Menghidupkan Kembali Tradisi Panen Garam Kuno di Spanyol
Panen Garam I Juan Carlos Sanchez de Lamadrid (kanan) berpose bersama istrinya, Macu Gomez, saat mereka memanen garam dari ladang garam mereka di Kota El Puerto de Santa Maria, Cadiz, Spanyol, pada pertengah September lalu. De Lamadrid adalah bagian dari sekelompok kecil warga Spanyol yang ingin melestarikan tradisi pemanenan garam laut tetap hidup.
Foto: AFP/CRISTINA QUICLERDi ladang garam Cadiz di barat daya Spanyol, Juan Carlos Sanchez de Lamadrid sedang mengamati kolam berisi genangan air laut berwarna putih susu berbentuk persegi panjang yang merupakan bagian dari tradisi kuno untuk memanen garam dari laut.
Pada zaman dulu peradaban kuno bangsa Fenisia yang menguasai Mediterania sekitar tahun 1.200 SM, telah memanfaatkan angin kencang dan konstan yang bertiup dari Afrika utara untuk memfasilitasi penguapan air laut bagi menghasilkan garam di wilayah tersebut.
"Ini adalah tempat sempurna untuk ladang garam. Berangin, banyak sinar matahari... . Anda memiliki semua yang Anda butuhkan," kata De Lamadrid yang mengenakan topi jerami untuk melindungi dirinya dari terik matahari.
Pria berusia 56 tahun yang berasal dari Seville ini adalah bagian dari kelompok kecil namun dinamis petani yang berusaha melestarikan tradisi pemanenan garam laut tetap hidup.
Sektor ini berkembang pesat di wilayah yang cerah ini selama berabad-abad, dengan garam dari Cadiz diekspor ke Amerika, hingga penemuan alat pendingin secara drastis mengurangi kebutuhan garam untuk mengawetkan makanan.
Dari 160 produsen garam laut yang ada pada awal abad ke-20, hanya empat yang masih beroperasi.
Setelah lama berkarier sebagai fotografer dan tertarik dengan keindahan lanskap ladang garam, De Lamadrid mendirikan toko di wilayah tersebut pada tahun 2020 dan menjadi pemanen garam laut bersama istri dan dua karyawannya.
"Kami harus mempelajari segalanya, kami memulai dari nol," tutur dia sambil menerangkan bahwa ia mempelajari teknik membuat garam tersebut dari salah satu dari sedikit pemanen veteran yang masih aktif dan juga menghabiskan waktu di Portugal dan Prancis untuk menemukan teknik lain.
Tahun lalu, mereka memproduksi 30 ton garam laut murni dan tiga ton fleur de sel atau "bunga garam", sejenis kristal garam besar yang digunakan untuk hiasan dan membumbui segala sesuatu mulai dari ikan, daging dan sayuran hingga makanan penutup dan makanan panggang.
Untuk memanen garam, air laut dari Atlantik dialirkan ke jaringan tanggul yang dibangun di ladang garam, kemudian dibiarkan menguap. Ketika garam di dalam air mencapai konsentrasi yang tepat, air laut itu akan membentuk kristal putih yang kemudian dikumpulkan oleh para pekerja menjadi tumpukan putih kecil.
"Kami memanen semuanya dengan tangan dengan cara tradisional," kata De Lamadrid.
Kurang Dihargai
Ketika permintaan garam turun seiring dengan munculnya sistem pendingin, Cadiz tidak tahu bagaimana harus beradaptasi, tidak seperti tempat-tempat seperti Guerande di barat laut Prancis yang mulai menjual fleur de sal dan produk lainnya, kata Juan Martin, kepala perusahaan Salarte yang menjalankan usaha untuk menghidupkan kembali industri garam laut.
Sejak didirikan pada tahun 2012, Salarte telah merenovasi 250 hektare lahan garam dengan menggunakan pembiayaan swasta.
"Beberapa ladang garam berada dalam kondisi yang sangat buruk," kata Martin, seorang ahli biologi kelautan yang meyakini bahwa tempat-tempat seperti Teluk Cadiz tidak cukup dihargai karena kepentingan ekologisnya. "Sangat disayangkan karena kolam-kolam ladang garam ini adalah harta karun yang nyata, tidak hanya sebagai sumber kegiatan ekonomi tetapi juga karena keanekaragaman hayati yang luar biasa," kata Martin, sambil menggunakan teropong untuk menyaksikan burung-burung yang bermigrasi sedang mencari makan di ladang garam yang baru saja dipugar.
Kebangkitan industri garam merupakan salah satu dari serangkaian inisiatif selama dekade terakhir, mulai dari ekowisata hingga budidaya tiram, tanaman samphire, dan kosmetik yang diproduksi secara lokal, untuk memberikan kehidupan baru di ladang garam yang merupakan bagian dari taman alami seluas 10.500 hektare.
"Ladang-ladang garam yang jadi rumah bagi ikan laut, udang, dan kerang, adalah sebuah tempat sumber pangan yang luar biasa," kata koki bernama Angel Leon yang restorannya Aponiente berada di sebuah bekas pabrik abad ke-19 yang menyajikan hidangan boga bahari dan menggunakan garam laut lokal.
"Garam adalah sesuatu yang kita gunakan setiap hari, namun kita tidak sepenuhnya menghargainya," kata pria berusia 46 tahun itu. "Garam laut artisanal memiliki tekstur dan rasa yang tidak seperti garam industri. Masalahnya adalah kita kurang memperhatikannya," imbuh Leon seraya mengharapkan agar garam laut Cadiz akan segera tersedia di restoran-restoran ternama di seluruh dunia. AFP/I-1
Berita Trending
- 1 Cagub Khofifah Pamerkan Capaian Pemprov Jatim di Era Kepemimpinannya
- 2 Ini Klasemen Liga Inggris: Nottingham Forest Tembus Tiga Besar
- 3 Cawagub Ilham Habibie Yakin dengan Kekuatan Jaringannya di Pilgub Jabar 2024
- 4 Cagub Luluk Soroti Tingginya Pengangguran dari Lulusan SMK di Jatim
- 5 Cagub Risma Janji Beri Subsidi PNBP bagi Nelayan dalam Debat Pilgub Jatim