Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketersediaan Pangan I Kenaikan Harga Cabai Tidak Dinikmati Petani, Hanya Pedagang

Memalukan, Pemerintah Selalu Gagal Atasi Lonjakan Harga Cabai

Foto : ANTARA/GUSTI TANATI

HARGA CABAI RAWIT TEMBUS 120.000 RUPIAH PER KILOGRAM I Pedagang menata cabai yang dijual di Pasar Induk Regional Youtefa, Kota Jayapura, Papua, Senin (11/12). Cabai rawit di Kota Jayapura mengalami kenaikan akibat terbatasnya suplai cabai ke pasar dari harga 80.000 rupiah per kilogramnya kini menjadi 120.000 rupiah per kilogram.

A   A   A   Pengaturan Font

» Petani dan industri pangan dengan dukungan pemerintah seharusnya dapat menyediakan cabai sepanjang tahun.

» Pemerintah dinilai terlalu fokus mengurus pemilu sehingga lupa mengendalikan harga bahan pokok.

JAKARTA - Pemerintah dinilai selalu gagal dalam mengatasi lonjakan harga pangan, terutama komoditas seperti cabai yang pada momen-momen tertentu, seperti jelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru harganya selalu meroket.

Harga cabai yang sudah melampui 100 ribu per kilogram (kg) bukan hanya terjadi sekarang ini, tetapi sudah dari rezim-rezim sebelumnya. Anehnya, cabai belum masuk dalam komponen inflasi karena digabung dalam kelompok makanan dan minuman. Padahal, cabai hampir dikonsumsi oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pangan pokok, kalau harganya naik sama dengan menaikkan harga air yang merupakan pangan pokok. Pemerintah kalau tidak percaya bisa saja menghilangkan cabai, tapi dipastikan masyarakat akan berontak.

Dalam kondisi harga cabai yang tidak terkendali, ujungnya akan melakukan tindakan yang memalukan dengan mengimpor cabai dari Tiongkok dengan dalih stabilisasi harga.

Pembina Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, yang diminta pendapatnya mengatakan kenaikan harga produk hortikultura, seperti cabai sudah semenjak lama menjadi perhatian nasional. Kejadiannya pun akan terus berulang bila tidak ada penanganan yang terstruktur.

"Kita mahfum dampak perubahan cuaca, kelancaran distribusi, menjadi salah satu penyebab naik turunnya harga komoditas tersebut. Namun, kondisi tersebut harusnya bisa dimitigasi dan melakukan adaptasi karena sudah ada Badan Pangan Nasional sebagai kelembagaan pangan yang memiliki panel harga dan neraca pangan," kata Yakub.

Seharusnya, dengan adanya neraca pangan tersebut, para pihak dalam hal ini otoritas pengambil kebijakan dapat segera mengambil tindakan cepat dan membangun grand design jangka panjang pembangunan pertanian dan pangan.

Menurut dia, setiap kenaikan harga cabai, petani belum tentu seutuhnya menikmati keuntungan. Dengan harga yang melonjak tinggi, justru daya beli masyarakat turun, sementara di sisi lain komoditas cabai mudah busuk dan kualitasnya menurun.

Dengan pengalaman puluhan tahun, petani dan industri pangan dengan dukungan penuh pemerintah dapat menyediakan kebutuhan cabai sepanjang tahun. Tentu dengan strategi inovasi pengolahan pascapanen. Semisal dengan teknologi pengeringan cabai, bubuk cabai, penyimpanan cabai segar agar tahan lama sampai pada saos cabai.

"Bila hal ini dilakukan secara masif dan terencana baik maka selera konsumen akan seiring waktu akan terbentuk, tidak hanya mengandalkan produk cabai segar," kata Yakub.

Dia menyayangkan sampai hari ini ekosistem pertanian di pemerintahan, petani dan industri belum terbentuk. Itulah menurutnya peran Badan Pangan Nasional agar melakukan orkestrasi pemenuhan cabe secara nasional sepanjang tahun dengan harga wajar.

"Tinggal keseriusan dan metodologi kita diuji oleh waktu, momen politik saat ini harusnya mampu menyelesaikannya. Intinya tidak boleh lagi masalah pangan kok impor, impor, impor. Setop impor dan bangun kemandirian pangan," papar Yakub.

Potensi Ekonomi Desa

Pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, juga sependapat dengan Yakub. Zainal mengkritisi kenaikan harga cabai yang selalu terulang setiap tahun dan hanya menguntungkan pihak pedagang.

"Memang itu selalu terulang karena ulah pedagang. Hal itu lebih parah karena tidak ada transfer payment pada petani cabai di desa, sehingga sebagai produsen mereka sama sekali tidak ikut menikmati lonjakan harga ini. Keuntungan hanya dirasakan pedagang. Ini hanya permainan mereka. Padahal secara agroclimate, komoditas ini adalah potensi perekonomian masyarakat desa," kata Zainal.

Zainal mengusulkan agar komoditas cabai yang mudah rusak, oleh petani dan melalui kelompok-kelompok tani mengolahnya sebagai tepung cabai, karena teknologinya sederhana, apalagi kalau didukung pemerintah pasti bisa dilakukan.

Wakil Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jatim, Nanang Triatmoko, baru-baru ini mengatakan tingginya harga cabai rawit merah disebabkan stok yang menipis, dan belum memasuki masa tanam.

Secara terpisah, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan berlarut-larutnya masalah lonjakan harga cabai karena pemerintah terlalu fokus urus pemilu, lupa mengendalikan harga bahan pokok.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top