Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menanti Pemimpin Berbelarasa

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

OLEH Aloys Budi Purnomo, Pr

Narasi Paskah diwartakan dengan pesan belarasa. Pada hari pertama minggu itu, kata Santo Yohanes, mengawali narasinya, pagi-pagi benar, Maria Magdalena dan Maria, Ibu Yakobus, serta Salome menemukan kubur Yesus kosong. Maria Magdalena berkesimpulan, kubur kosong, jadi jenazah Yesus dicuri. Padahal, Yesus bangkit dan hidup. Dia tetap berbelarasa.

Kepada Maria Magdalena yang menangis, Yesus berkata, "Mengapa kamu menangis?" Lalu, Yesus menyebut namanya dan seketika Maria Magdalena sadar bahwa ternyata Yesus bangkit dan menyertai dia dalam tangis kesedihan. Tangis sedih menjadi kebahagiaan. Seturut pesan Yesus, Maria Magdalena memberitahukan kepada para murid-Nya, "Dia telah bangkit. Sungguh Dia telah bangkit!" Warta kebangkitan tidak diteriakkan dengan pengeras suara, demonstrasi besar-besaran, atau poster-poster dan spanduk.

Warta kebangkitan dibisikkan dalam kelembutan kepada seorang perempuan yang berduka karena merasa kehilangan Tuhannya. Pesan itu dibisikkan ke dalam hati dengan belarasa. Maka, bagi hati yang berbelarasa pula, pesan itu bisa diterima, dimengerti, diimani dan diwartakan dengan sukacita.

Hari-hari ini, di tengah kehidupan bersama yang dikepung kematian, penghancuran, pembantaian dan pembohongan yang memecah belah bangsa, kita dipanggil untuk mendengarkan kabar sukacita kebangkitan yang disampaikan dalam belarasa. Yesus menjadi sosok pemimpin yang berbelarasa. Dia mewartakan pesan kebangkitan tak hanya dengan perkataan, tapi keteladanan dan kehadiran.

Kita membutuhkan pemimpin yang berbelarasa. Di tengah kehidupan yang terancam oleh kuasa maut yang merajalela ini, kita butuh pemimpin yang hadir, bukan pemimpin yang cengar-cengir. Dia harus hadir dalam belarasa terhadap masyarakat yang menderita dan mendamba hidup sejahtera.

Kita masih mengalami kehidupan yang beringas. Lembar-lembar koran kita masih dihiasi berita-berita kekerasan, pembunuhan, dan penganiayaan. Kematian membawa kita pada kematian Yesus yang sedang dikenang umat Kristiani. Harapannya, kematian itu menginspirasi kehidupan para pemimpin untuk tegas mengembangkan belarasa.

Dunia ditandai kehancuran semesta akibat ketamakan dan serakah. Banyak sumber bumi dan alam dikeruk untuk mengabdi kepada kematian, bukan kesejahteraan. Mengapa kepada kematian, bukan kesejahteraan? Karena bumi dirusak dan hancur sehingga menjadi ancaman masa depan yang memilukan bagi anak-anak generasi masa depan. Kesejahteraan hanya dinikmati segelintir orang. Sebagian besar masyarakat tak menikmati kesejahteraan. Mereka mati karena harus menanggung kerusakan bumi dan semesta.

Alami Bahaya

Bahkan, boleh dibilang, berbagai segmen kehidupan mengalami bahaya kematian. Produk-produk senjata nuklir menjadi ancaman kehidupan yang mendatangkan kematian. Pabrik-pabrik senjata menjadi bagian dari industri perang. Dunia medsos menjadi industri kebencian yang memecah belah dan berujung pula pada kematian baik fisik maupun mental, persaudaraan dan peradaban kasih. Diam-diam, dunia diatur dan dikuasai maut yang meresap secara halus dalam segala segmen kehidupan.

Yesus menjadi sosok pemimpin yang berbelarasa dengan wafat di kayu salib. Ia wafat dengan segala rasa remuk redam oleh kuasa maut. Ia wafat melalui proses peradilan yang kacau, penuh tekanan dan ketakutan karena teriakan massa yang kalap. Ia wafat melalui proses penyiksaan bengis, kejam, dan sadis. Ia wafat bukan sekadar mati, tapi melalui proses kebencian dan dendam hebat dari musuh-musuh.

Namun, kematian-Nya tidak sia-sia karena membawa kehidupan belarasa. Saat ini, kita sedang hidup di tengah masyarakat yang diserbu informasi, tanpa pandang bulu. Ini bisa mengakibatkan hidup mengalami kedangkalan luar biasa dalam diskresi moral. Kita mudah mengunggah yang tidak konstruktif dan gegabah men-share berita-berita bohong, tanpa menguji kebenarannya.

Ini sebenarnya cermin pribadi yang defisit rasa peka dan belarasa. Kabar, gambar, dan serbavurgal menjadi viral, namun bohong. Dampaknya hanya menjerumuskan masyarakat ke jurang kematian mental, spiritual, dan moral. Alih-alih membangun bela rasa, sikap itu justru mencabik-cabik kehidupan yang mestinya dibangun agar rukun dan damai. Maka, pemimpin yang berbelarasa sangat dibutuhkan kehadirannya justru saat kita dengan mudah dicabik-cabik dan dipecah-pecah.

Kehidupan tercabik-cabik oleh kebencian, kekerasan, dan kebohongan ini harus diselamatkan oleh pemimpin yang berbelarasa, Di sinilah, kematian yang ditempuh Yesus menjadi jalan kehidupan. Belarasa yang dihadirkan Yesus hingga kematian-Nya berbuah kebangkitan dan kehidupan. Dia terus dekat dengan mereka yang berduka, menderita, tersiksa, cemas, dan takut.

Dalam perspektif Paskah, Yesus diremukkan oleh kuasa maut. Namun, kematian-Nya justru menumpulkan dan bahkan menghapus sumber maut. Melalui kematian-Nya, Ia mengalahkan semua kuasa maut. Kegelapan hati yang sering membuat putus asa dikuatkan-Nya. Hati yang kerap putus asa karena menyaksikan berbagai bentuk kekerasan yang merajalela, diteguhkan.

Di atas segalanya, Ia selalu hadir merengkuh, menyapa, dan terus blusukan di kedalaman hati orang yang mendambakan belarasa penuh kerahiman. Pemimpin seperti inilah yang kita rindukan sekarang. Pemimpin yang berbelarasa sebagaimana diteladankan Yesus itulah yang sedang dicari dan didambakan bangsa ini.

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa hadir menjadi pemimpin berbelarasa bagi rakyat? Kita juga diajak untuk membangun diskresi moral dalam menentukan pemimpin masa depan yang berbelarasa bagi bangsa. Jangan mudah terkecoh janji. Percayalah pada bukti yang sudah dan sedang terjadi dan akan terus diwujudkan bagi seluruh warga masyarakat. Pemimpin yang berbelarasa tidak diukur dengan janji, tapi bukti.

Penulis Seorang Imam

Komentar

Komentar
()

Top