Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sentimen Pasar - Situasi Politik yang Kondusif Membantu Tenangkan Pasar

Menanti Putusan Baru Trump

Foto : Koran Jakarta/Wahyu AP

DIPENGARUHI GLOBAL - Pekerja melintasi papan indeks saham di Galeri Bursa Efek Indonesia, Jakarta, akhir pekan lalu (14/9). Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan dipengaruhi sentimen global, terutama dampak perang dagang AS-Tiongkok.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sentimen perselisihan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok masih menjadi penentu arah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sedangkan dari dalam negeri, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang neraca perdagangan Indonesia akan menjadi perhatian kalangan investor.

Rencananya, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, akan mengumumkan kembali kebijakan tarif impor senilai 200 miliar dollar AS produkproduk Tiongkok pada Senin (17/9) pagi waktu setempat. Seperti sebelumnya, Tiongkok juga akan membalas dengan instrumen bea masuk produk AS.

Perseteruan dagang kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini sudah pasti akan berimbas ke negara lain, terutama pasar saham dan pasar uang seperti yang terjadi pada pengumuman kebijakan tarif impor sebelumnya. Pekan lalu, pasar saham sempat menguat karena ada harapan ketegangan perang dagang mereda menyusul langkah AS yang mengajukan pertemuan dengan Tiongkok.

"Sentimen perang dagang menjadi perhatian investor saat ini. Pertemuan itu diharapkan menghasilkan solusi," kata Branch Manager Jasa Utama Capital Sekuritas Batam, Chris Apriliony, saat dihubungi, akhir pekan lalu.

Sementara itu, Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Krizia Maulana, mengatakan terdapat sejumlah faktor yang dapat menunjang pergerakan pasar saham Indonesia ke arah yang lebih tinggi ke depannya. Pertama, jika ada kepastian dalam hal eksternal terkait konflik dagang dan normalisasi dari kebijakan moneter AS. Kedua, kebijakan aktif dari Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Ketiga, kondisi fiskal yang saat ini sudah jauh lebih sehat. "Kenaikan pendapatan negara berada jauh di atas biaya dari belanja negara. Per 31 Juli 2018, penerimaan dari pajak tumbuh 14 persen secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan belanja negara sekitar 7 persen per tahunnya. Di samping itu, RAPBN di 2019 lebih kredibel dan memiliki perhatian khusus dalam menunjang daya beli masyarakat," paparnya.

Krizia menambahkan, faktor keempat terkait valuasi dari pasar saham Indonesia yang semakin atraktif. "Jika dilihat posisi investor asing terhadap pasar saham Indonesia boleh dikatakan lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga diharapkan tekanan jual asing pun juga akan berkurang," jelasnya.

Faktor Politik

Sedangkan faktor kelima adalah situasi politik yang lebih kondusif untuk saat ini. Menurut Krizia, hingga akhir Agustus 2018, kinerja pasar saham Indonesia mengalami penurunan 5,31 persen secara year to date (ytd). "Penurunan ini terjadi lebih disebabkan oleh faktor sentimen bukan semata faktor fundamental," jelasnya.

Kizia juga melihat beberapa negara lainnya di kawasan Asia juga mengalami pelemahan baik di pasar finansial maupun nilai tukarnya. "Beberapa sentimen yang dimaksud di antaranya normalisasi kebijakan moneter AS, konflik dagang yang berkepanjangan, serta adanya kekhawatiran mengenai emerging market risk off sentiment," papar dia.

Terkait kebijakan pemerintah untuk meredam pelemahan rupiah, Krizia menilai sudah cukup baik. "Bank sentral juga secara aktif menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di antaranya adalah dengan melakukan dual intervention, terhadap terhadap pasar nilai tukar dan juga menjaga stabilitas dari pasar obligasi Indonesia," katanya.

Ant/yni/AR-2

Penulis : Antara, Yuni Rahmi

Komentar

Komentar
()

Top