Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Menghormati Pilihan Rakyat

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Dalam agenda politik pemilihan umum (Pemilu) Serentak 2019, sebagai pemilik kedaulatan, rakyat telah melaksanakan hak politik mereka pada 17 April 2019. Meskipun hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum keluar seluruhnya, arah pilihan rakyat sejatinya telah dapat dibaca. Hal itu paling tidak terlihat dari hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan beberapa lembaga survei yang terverifikasi.

Dalam pelaksanaan pemilu serentak tersebut, terdapat beberapa persoalan yang menarik untuk dikaji baik sebelum, maupun setelah pencoblosan. Setelah pemilu, masyarakat benar-benar dihadapkan pada keadaan rumit, di mana elite yang "kalah" dalam pemilu tak mau menerima. Tiap-tiap kandidat pilpres saling klaim kemenangan.

Jika dicermati, hal ini dipicu karena elite politik tidak siap menerima kekalahan. Mereka hanya berorientasi pada hasil, sehingga proses yang penuh keadaban dibaikan. Akibatnya, pelaku politik dengan mudah tergoda untuk menghalalkan segala cara, termasuk memanipulasi fakta dan menyebarkan fitnah demi merebut kemenangan.

Hasil hitung cepat lembaga survei terverifikasi pun dituding hasil rekayasa untuk menguntungkan calon petahana. Dalam pemilu, menghormati pilihan rakyat sebuah keharusan. Berapa pun selisih suara, harus tetap dihormati. Begitu pemilih menggunakan hak dan menentukan pilihannya, elite yang menjadi pelaku utama harus menerima dan menghormati sebagai hasil daulat rakyat yang tidak dapat ditawar.

Semua harus menyadari, dalam pemilihan umum akan selalu ada yang kalah dan menang. Berapa pun selisih suaranya harus diterima karena itu pilihan rakyat yang diamanahkan konstitusi. Bila tidak ada penghormatan terhadap pilihan rakyat, dan tidak ada kata peneduh dari elite politik yang kalah, kondisi tambah runyam.

Pendukung yang kalah akan merasa yakin suara mereka lebih banyak. Hakim Konstitusi, Saldi Isra, dalam Pemilu dan Pemulihan Daulat Rakyat mengungkapkan, dalam pilpres sangat diperlukan kedewasaan elite politik. Selama pelaku politik dewasa dan siap menerima kekalahan, kontestasi politik tidak akan menimbulkan pembelahan dalam masyarakat.

Jikalau memang elite yang terlibat dalam pilpres memiliki niat baik untuk membangun Indonesia, menang atau kalah sejatinya tidak penting. Lapang Dada Mereka tentu akan menerima pilihan rakyat, tanpa banyak alasan. Kalah ya kalah. Dalam pemilu, kekalahan bukanlah akhir segalanya atau menjadi lonceng kematian. Dia sebuah kebanggan karena sudah berhasil membuat demokrasi berjalan dengan baik.

Contoh, masih tergiang-giang pidato dan ucapan selamat Hillary Clinton ketika kalah bersaing dalam pemilu Amerika Serikat (AS) melawan Donald Trump. Walaupun dia dan pendukungnya kecewa, tetap mengucapkan selamat pada Donald Trump, sembari mengatakan siap bekerja sama demi AS yang lebih baik.

Sayangnya, Indonesia tidak memiliki banyak elite politik seperti Hillary, yang dapat menerima kekalahan pemilu dengan lapang dada. Hanya ada sedikit tokoh yang rela kalah dengan lapang dada. Contoh, dalam Pilkada Jakarta, Fauzi Bowo menyikapi kekalahan dengan gentle dan langsung memberi selamat kepada Joko Widodo, hanya berdasarkan hasil quick count.

Kemudian, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang secara tegas mengucapkan selamat kepada Anies Baswedan yang unggul berdasarkan quick count lembaga survei pada Pilkada DKI 2017. Di daerah yang berbeda, sikap tak jauh berbeda juga ditunjukkan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, ketika kalah bersaing dengan Ganjar Pranowo.

Ada juga di Belitung Timur, Basuri Tjahaja Purnama, mengucapkan selamat pada Yuslih Ihza-Burhanudin hanya sesaat setelah hasil quick count keluar. Meskipun beberapa di antara mereka petahana, ketika pilihan rakyat menentukan lain, mereka dengan tulus menyampaikan ucapan selamat kepada pesaing.

Tak hanya ucapan selamat, mereka juga minta para pendukung untuk menerima hasil pemilihan. Bila tidak menerima hasil pemilu, secara konstitusional, UUD 1945 memberi ruang untuk membawa penetapan hasil rekapitulasi KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut UUD 1945, MK merupakan satu-satunya tempat untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu. MK menjadi tempat pertarungan politik terakhir setelah KPU mengeluarkan hasil penghitungan suara. Namun, sekalipun harus bersengketa di MK, dalam penalaran yang wajar, melihat sejumlah bentangan fakta, mengindikasikan bahwa putusan MK juga akan ditolak bila tidak sesuai dengan keinginan mereka yang saat ini menolak quick count.

Putusan tersebut akan didelegitimasi dan MK dianggap berpihak pada salah satu kandidat. Dikatakan demikian karena dari awal, yang menolak kalah terus berusaha mendelegitimasi hasil quick count. Padahal hitung cepat dilakukan dengan metode ilmiah. Namun, ada saja yang mengatakan telah terjadi kecurangan. Ada juga yang mengatakan hasil quick count dilakukan tim sukses.

Kemudian, jauh-jauh hari, Amien Rais, salah satu tokoh sentral yang berada di kubu pasangan nomor urut 02, juga mengancam jika kalah pemilu, tidak akan ke MK, melainkan melakukan people power. Maksud Amien Rais yang akan people power tersebut masih ambigu dan penuh nada provokatif.

Bila merujuk pada konsep yang lebih luas, pernyataan tersebut apabila berujung pada keengganan menggunakan MK sebagai tempat menyelesaikan sengketa pemilu karena munculnya anggapan bahwa MK hanya akan mengiyakan hasil KPU, maka itu dapat dianggap sebagai content of court atau penghinaan terhadap pengadilan konstitusi.

Jika dicermati, pertikaian yang terjadi setelah pemilu akibat ulah elite yang hanya memperalat rakyat untuk meraih kuasa. Pada saat pemilu, rakyat diprovokasi dengan berbagai alasan. Kelak, setelah terpilih, mereka dengan arogan membunyikan sirine di jalan raya agar rakyat minggir.

Memang, tidak dapat menutup mata bahwa politik bekerja atas dasar kepentingan. Namun, dalam politik beradab, kepentingan harus disesuaikan dengan nilai-nilai persatuan yang hidup di masyarakat. Bukan sebaliknya, malah sengaja membuat masyarakat bertindak tidak rasional. Dengan kegaduhan pascapemilu, tampak elite politik hanya siap untuk menerima kemenangan.

Baca Juga :
Olahraga dan Politik

Mereka jauh dari siap mengambil bagian dalam sebuah kontestasi politik yang beradab. Menyikapi hasil pemilu yang telah dilaksanakan pada 17 April lalu, semua pihak, terutama elite yang berkepentingan seharusnya mengedepankan prinsip negara hukum. Jika memang tidak percaya quick count, jangan memprovokasi rakyat dengan menyebarkan ujaran kebencian.

Jangan juga mengeklaim kemenangan, sebelum hasil resmi KPU pada 22 Mei mendatang. Jika semua gentle, proses politik yang telah berjalan penuh keadaban, apa pun hasilnya harus diterima dengan baik. Perlu diingat, pemilihan umum adalah proses untuk mencari pemimpin terbaik untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Antoni Putra,Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Komentar

Komentar
()

Top