Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Dinamika Geoekonomi

Mengangkat Nilai Ekonomi Negara "Global South"

Foto : ANTARA FOTO/MEDIA CENTER IAF II-HLF MSP/NYOMAN HEN

Wakil Menlu, Pahala Nugraha Mansury saat pembukaan sesi Tematik SSTC High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) 2024 di Nusa Dua, Bali, Selasa (3/9).

A   A   A   Pengaturan Font

BALI - Sejak beberapa dekade terakhir, dunia seakan terbagi dengan dikotomi ekonomi utara (north) dan selatan (south) yang turut memunculkan dinamika geopolitik dan berimplikasi terhadap ekonomi dunia. Kedua istilah tersebut secara internasional pertama kali dikenalkan oleh aktivis politik asal Amerika Serikat, Carl Oglesby, pada 1969.

Istilah tersebut bisa juga merujuk nama lain, yakni Dunia Ketiga yang sebagian besar belum maju ekonominya karena berpenghasilan rendah atau negara yang masih berkembang, di luar wilayah Eropa dan Amerika Utara. Meski kenyataannya tidak semua negara di belahan bumi bagian selatan tergolong berpenghasilan rendah, misalnya Australia dan Selandia Baru.

Wakil Menteri Luar Negeri RI, Pahala Mansury, menyebut negara-negara mengalami fragmentasi ekonomi, di antaranya lebih mengedepankan kepentingan sesuai kelompoknya. Saat ini, eskalasi fragmentasi ekonomi berdampak terhadap tren penurunan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) secara global pada 2023 mencapai tujuh persen. Begitu juga tren perdagangan global yang merosot pada tingkat yang hampir sama.

Dalam jangka panjang, fragmentasi ekonomi diperkirakan memicu variasi biaya dari hasil ekonomi global dengan estimasi sekitar empat persen. Akibat dari tren itu, negara berkembanglah yang menanggung sebagian besar biaya dari fragmentasi ekonomi.

Menjawab tantangan global itu, pemerintah Indonesia menghadirkan Forum Indonesia-Afrika (IAF) ke-2 dan Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multi-Pihak (HLF MSP) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, 1-3 September 2024. Agenda tersebut mengedepankan kerja sama saling menguntungkan negara-negara berkembang yang mayoritas berada di "Global South", termasuk di antaranya Afrika dan Indonesia.

Sesuai "Semangat Bandung" yang menjadi landasan sejak Konferensi Asia Afrika 1955, forum itu menjadi wadah merancang masa depan lebih berkelanjutan dan inklusif. Forum tersebut menghasilkan kesepakatan bisnis mencapai 3,5 miliar dollar AS atau naik enam kali lipat dari pelaksanaan forum pertama pada 2018 yang mencapai 586,6 juta dollar AS.

Sumber Daya

Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyebutkan Afrika kaya akan sumber daya alam (SDA) yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Benua terbesar kedua itu menyimpan sekitar 30 persen cadangan mineral dunia, 8 persen gas alam dunia, dan 12 persen cadangan minyak dunia. Tidak hanya itu, Afrika juga memiliki 40 persen emas dunia, hingga 90 persen kromium dan platina hingga cadangan kobalt, berlian, platina, dan uranium terbesar di dunia.

Tidak hanya dari sisi SDA, menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), Afrika pada 2022 memiliki sekitar 1,3 miliar penduduk dengan proyeksi sekitar 60 persen di antaranya berusia di bawah 25 tahun. Pada 2030, penduduk muda Afrika diproyeksi menjadi 42 persen dari pemuda secara global.

Kondisi SDA dan SDM Afrika tersebut memiliki kemiripan dengan Indonesia, termasuk sumber daya alam dan bonus demografi, yakni diperkirakan 70 persen penduduknya berusia produktif 15-64 tahun pada 2045. Keduanya juga memiliki visi yang sama, yakni Agenda Afrika 2063 dan Visi Indonesia Emas 2045.


Redaktur : andes
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top