskipun belum punya identitas ketika sakit parah, yang penting ada orang yang menjamin. Anggaplah itu pengabdian kemanusiaan yang begitu mulia atau semacam “malaikat” penolong.

Hidup yang dibalut kemiskinan, ketidakberdayaan, tak ditopang oleh keluarga sedarah di perantauan dan tanpa identitas diri bagaikan hidup tanpa tambatan dan pegangan sedang jatuh sakit. Beberapa kasus derita seperti ini pernah dialami pelaku sektor informal; pemulung atau keluarganya yang bermukim di sekitar TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu Kota Bekasi.

Belakangan menimpa istri pemulung yang tinggal di Blok Haji Noin Kampung Ciketing Kelurahan Sumurbatu RT 04/03 Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. Gubuknya berbatasan dengan pembuangan sampah terbesar di Indonesia dan Asean.

Di blok Haji Noin puluhan pemulung dan keluarganya tinggal. Lahan yang ditempati dengan sistem bayar sewa sekitar Rp200 ribu per bulan. Sedang gubuknya membangun sendiri. Luas gubuk sekitar 4x6 M2 dan ada yang lebih. Material gubuk dari bambu, kayu, triplek bekas, seng bekas. Atapnya dari tripleks bekas dilapisi plastik, karpet bekas ditindih kayu atau ban bekas. Lantainya tanah dilapisi plastik, triplek bekas, tiker bekas yang dipungut dari TPST Bantargebang atau TPA Sumurbatu.

Kondisi gubuk-gubuk di sini tampak kumuh, semrawut, pengab, lembab, bacin dan sanitasinya sangat buruk. Sebab tidak ada ventilasinya, matahari tidak bisa masuk ke dalam ruang gubuk. Tidak ada sirkulasi udara. Keluarga pemulung memanfaatkan air sumur panthek sedalam 11 meteran, tentu tercemar air lindi dari TPST dan TPA. Kondisi mengenaskan ini semakin parah ketika musim hujan datang.

Perempuan istri pemulung itu kini sedang sakit parah, hanya bisa berbaring bernama Rina Yulianti (33 tahun) asal Pacitan, Jawa Timur. Rina sudah lama meninggalkan kampung halaman dan orang tuanya. Suaminya dipanggil Cariwan (34 tahun) asal Indramayu. Keluarga pemulung tersebut punya dua anak, yang pertama berumur sekitar 12 tahun dan anak yang kedua berumur 2 tahun. Rina tetap harus menguru anaknya yang masih balita.

Rina sudah hampir 5 hari tidak bisa jalan, kakinya membesar bengkak. Menurut dokter terkena infeksi tetanus, bekas luka, karena pernah mengalami kecelakaan kakinya dipen. Katanya tetangganya, Rina pernah jatuh dan kakinya dipen.

Ketika akan dirawat di dokter terdekat, asmanya kambuh. Ia dirawat semalam di poliklinik sekitar 1 kilometer dari gubuknya, pasien ini harus mengeluarkan biaya Rp2 juta. Padahal, kondisi ekonomi keluarga ini sedang parah. Pihak dokter dari poliklinik tersebut meminta agar pasien dibawa ke rumah sakit karena sakitnya cukup parah.

Ketika akan dibawa ke rumah sakit oleh ketua dan pengurus Komunitas Pemulung Bantargebang Sejahtera (KPBS) mengalami kesulitan, terganjal persyaratan identitas diri. Rina, yang sedang mengalami sakit parah itu tidak mempunyai KTP, apalagi Kartu Keluarga (KK). Artinya, Rina juga tidak punya Kartu BPJS. Keadaan yang menyedihkan sekali.

Lalu apa langkah-langkah yang ditempuh pengurus KPBS? Berbagai upaya keras yang dilakukan, yakni menghubungi sejumlah rekan, jaringan kerja, dll. Pada, 28 November 2024 mendatangi Ketua Yayasan Al-Muhajirin Bantargebang (YAB), Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), yang sering menangani kasus pemulung sakit hingga berobat ke rumah sakit, bahkan ada yang meninggal pun ditangani hingga pemakamannya.

Kami berempat berdiskusi mencari solusi terbaik agar Rina bisa dibawa ke rumah sakit. Sayangnya, Rina tidak punya KTP. Kemudian pengurus KPBS menghubungi lembaga yang memiliki perhatian terhadap pelayanan kesehatan kaum miskin. Lembaga tersebut merespons akan menolong, namun harus mengisi aplikasi dengan persyaratan tertentu, seperti KTP, KK, surat keterangan tidak mampu dari kelurahan serta foto-foto yang pemulung sakit dan rumah tinggalnya.

Kami, berempat segera melakukan observasi ke gubuk pemulung yang sedang sakit parah tersebut. Kami berbicara dengan yang sakit dan suaminya. Simpulannya, Rina sakit parah, kakinya membengkak besar, sekitar 5 hari tak bisa jalan, kondisinya miskin, butuh pertolongan secepatnya agar bisa berobat gratis ke rumah sakit.

Langkah pertama yang dilakukan pengurus KPBS, yaitu mengurus surat keterangan domisili sementara ke Ketua RT/RW. Pembuatan surat tersebut harus ada penanggung jawabnya. Kebetulan Ketua KPBS sudah ber-KTP Kelurahan Sumurbatu Kecamatan Bantargebang.

Selanjutnya, mengurus surat keterangan tidak mampu ke Kelurahan Sumurbatu, dengan surat pengantar dari Ketua RT dan RW. Setelah semua beres, yang sakit bisa mendapatkan pelayanan dari lembaga yang peduli kesehatan tersebut. Kerja-kerja ini pasti membutuhkan uang.

Kasus yang melanda Rina, keluarga pemulung miskin tanpa identitas diri, khususnya KTP juga dialami beberapa pemulung di sekitar TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu. Para pendamping pemulung harus membantu mendampingi mereka membuat KTP, surat keterangan domisili atau surat resmi lainnya. Seterusnya agar bisa mengurus untuk membuat BPJS. Sehingga ketika jatuh sakit dan hendak berobat ke rumah sakit akan lebih mudah.

Beberapa tahun lalu kami pernah mengurusi pemulung mati dan minta dimakamkan di kampungnya. Catatan, pemulung tersebut tidak punya KTP. Kemudian kami mengantarkannya dengan mobil ambulance ke suatu kampung di Bogor, ternyata sampai di sana tidak ada keluarganya dan tidak ada yang kenal. Tidak menunggu lama, mayat dibawa lagi ke Bantargebang dan dikuburkan ke pemakaman terdekat.

Pemulung yang tidak punya KTP, mati pun punya beban tersendiri, apalagi tidak punya simpanan uang untuk mengurusi mayatnya. Biasanya kami melakukan “kecrekan” atau minta iuran sekarela dari gubuk ke gubuk, juga para bos pengepul sampah. Untuk membeli kain kafan dan perlengkapannya membutuhkan setidaknya Rp 1,5 juta, untuk lahan pemakaman dan penggali kubur sekitar Rp 2-3,5 juta, belum untuk kebutuhan lainnya.

Jika harus mengantarkan mayatnya ke kampung halamannya, misal Serang Banten, Cirebon, bahkan Madura membutuhkan mobil ambulance, BBM, uang jalan untuk sopir. Maka butuh uang beberapa juta rupiah, Rp 3-4 juta, bahkan bisa lebih.

Indentitas diri suami istri pemulung sangat penting dan berguna bagi anak-anaknya yang akan masuk sekolah atau keperluan penting lainnya. Masa depan anak-anak harus mendapat perhatian serius. Jangan sampai terganggu karena orang tuanya tanpa identitas diri.

Jika itu suami istri dari perkawinan sah melalui KUA, pasti mempunyai Kartu Nikah, untuk bisa membuatnya pasti butuh KTP, KK, dll. Karena surat-surat ini akan diperlukan untuk membuat Akte Kelahiran anak. Akte Kelahiran ini akan dibutuhkan ketika anak masuk ke sekolah TK dan sekolah dasar.

Keluarga pemulung yang muda dan tua harus memperhatikan surat-surat identitas diri dan pendukungnya. Hal ini akan sangat diperlukan oleh anak-anaknya kelak, untuk persyaratan masuk sekolah, kerja, dan keperluan lain atau transaksi yang penting dan sangat penting.

Kepemilikan surat-surat identitas diri merupakan bentuk tanggung jawab sebagai warga negara secara hukum. Selama kita hidup di mana pun daerahnya, meskipun hidup dalam gubuk-gubuk, kolong jembatan, pinggir kali, dan tempat lain di negara Indonesia harus punya kartu identitas diri agar hidup menjadi lebih mudah.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: