Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 16 Des 2017, 01:00 WIB

Mengeksplorasi Destinasi Seni Rupa

Foto: koran jakarta/eko s putro

Dalam lima tahun terakhir kunjungan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara atau yang sering disebut wisman ke Yogyakarta, kian menunjukkan peningkatan. Bagi wisatawan lokal, berwisata ke Yogya cukup menarik, selain harga makanan yang relatif murah, jaraknya pun tak terlalu jauh, baik dari Jakarta maupun kota-kota besar di Jawa lainnya.

Bukan hanya itu, akomodasi atau penginapan di kota "Gudeg" ini juga tergolong murah dan bertebaran. Barangkali ini menjadikan Yogya sebagai tujuan menarik kelas menengah hari ini.

Sejumlah pelancong bahkan mengatakan Yogya seperti halnya puncak bagi warga Jakarta saat ini. "Saya sudah lima kali wira-wiri Yogya ajak keluarga. Naik pesawat, naik mobil, kereta, semua pernah. Daripada ke puncak, mending cus ke Yogya," kata Bambang Sulistyo, 49 tahun, warga Jakarta Timur, saat ditemui di kawasan Malioboro, Yogyakarta, baru-baru ini.

Lima kali ke Yogya, Bambang tak bosan berkunjung ke Malioboro dan Beringharjo. Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Boko, Candi Kalasan, kampung batik Imogiri. Hampir semua yang ada di brosur wisata Yogya pernah didatangi. Tetapi bagi Bambang, Malioboro tetap menjadi favoritnya. Bagi Bambang, Yogya adalah Malioboro, suasana klangenan yang damai dan bahagia. Tidak tahu kenapa, Bambang yang lahir, besar, bekerja, dan berumah tangga di Jakarta ini, senang saja menghabiskan liburan di Yogya.

Dalam sebuah kesempatan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan HB X mengeluhkan wisata Yogya yang begitu terkonsentrasi di pusat kota. Berbagai usaha untuk menyebar konsentrasi wisata susah sekali menyedot perhatian wisatawan. Padahal, begitu banyak pilihan wisata Yogya yang bisa dicoba. Salah satunya wisata seni.

Saat Koran Jakarta menawarkan pilihan itu kepada Bambang, ini jawabnya, "Nggak ngerti seni rupa sih, jadi ya nggak tertarik, bahkan nggak kepikiran. Seni bagi saya ya Yogya ini, kotanya ini nyeni, santai, dan ayem."

Barangkali adigum tak kenal maka tak sayang berlaku di kasus Bambang dan jutaan wisatawan Yogya lainnya. Berikut Koran Jakarta mendaftar wisata seni di Yogya yang suatu saat bisa dicoba.

Pameran Seni

Yogyakarta memiliki kampus Institut Seni Indonesia (ISI) dan telah melahirkan ratusan seniman yang mendapat apresiasi publik seni rupa dunia. Salah satunya adalah Eko Nugroho yang belum lama ini karyanya diadopsi sebagai motif syal Louis Vuitton. Ya, ia jebolan ISI dan tinggal di Yogyakarta.

Kampus menjadi tempat kelahiran perupa, tapi pameran-pameranlah yang menentukan jalan hidup seorang perupa karena dengan pameran, karyanya mendapat respons dari publik luas, kurator, kritikus, media, kolektor, maupun museum.

Di Yogya tak ada hari tanpa pameran seni rupa. Di kampus ISI sendiri, di Bentara Budaya Yogya, di Taman Budaya Yogya, dan di galeri-galeri komersial, seperti Jogja Galeri, Sasanti, maupun di galeri-galeri yang dimiliki oleh seniman sendiri seperti Kedai Kebun yang dimiliki pasangan seniman rupa, Yustina Neni dan Agung Leak Kurniawan, atau Sangkring yang dimiliki oleh Putu Sutawajaya perupa yang karyanya berharga miliaran rupiah.

Namun, ada dua pameran besar yang bisa membantu wisatawan untuk dengan instan memasuki lanskap seni rupa di Yogya, yakni Biennale Jogja dan Artjog.

Biennale adalah pameran seni rupa tiap dua tahunan yang berusaha melihat pencapain puncak perupa dalam rentang waktu dua tahun terakhir. Jadi, datang ke Biennale, kita bisa melihat semua yang terbaik, tentu saja menurut kurator Biennale-nya. Biennale melihat seni rupa benar-benar sebagai sebuah medium pencapain bahasa ungkap rupa, seberapa liar, seberapa mengejutkan, seberapa dalam nilai yang dikandungnya, tanpa berurusan dengan pasar seni rupa yang melihat karya rupa lebih pada nilai komoditas atau investasi finansialnya. Gampangannya, Biennale adalah pekerjaan museum bukan pasar. Tidak ada harga di karya yang dipajang dan tidak ada aktivitas jual beli.

Biennale Jogja hampir selalu berlangsung di bulan-bulan November-Desember. Sejak 4 November lalu, Biennale Jogja ke-14 atau telah 28 tahun penyelenggaraannya baru akan ditutup pada 10 Desember nanti. Tahun 2011, Biennale Jogja fokus kepada melacak hubungan-hubungan Indonesia dengan negara-negara di Equator. Dan kali ini, seniman Brasil yang diajak terlibat pameran. Tema tahun ini adalah (st)age of hope yang kira-kira berbicara tentang keadaan ada dan tidak adanya sebuah harapan.

Nah, kalau ada jatah libur masih bisa meluncur ke Yogya untuk melihat karya puncak dua tahun terakhir 39 perupa Jogja dan Brasil.

Berbeda dengan Biennale, sebuah gelaran seni rupa tahunan bernama Artjog, justru fokus kepada hubungan seni rupa dengan pasar. Maksudnya, Artjog memiliki motif ekonomi lebih besar dari motif lainnya. Semua karya yang dipajang diberi harga dan berusaha dijual sebanyak-banyaknya. Transaksi bisa sampai puluhan miliar rupiah. Nah, di Artjog, sambil wisata bisa membayangkan bagaimana sih kemungkinan seorang perupa bisa kaya. Kenapa sebuah karya mahal dan murah. Kalau ajak anak dan suka menggambar, tapi malas matematika, nah datang ke Artjog setidaknya tidak akan terlalu mengkhawatirkan masa depannya. Sebaliknya, fokuskan saja belajar menggambar siapa tahu kelak ia jadi perupa besar yang karyanya berharga miliaran.

Artjog biasanya berlangsung pada bulan-bulan Mei-Juli. Pada Artjog tahun ke-10 pada 2017 ini berlangsung dari 20 Mei hingga 19 Juni. Biennale yang gratis cenderung sepi, namun Artjog yang berbayar 50 ribu rupiah tak pernah gagal menarik pengunjung. Setiap hari selalu padat dikunjungi pengunjung. Apa rahasianya? Setiap tahun Artjog selalu menghadirkan kejutan, yakni mengubah fasad atau bahkan total gedung pameran yang ia gunakan. Artjog juga selalu mampu mengemas karya dalam spot yang instagramable.

"Oh, kalau Artjog tahu, karena pasti ramai di Instagram," kata Lilik Sis, 39 tahun, warga Bogor saat ditemui Koran Jakarta di sebuah pusat oleh-oleh di Yogya, dua pekan lalu. Lilik datang ke Yogya bersama teman-temannya menonton NgaYogyazz. NgaYogyazz sebuah pertunjukan musik yang seru, satu-satunya di Indonesia. Di lain kesempatan, Koran Jakarta akan menuliskannya untuk pembaca semua. YK/E-3

Menikmati Karya Seni di Pinggir Jalan

The Pating Tlecek Ruang Arsitektur adalah sebuah buku karya seorang arsitek, Yoshi Fajar Krisna Murti. Buku ini menceritakan proses membuat rumah bagi keluarga Eko Nugroho, salah satu perupa muda Indonesia yang paling mendapat perhatian dunia saat ini.

Pating Tlecek adalah bahasa Jawa yang berarti berserakan di mana-mana tak beraturan. Tepat seperti itulah karya seni rupa di Yogyakarta. Sebab, bisa menjumpainya di mana saja, di rumah-rumah seniman, studio kerja, bahkan di pinggir jalan.

Malioboro, misalnya, setiap saat ada karya rupa tiga dimensi (patung atau instalasi) yang dipajang di antara trotoar dan jalanan yang diganti secara periodik. Karya-karya itu karya seniman Yogya yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dalam rangka mempercantik Jalan Malioboro sekaligus memberi objek keren bagi swafoto para pelancong.

Namun, karya yang dipajang di Malioboro banyak dikritik oleh para perupa. Alasannya, karya-karya yang dipajang di Malioboro sering kali justru dianggap mengotori ruang kota. Dan secara estetis, karya yang dipajang bukanlah karya yang memang diperuntukkan dipajang di ruang publik. Maka mulai dua tahun lalu, para pematung yang tergabung dalam Asosiasi Pematung Indonesia menggelar Jogja Street Scrupture Project (JSSP) yang menunjukkan kepada publik bagaimana semestinya pameran patung digelar di jalanan atau di ruang publik.

Ajang dua tahunan ini dimulai 10 Oktober dan baru akan selesai tiga bulan berikutnya. Tahun ini, pameran berlangsung di kawasan Kota Baru Yogya, Gondomanan, hingga Jalan Solo. Terdapat 74 pematung yang terlibat di pameran ini dari dalam dan luar negeri. Jangan heran kalau di pinggir jalan mendapati sebuah kuas raksasa atau sepeda ontel panjang yang berubah jadi sebuah kalimat berakasara Jawa.

Jadi, kalau ke Yogya, ingat-ingat lagi atau berselancar di internet dulu untuk memastikan agenda seni rupa di Yogya. Selain wisata, kita juga bisa belajar banyak bagaimana dunia para seniman khususnya para perupa. Apa nggak bosan wisata candi dan kuliner terus-terusan? YK/E-3

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.