Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Untuk menanamkan ideologi fasisme, Mussolini banyak mendirikan bangunan di lanskap kota. Tidak seperti di Jerman, bangunan-bangunan itu tetap berdiri tegak sampai saat ini.

Mengapa Italia Membiarkan Peninggalan Fasis?

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Fasisme adalah paham yang berdasarkan prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang mutlak atau absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian. Menjadi sangat penting dalam ideologi fasis karena ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh sehingga pemimpin dan militer harus kuat menjaga negara.
Gerakan tersebut memiliki satu tujuan menghancurkan musuh, di mana musuh dikonstruksikan dalam kerangka konspirasi atau ideologi lain. Dalam pola pikir fasis, musuh berada di mana-mana, baik di medan perang maupun dalam bangsa sendiri sebagai elemen yang tidak sesuai dengan ideologi fasis.
Salah satu negara yang pernah mengalami fasisme adalah Italia selain Jerman. Benito Mussolini adalah seorang tokoh politik yang menjadi diktator fasis Italia yang berkuasa dari 1925 sampai 1945. Masa-masa kepemimpinannya dianggap sebagai sejarah kelam oleh masyarakat dunia.
Namun meski fasisme membawa sejarah kelam, Italia tetap mempertahankan peninggalan fasisme, di antaranya adalah Palazzo della Civiltà Italiana, yang berada di Roma. Bangunan ini dibangun di bawah arahan Benito Mussolini. Uniknya, sekarang menjadi markas besar bagi rumah mode dunia, Fendi.
Pembangunan Palazzo dimulai pada akhir 1930-an, ketika Benito Mussolini bersiap untuk menjadi tuan rumah Pameran Dunia 1942, di Roma. Ia mengawasi pembangunan lingkungan baru, Esposizione Universale Roma, di barat daya kota, untuk memamerkan keagungan kekaisaran Italia yang diperbarui.
Pusat distrik adalah Palazzo della Civilta Italiana, sebuah keajaiban persegi panjang yang ramping dengan fasad lengkungan abstrak dan deretan patung neoklasik yang melapisi dasarnya. Namun pada akhirnya, pameran dibatalkan karena perang, tetapi palazzo, yang dikenal sebagai Square Colosseum, masih berdiri di Roma hingga hari ini.
Bagian luarnya diukir dengan frasa dari pidato Mussolini, pada 1935. Kala itu, ia mengumumkan invasi ke Ethiopia, di mana dia menggambarkan orang Italia sebagai "bangsa penyair, seniman, pahlawan, orang suci, pemikir, ilmuwan, navigator, dan transmigran."
Invasi dan pendudukan berdarah yang mengikutinya, kemudian akan mengarah pada tuduhan kejahatan perang terhadap pemerintah Italia. Bangunan itu, dengan kata lain, menjadi bukti peninggalan agresi fasis yang ke negara Afrika itu. Meski demikian bangun ini tidak dijauhi, malah dirayakan sebagai ikon modernis.
Pada 2004, negara mengakui palazzo sebagai situs "kepentingan budaya." Pada 2010, restorasi sebagian selesai, dan lima tahun kemudian rumah mode Fendi memindahkan kantor pusat globalnya ke sana.
Menurut laporan The New Yorker, Italia merupakan negara fasis yang memiliki pemerintahan neo fasis. Hal ini dapat dilihat dengan berkuasanya Silvio Berlusconi pada 1994 yang berasal dari politik sayap kanan. Negara ini juga menjadi yang pertama membawa partai neo Fasis ke tampuk kekuasaan, sebagai bagian dari koalisi kanan-tengah Berlusconi.
Namun di tengah kenyamanan orang Italia dengan hidup di tengah simbol fasis, negara ini sebenarnya adalah rumah bagi perlawanan anti-fasis dan Partai Komunis terbesar di Eropa barat pascaperang. Meski Amerika Serikat telah terlibat dalam pembongkaran monumen di masa lalu, namun Italia tetap membiarkan monumen fasisnya bertahan tanpa pertanyaan.
Mengapa fasis meninggalkan banyak penanda (landmark), alasannya ketika Mussolini mulai berkuasa pada 1922, dia memimpin gerakan baru di negara dengan warisan budaya yang kuat. Bangunan-bangunan itu dianggap sebagai cara untuk menanamkan ideologi fasis di lanskap kota.
Proyek publik, seperti kompleks olahraga Foro Mussolini, di Roma, dimaksudkan untuk menyaingi proyek Medici dan Vatikan. Sedangkan patung Il Duce, sebagaimana Mussolini dikenal, mengawasi orang Italia dalam bentuk patung, foto di kantor, poster di halte trem, dan bahkan cetakan pada pakaian renang.
Sangat mudah untuk merasakan, seperti yang dilakukan Italo Calvino, bahwa fasisme telah menjajah ranah publik Italia. "Saya menghabiskan dua puluh tahun pertama hidup saya dengan wajah Mussolini yang selalu terlihat," kenang penulis itu.
Di Jerman, sebuah undang-undang yang diberlakukan pada 1949 menentang permintaan maaf Nazi, yang melarang salam ala Hitler dan ritual publik, serta melarang simbol masa Reich ketiga yaitu swastika. Namun, Italia tidak menjalani program pendidikan ulang yang sebanding Jerman. hay

Berkat Dukungan Politik yang Kuat

Tidak dibersihkannya ratusan tugu fasis di Italia oleh Sekutu ketika selesai memenangi perang karena alasan kepraktisan. Secara politik saat itu, tidak bijaksana karena masih dalam tahap menstabilkan negara, apalagi harus dihadapkan rongrongan Partai Komunis yang sedang berkembang.
Setelah perang, buletin dan laporan Komisi Kontrol Sekutu malah merekomendasikan agar hanya monumen dan dekorasi yang paling jelas dan "tidak estetis," seperti patung Mussolini, yang dihancurkan. Selebihnya bisa dipindahkan ke museum, atau hanya ditutup dengan kain dan kayu lapis.
Pendekatan yang dilakukan sekutu menjadi preseden. Hukum Scelba 1953 yang dirancang untuk menghalangi rekonstitusi Partai Fasis kabur. Blok Demokrat Kristen yang berkuasa, yang mencakup banyak mantan Fasis, tidak melihat materi hal itu sebagai masalah, sehingga kebijakan yang lebih proaktif tidak pernah diterapkan.
Apalagi berkuasanya Perdana Menteri Silvio Berlusconi yang membawa Partai Gerakan Sosial Italia sayap kanan ke tampuk kekuasaan, rehabilitasi fasismenya dibantu oleh jaringan situs ziarah dan monumen yang ada. Di Predappio, tempat kelahiran Mussolini, toko-toko menjual kemeja bertema fasis dan Nazi serta barang dagangan lainnya.
Undang-undang Mancino, yang disahkan pada 1993, telah dibuat untuk menanggapi neo fasis tetapi penegakannya tidak merata. "Saya tinggal di Roma dengan beasiswa Fulbright pada 1994, dan terbangun lebih dari sekali oleh teriakan 'Heil Hitler!' dan 'Viva il Duce!' datang dari pub terdekat," ujar Ruth Ben-Ghiat profesor sejarah dan studi Italia di New York University dan penulis buku Strongmen: Mussolini to the Present.
Dalam beberapa kasus, ketika Berlusconi bersepeda masuk dan keluar dari kantor, situs-situs seperti Predappio melonjak popularitasnya. Para pelestari dari semua garis politik fasis menjalin aliansi untuk menyelamatkan monumen-monumen, yang semakin dilihat sebagai bagian integral dari warisan budaya Italia.
Foro Mussolini, seperti "Square Colosseum," adalah subjek kekaguman khusus. Pada 2014, Matteo Renzi, Perdana Menteri kiri-tengah, mengumumkan tawaran Roma untuk Olimpiade 2024 di dalam kompleks, yang sekarang dikenal sebagai Foro Italico, berdiri di depan lukisan "The Apotheosis of Fascism," yang ditutup-tutupi Sekutu, pada 1944, karena menggambarkan sosok Il Duce (pemimpin) seperti Tuhan. Bayangkan jika Kanselir Jerman saat ini, Olaf Scholz, atau sebelumnya, Angela Merkel, berdiri di depan lukisan Hitler.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa upaya untuk mengaitkan Italia dengan simbol-simbol fasis, contohnya pada 2012, Ettore Viri, Wali Kota sayap kanan Affile, mendirikan patung Jenderal Rodolfo Graziani, seorang kolaborator Nazi dan seorang tersangka penjahat perang, di sebuah taman yang dibangun dengan dana yang disetujui oleh pemerintah daerah kiri-tengah.
Di Predappio, sebuah Museum Fasisme baru sedang dibangun. Beberapa orang melihat museum, yang meniru Pusat Dokumentasi Sejarah Sosialisme Nasional Munich, sebagai latihan yang sangat dibutuhkan dalam pendidikan publik.
Pada 2016, saya adalah anggota komite sejarawan internasional yang berkumpul di Italia untuk mengevaluasi proyek tersebut. Yang lain khawatir bahwa lokasinya di kota asal Mussolini berarti akan semakin memicu nostalgia sayap kanan.
Pada permulaan karyawan rumah mode Fendi resah tentang asal-usul fasis dari Palazzo della Civiltà Italiana saat mereka tiba di tempat kerja setiap pagi. Sepatu hak tinggi (stiletto) mereka mengetuk lantai yang terbuat dari travertine dan marmer, bahan pilihan rezim fasis itu.
Seperti yang pernah dikatakan Rosalia Vittorini, kepala organisasi pelestari cabang Italia docomomo, ketika ditanya bagaimana perasaan orang Italia tentang hidup di antara peninggalan kediktatoran. "Mengapa menurut Anda mereka tidak memikirkannya?" tulis The New Yorker. n hay


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top