Melacak Jejak Perbudakan di Perkebunan Tembakau Deli
Foto: istimewaDi zaman kolonial Belanda, tanah Deli menjadi perkebunan tembakau subur yang menguntungkan. Ratusan miliar gulden dikeruk dari tempat dengan cara perbudakan.
Wilayah Deli di daerah sekitar Medan saat ini, di masa lalu digambarkan sebagai tanah yang kaya akan peninggalan sejarah. Bersamaan dengan dongeng indah ini, Jacob Nienhuys, seorang pedagang tembakau Belanda, dikisahkan sebagai pendiri kota modern Medan.
Sementara itu situs Monumen Kolonial Belanda, memuliakan Jacob Theodoor Cremer sebagai kolonial dengan cita-cita tertinggi. Ia membawa peradaban, kemakmuran, perdamaian, dan ketertiban di tanah Deli.
Keduanya Nienhuys dan Cremer menjadi kaya dari perkebunan Deli.
Rumah Nienhuys di Amsterdam sekarang menjadi Institut NIOD untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida. Kamarnya mandinya berlapis emas. Sedangkan Cremer bahkan pernah menjabat sebagai menteri kolonial di pemerintahan Belanda (1897-1901).
Di laman Wikipedia, Nienhuys dan Cremer dilukiskan sebagai pendiri perusahaan tembakau dan raja tembakau tanpa mencantumkan kekejaman yang mereka buat. Padahal keduanya bertanggung jawab pada terjadinya kekejaman karena memperbudak para kuli.
"Khusus di Sumatera Utara, perdagangan manusia untuk buruh perkebunan yang dikenal dengan istilah kuli sudah banyak dilakukan sekitar 150 tahun yang lalu," tulis Budiman Minasny seorang profesor pemodelan lanskap-tanah sekaligus Anggota Masa Depan Dewan Riset Australia dalam tulisannya di The Conversation.
Medan yang terkenal sebagai kota perdagangan pada awal abad ke-20, pernah memiliki dua monumen untuk mengenang kejayaan para pedagang budak itu. Pada 1915, air mancur didirikan di depan Kantor Pos Medan untuk memperingati Nienhuys sebagai "pelopor" perkebunan Deli.
Pada 1928, patung Cremer didirikan di depan gedung kantor Asosiasi Perkebunan Deli (sekarang Rumah Sakit Militer Putri Hijau) dengan tulisan "Cremer, 1847-1923." Ia digambarkan sebagai pendiri perkebunan tembakau Deli, pendiri perkeretaapian di sana, pejuang tak kenal lelah yang bekerja untuk kepentingan perkebunan.
"Kedua monumen ini sudah tidak ada lagi, namun peninggalan kuli dari kedua tokoh kolonial tersebut masih dapat dirasakan hingga saat ini di Sumatera Utara," tulisnya Budiman.
Menurut dia, sejarah perbudakan oleh Nienhuys, dimulai ketika ia datang ke Labuhan Deli di Sumatera Utara pada 1863. Labuhan adalah sebuah desa kecil di dekat Belawan, yang hanya dihuni oleh 2.000 penduduk Melayu dan sekitar 20 orang Tiongkok dan 100 orang India.
Sultan Deli, Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam (1853-1924), tertarik untuk mengembangkan tanah di Deli sebagai kawasan perkebunan. Sultan memberi konsesi tanah kepada Nienhuys untuk menanam tembakau. Masalah pertama yang dihadapi Nienhuys adalah kurangnya tenaga kerja. Pasalnya orang Melayu dan Batak setempat tidak mau bekerja sebagai buruh perkebunan.
Nienhuys kemudian mencari tenaga kerja dengan "mengimpor" 120 kuli Tiongkok dari Penang, Malaysia, pada 1864. Setelah beberapa tahun uji coba, Nienhuys berhasil mengembangkan tembakau Deli sebagai pembungkus cerutu berkualitas tinggi yang dicari oleh perokok Eropa dan Amerika.
Dengan investasi modal dari Rotterdam, Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij atau Perusahaan Deli dan mengembangkan industri, perkebunan tembakau skala besar. Ia membutuhkan lebih banyak pekerja, dengan mendatangkan ribuan kuli dari Tiongkok yang didatangkan dari Penang dan Singapura, serta tenaga kerja dari Jawa, Banjar, dan India.
Pada 1890, Belanda mengangkut lebih dari 20.000 kuli Tiongkok ke Deli. Dengan tenaga kerja yang murah, perusahaan rokok bisa menjalankan bisnis yang sangat menguntungkan. Pada 1896, penjualan 190.000 bal tembakau Deli di Amsterdam menghasilkan 32 juta gulden. Jika dikonversi ke uang saat ini, sekitar 450 juta dollar AS atau sekitar 6,5 triliun rupiah.
Total penjualan tembakau Deli yang dicapai oleh perkebunan kolonial dari 1864 sampai 1938 mencapai 2,77 miliar gulden, atau jika dikonversi ke mata uang saat ini adalah sekitar 40 miliar dollar AS atau 578,4 triliun rupiah.
Diperbudak
Namun di balik kinerja keuangan yang mengkilap, menurut Budiman, para pekebun Belanda memperlakukan kuli seperti budak.
"Akan menjadi keajaiban memang, jika kuli Tiongkok yang terhormat akan tertarik ke tempat di mana kuli dipukuli sampai mati atau setidaknya dianiaya sehingga pukulan-pukulan itu meninggalkan bekas luka permanen, di mana perbunuhan adalah hal biasa. Baru-baru ini saya mendengar desas-desus tentang seorang Eropa tertentu yang membanggakan dirinya karena telah menggantungnya setelah kuli benar-benar membiru," demikian tulisan pada sebuah surat tertanggal 28 Oktober 1876 yang ditulis oleh Frans Carl Valck, Asisten Residen di Sumatera Timur.
Nienhuys menulis bahwa "Orang Tiongkok adalah penipu yang berani dan orang Jawa malas dan pemarah" dan "Batak adalah ras yang bodoh, secara keseluruhan."
Sebuah artikel tertanggal 30 Mei 1913 di Sumatra Post menulis, Nienhuys didakwa mencambuk tujuh kuli Tiongkok sampai mati. Kasus itu tidak pernah terbukti namun juga tidak terbantahkan. Sultan Deli memerintahkan Nienhuys untuk meninggalkan tanah Deli dan tidak pernah kembali.
Pada 1869, JT Cremer menggantikan Nienhuys sebagai administrator perusahaan Deli. Untuk mengendalikan ribuan pekerja dari Tiongkok dan Jawa. Ia merancang Ordonansi Kuli, yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1880.
Peraturan itu mengizinkan perusahaan untuk mengikat kuli dalam kontrak yang mengikat mereka selama tiga tahun. Para pekerja itu dimaksudkan untuk membayar "utang" mereka untuk biaya transportasi ke tanah Deli.
Kontrak termasuk sanksi pidana yang memungkinkan perusahaan untuk menghukum pekerja jika mereka membatalkan perjanjian. Peraturan tersebut memberikan kekuasaan kepada pemilik perkebunan untuk menghukum kuli yang dianggap tidak patuh, malas, atau mecoba melarikan diri. hay/I-1
Tanah Neraka dan Kematian Bagi Para Kuli
Anehnya perbudakan di perkebunan di Deli, Sumatera Utara, terjadi ketika Belanda telah menghapuskan kebijakan tanam paksa yang berlaku dari 1830-1870, menyusul berbagai protes. Sektor perkebunan tembakau yang menggiurkan membuat Belanda mengabaikan hal itu.
Untuk memperkuat monopoli perkebunan tembakau pada 1879, Jacob Theodoor Cremer melobi pemerintah Belanda untuk mendatangkan tenaga kerja langsung dari Tiongkok. Pada 1900, sebanyak 6.900 pekerja didatangkan langsung dari Pelabuhan Swatow di Provinsi Guangdong dan Hong Kong. Dari 1888-1930, lebih dari 200.000 pekerja Tiongkok telah dikirim ke Deli.
Namun hal itu belumlah cukup. Pada 1910, kuli juga didatangkan dari Jawa ketika perkebunan karet baru didirikan. Pada 1930 ada 26.000 orang Tiongkok, 230.000 orang Jawa, dan 1.000 orang India.
Perbudakan di Deli terungkap oleh Van der Brand, seorang pengacara Belanda di Medan pada 1920. Ia mengungkapkan kekejaman pekebun kolonial terhadap pekerja mereka, dalam sebuah pamflet berjudul Jutaan dari Deli (De Millionen uit Deli) yang disebut-sebut sebagai sebuah publikasi yang dianggap "Max Havelaar dari Deli".
Pemerintah kolonial merasa berkewajiban untuk menanggapinya laporan ini dan mengirimkan jaksa J.L.T. Rhemrev untuk menyelidiki kasus ini. Laporan Rhemrev yang dikeluarkan pada 1904 bahkan menemukan perlakuan yang lebih buruk kepada para pekerja. Sayangnya laporan tersebut dipetieskan
"Baru pada 1987 ditemukan oleh Jan Breman, seorang peneliti dari Universitas Amsterdam. Breman memperkirakan seperempat kuli meninggal sebelum kontrak mereka berakhir. Setelah Indonesia merdeka, kasus perbudakan ini sudah dilupakan, baik di Belanda maupun di Indonesia," tulis Budiman Minasny seorang profesor pemodelan lanskap-tanah sekaligus Anggota Masa Depan Dewan Riset Australia dalam tulisannya di The Conversation.
Aktivis antikolonial dari Indonesia, Tan Malaka, yang pernah menjadi guru di perkebunan Deli pada era '20-an, menggambarkan kehidupan di sana.
"Deli, tanah emas, surga bagi kapitalis, tetapi tanah keringat, air mata, dan kematian, neraka bagi para pekerja," tulis dia. "Kuli dipaksa bekerja; mereka adalah budak. Para kuli bekerja dari fajar hingga malam, menerima upah yang cukup untuk mengisi perut mereka dan menutupi punggung mereka; mereka tinggal di kandang seperti kambing di kandang mereka, mereka disebut dewa dan bisa dipukuli kapan saja dan bisa kehilangan istri dan anak perempuan mereka seperti yang diinginkan oleh tuannya," lanjut Tan Malaka. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 2 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 3 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 4 Para Penggemar K-Pop Ikut Tolak Rencana Kenaikan PPN 12 Persen
- 5 Generasi Muda Tak Perlu Cemas, Produk Berbahan Baku Herbal Diandalkan Hadapi Food Pleasure