Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 20 Sep 2017, 01:00 WIB

Menjaga Harapan di Pulau Pasaran

» Beberapa nelayan di Pulau Pasaran tengah menjemur ikan teri. Ikan teri Pulau Pasaran memiliki spesifikasi perut utuh dan kepala tidak patah, menandakan mutunya bagus karena diolah dari ikan segar. Nelayan di Pulau Pasaran membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah terutama permodalan dan pemasaran.

Foto: istimewa

Ikan teri yang dulu pernah dianggap tak berharga karena ukurannya kecil, belakangan ini terus menjadi primadona bagi nelayan dan perajin karena harganya cukup mahal dan permintaan tinggi.

Pulau Pasaran adalah sentra utama pembuatan ikan teri di Kota Bandarlampung. Pulau kecil itu hanya dihuni nelayan dan anggota keluarganya yang bekerja sebagai perajin ikan teri.

Pulau Pasaran mempunyai keunikan tersendiri karena letaknya sangat dekat dengan daratan, tepatnya di Kecamatan Teluk Betung Barat, Kota Bandarlampung.

Pulau kecil itu kini sudah bisa dicapai dengan menggunakan sepeda motor atau berjalan kaki, karena telah dibangun jembatan beton sepanjang 500 meter yang menghubungkannya dengan pesisir Telukbetung, Bandarlampung.

Selain untuk memenuhi kebutuhan ikan di Bandarlampung, ikan teri dari Pulau Pasaran sebagian besar dikirimkan ke Jawa, terutama ke Jabotabek dan Bandung.

Kualitas ikan kering dari Pulau Pasaran tidak kalah dengan produk ikan teri dari daerah lain, seperti teri medan. Komoditas laut produksi Pulau Pasaran itu memiliki spesifikasi perut utuh dan kepala tidak patah, yang menandakan mutunya bagus karena diolah dari ikan segar.

"Kapal berangkat sore hari ke laut untuk membeli ikan dari bagan ke bagan. Kemudian ikan itu direbus menggunakan air laut. Paginya kapal sudah sampai di Pulau Pasaran, dan ikan tersebut langsung dijemur. Sorenya, ikan itu sudah dikemas dalam kardus untuk dikirimkan ke Pulau Jawa. Dikirim malam, paginya sudah sampai di kawasan Jabotabek dan Bandung," Asep, nelayan Pulau Pasaran.

Para perajin di Pulau Pasaran menyebutkan tantangan mereka dalam memproduksi teri bermutu adalah makin terbatasnya hasil tangkapan ikan teri di Teluk Lampung. Padahal, harga teri cenderung tinggi.

Menurut Asep, produksi ikan teri lebih rumit dibandingkan produksi ikan asin lainnya sehingga dibutuhkan etos kerja tinggi dan keuletan dalam menggeluti bisnis tersebut.

Para perajin menyebutkan mereka akan tetap menjaga harapan Pulau Pasaran sebagai sentra produksi ikan teri, namun pemerintah perlu juga membantu mereka.

"Kami harap pemerintah dapat memberikan solusi atau bisa membangun rumah produksi yang dapat melakukan produksi di dalam ruangan. Dengan demikian, penjemuran dan pengeringan ikan teri tidak lagi hanya mengandalkan panas sinar matahari," kata Rasito, salah seorang pengrajin ikan asin.

Kawasan Minapolitan

Kalangan lainnya menyebutkan Pulau Pasaran perlu dikembangkan secara serius sebagai kawasan minapolitan, dengan menjadikannya sebagai sentra produksi, pengolahan, pemasaran dan penjualan komoditas perikanan dengan mengoptimalkan fasilitas teknologi informasi, terutama akses internet.

Kemudahan berkomunikasi diharapkan dapat meningkatkan daya tawar nelayan dan perajin setempat, sekaligus memperluas pemasaran produksi mereka. Dengan kata lain, selain membangun jembatan panjang, pemerintah perlu juga membantu di bidang permodalan, pemasaran dan penguasaan teknologi dalam penangkapan dan produksi ikan asin.

Selain itu, sudah saatnya pemerintah lebih serius mengembangkan Pulau Pasaran sebagai objek wisata, yakni menikmati suasana laut melalui jembatan panjang menuju Pulau Pasaran, sekaligus membeli ikan teri bermutu premium di pulau kecil tersebut. pur/R-1

Butuh Perhatian Khusus

Udang dan ikan hasil laut, terutama di daerah Lampung Selatan selain untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut juga dipasarkan ke berbagai daerah terutama Jakarta. Sisanya, diekspor.

Salah satu daerah penghasil ikan adalah Pulau Pasaran. Walau untuk bisa sampai ke Pulau Pasaran hanya menghabiskan waktu tidak sampai satu jam dari pusat kota Bandar Lampung. Untuk menuju Pulau Pasaran yang sudah terhubung jembatan itu hanya bisa menggunakan ojek motor dan odong-odong.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Bandar Lampung terungkap bahwa umumnya nelayan yang ada di kawasan tersebut bukanlah penduduk asli Lampung. Mereka para nelayan pendatang dari Banten, Cirebon dan Brebes, dan dari suku Bugis yang dikenal sebagai pelaut.

Mereka mengaku sudah menghuni pulau tersebut sejak nenek moyangnya. "Nenek moyang kami nelayan. Kegiatan itu turun temurun sampai ke kami," ungkap sejumlah ibu-ibu yang menunggu jemuran ikan asin.

Dari DKP Bandar Lampung diperoleh keterangan, pulau berpenghuni 1.286 jiwa ini mampu memproduksi 8 hingga 10 ton per hari. Yang menonjol dari Pulau Pasaran adalah ikan teri dari berbagai jenis.

Di pasar tradisional Jakarta, teri nasi atau teri medan tersebut harganya cukup tinggi. Bahkan ibu-ibu rumah tangga sering mengatakan harga teri nasi itu lebih mahal dari harga daging sapi.

Sayangnya, harga yang begitu mahal di tingkat konsumen tidak dinikmati para nelayan, melainkan para tengkulak. Itu yang dikeluhkan para nelayan Pulau Pasaran. dan diakui Kasmin Marpai dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung.

"Itu sudah sejak lama menjadi keluhan para nelayan di Pulau Pasaran. Mereka itu tidak punya nilai tawar terutama dalam menentukan harga. Apalagi, mereka minim permodalan sehingga tidak jarang hasil tangkapan mereka itu dijual murah," kata Kasmin Marpai dari DKP Bandar Lampung.

Pengolah ikan terbentur modal karena hanya pemilik modal besar yang dapat menguasai ikan teri. Sementara pengolah yang tergabung dalam koperasi, dana yang dimiliki sangat terbatas, tentu teri yang didapat juga pas-pasan.

Mereka ini perlu 'Bapak Angkat'. Selain modal, mereka itu juga membutuhkan pendamping. "Kami tidak bisa membeli teri sesuai harapan kami karena dana terbatas. Teri kami jual kadang Rp80 ribu tapi bisa jadi Rp75 ribu tergantung Jakarta yang menentukan harga, bukan kami," ujar Kasnadi, salah satu nelayan.

Keluhan itu disampaikan kepada anggota DPR asal Lampung, Sudin dari Fraksi PDI Perjuangan dan Frans Agung Mula Putra dari Fraksi Hanura. Mereka secara lugas meminta bantuan dari anggota Dewan.

"Bapak siapkan saja proposal nanti cara buatnya dibimbing anggota DPRD Kota Lampung. Mereka itu dipilih untuk membantu rakyat. Kalau tidak mau bantu jangan dipilih lagi nanti. Kebetulan Menteri Koperasi dan UKM teman kita," kata Sudin.

Wajah sumringah penuh optimistis nampak dari wajah para pengolah dan juga para penyortir teri yang umumnya ibu-ibu rumah tangga. Padahal, entah kapan bantuan itu akan mengucur.

Selain teri, para pengolah lainnya juga membudidayakan sejumlah kekayaan laut yang beragam seperti kerang hijau, cumi dan rajungan. "Cumi asin sekilo Rp60 ribu dan kerang hijau dijual di tempat Rp5.000 per kologram," pungkas Kasmin Marpai. pur/R-1

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.