Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Parker Solar Probe

Mengungkap Misteri Korona di Permukaan Matahari

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Parker Solar Probe milik NASA telah tiba di Florida dan bersiap untuk peluncurannya ke Matahari yang dijadwalkan pada 31 Juli 2018.

Pada 2 April, satelit luar angkasa tersebut berangkat dari pangkalan NASA di Greenbelt, Maryland menuju Joint Base Andrews sebelum dibawa dengan US Air Force 436th Airlift Wing ke bandara regional angkasa di Titusville, Florida.

Parker Solar Probe merupakan misi kemanusiaan pertama ke Matahari. Misi ini merupakan suatu bentuk apresiasi untuk Eugene Parker, Profesor di Universitas Chicago. Pada 1950 an, Parker banyak mengeluarkan gagasan mengenai bintang-bintang termasuk Matahari.

Ia menjabarkan secara lengkap mengenai panas, magnetik dan partikel energi yang menyebabkan terjadinya energi panas pada Bintang. Ia juga membuat penjelasan teori mengenai atmosfer sangat panas Matahari yaitu korona dan sangatbertentangan dengan hukum fisika.

Teori itu menyebutkan bahwa korona jauh lebih panas ketimbang permukaan matahari itu sendiri. Maka dari itulah misi kemanusiaan NASA yang pertama ke Matahari diberi nama sesuai dengan namanya dan merupakan misi pertama NASA yang menggunakan nama seseorang.

Setelah peluncurannya pada Juli mendatang, Parker Solar Probe akan mengorbit langsung melalui atmosfer korona mendekat ke permukaan Matahari. Hal ini membuat Parker Solar Probe sebagai satu-satunya objek buatan manusia yang pergi paling jauh mendekati Matahari.

Selagi menghadapi panas yang ekstrem dan paparan radiasi yangsangat kuat, misi ini akan mengungkap ilmu fundamental yang menjadi pertanyaan banyak peneliti.

Seperti apa yang menyebabkan terjadinya panas pada Matahari dan apa saja yang membentuk atmosfer Bintang ini yang mampu memberikan dampak di luar angkasa termasuk cuaca di dekat Bumi. "Banyak kejadian yang dihadapi misi ini dan berkat tim yang menakjubkan dan bekerja sangat tekun, dapat mewujudkan misi ini menjadi kenyataan," ujar Andy Driesman, Project Manager Parker Solar Probe.

NASA telah mempersiapkan terobosan teknologi terbaru yang mampu membuat Parker Solar Probe bertahan pada temperatur korona Matahari yang mencapai 1.377 derajat Celcius. "Instalasi sistem perlindungan panas akan menjadi langkah akhir sebelum integrasi peluncuran," kata Driesman.

Melalui misi yang akan berlangsung selama hampir tujuh tahun ini, Parker Solar Probe akan menjelajahi atmosfer luar Matahari dan membuat observasi penting yang akan menjawab pertanyaan puluhan tahun lalu mengenai Bintang. Data tersebut nantinya akan berguna untuk meningkatkan prediksi tentang letusan-letusan yang terjadi di Matahari. Letusan-letusan tersebut kerap kali berdampak pada teknologi yang ada di Bumi seperti satelit dan astronot yang berada di luar angkasa, sehingga dapat melakukan antisipasi terlebih dahulu sebelum terjadinya letusan tersebut.

Menghadapi Panas Sangat Ekstrem

NASA mengundang orang-orang di seluruh dunia untuk ikut dalam misi kemanusiaan pertama ke Matahari. Caranya dengan mendaftarkan namanya secara online dan nanti akan ditempatkan ke dalam microchip pada misi Parker Solar Probe yang akan diluncurkan musim panas 2018.

Misi ini nantinya akan menjelajahi atmosfer Matahari, menghadapi panas yang sangat ekstrem dengan nama Anda yang ikut serta dalam perjalanan ini. Dalam perjalanannya ini, Parker Solar Probe akan pergi ke atmosfer Matahari yang berjarak 6,2 juta km dari permukaan pusat Tata Surya itu.

"Satelit ini akan berpetualang ke daerah yang belum dijelajahi sebelumnya," ujar Thomas Zurbuchen, Associate Administrator untuk Science Mission Directorate di pusat NASA.

"Misi ini nantinya akan menjawab pertanyaan para peneliti yang belum terungkap selama lebih dari 60 tahun," lanjutnya.

Mengetahui rahasia Matahari merupakan prioritas utama para peneliti, khususnya di bidang luar angkasa. Bidang ilmu bagaimana matahari dapat mempengaruhi dan berdampak bagi planet-planet di sekitarnya adalah hal yang tidak mudah. Hal tersebut tidak hanya penting untuk memahami Matahari saja, namun juga sistem Tata Surya dan hal-hal di luar dari itu.

Satelit luar angkasa ini memiliki ukuran sebesar mobil kecil. Namun jangan anggap remeh karena kecepatannya diperkirakan mencapai 692,017 km per jam. "Parker Solar Probe adalah misi dengan mesin paling cepat yang pergi ke Matahari," ujar Nicola Fox salah satu peneliti dalam proyek ini.

Untuk berpartisipasi dalam proyek NASA ini, siapapun dapat mendaftarkan namanya pada laman http://go.nasa.gov/HotTicket hingga 27 April 2018.

Butuh Biaya dan Teknologi Tinggi

Luar angkasa merupakan sebuah ruang yang tidak bersahabat untuk hidup manusia lebih dari kedalaman lautan. Tetapi berkat perkembangan teknologi yang kian canggih, penjelajahan ke luar angkasa bukan sekadar angan-angan.

Para penjelajah harus merencanakan secara matang perjalanan yang berbahaya dan tidak sedikit dari mereka yang meninggal saat mencoba mencari tahu lebih apa yang ada di horizon. Meskipun misi ke luar angkasa disebut sebagai misi yang sangat berbahaya, manusia tetap melakukannya karena tidak mengetahui sampai kapan planet ini dapat terus bertahan.

"Manusia memang lahir di Bumi. Apakah kita akan tetap tinggal di sini saja? Aku harap tidak," ujar Ann Leckie, peraih penghargaan Hugo and Nebula Award Winning dan penulis Ancillary Justice.

Perjalanan ke luar Bumi selain tidak mudah juga membutuhkan biaya banyak. Setidaknya menghabiskan dana 200 juta dollar untuk melakukan misi ke Mars. Untuk itu, perlu adanya solusi untuk mengatasi permasalahan ini, salah satunya dengan menggunakan roket yang dapat digunakan berulang kali.

"Jadi jumlah peluncuran meningkat, tapi dari pengeluarannya bisa menurun," ujar Les Johnson, Technical Assistant dari NASA Advanced Concept Office. Falcon 9 milik SpaceX contohnya, adalah salah satu roket peluncur yang dirancang untuk digunakan berulang kali.

Permasalahan lainnya yang kerap terjadi dalam misi ke luar angkasa adalah sistem navigasi. The Deep Space Network merupakan kumpulan antena yang ada di California, Australia, Spanyol, dan satu-satunya alat navigasi selama di angkasa.

Namun karena semakin banyaknya peluncuran yang dilakukan, jaringan ini kerap menjadi padat. Lalu semakin jauh roket pergi dari Bumi, maka semakin sulit untuk digunakan metode jaringan ini.

Dalam misi ke depannya, Joseph Guinn, ahli navigasi ruang angkasa menginginkan sistem mandiri yang didesain dapat mengumpulkan gambar-gambar dari target dan objek di sekitar dan menggunakannya sebagai koordinat lokasi pesawat luar angkasa. "Jadi seperti GPS yang ada di Bumi," kata Guinn. Nantinya sistem ini akan diletakkan dalam pesawat luar angkasa dan akan diberi nama Deep-space Positioning System (DPS).

gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top