Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Temuan arkeologi terbaru mengindikasikan bahwa umat manusia telah menguasai penghitungan hingga angka 10, ribuan tahun lalu. Para pakar saat ini sedang melacak hipotesa awal mula temuan yang mengubah jalannya peradaban ini.

Melacak Awal Mula Umat Manusia Mulai Belajar Berhitung

Foto : Nature/F. d’Errico

Artefak tulang hyena dengan 9 takikan yang ditemukan arkeolog di situs Les Pradelles dekat Angouleme, Prancis

A   A   A   Pengaturan Font

Sekitar 60.000 tahun yang lalu di suatu tempat yang sekarang disebut Prancis barat, seorang manusia Neanderthal mengambil sepotong tulang paha hyena dan alat batu dan kemudian mulai asyik dengan aktivitasnya sendiri. Saat aktivitas itu usai, pada tulang itu tergurat sembilan takikan yang sangat mirip dan sejajar, seolah-olah takikan itu dimaksudkan untuk menandakan sesuatu.
Seorang arkeolog dari Universitas Bordeaux, Prancis, bernama Francesco d'Errico yang meneliti artefak tulang kuno itu berkesimpulan bahwa takikan itu tampaknya lebih memiliki nilai fungsional.
Kesimpulan d'Errico tercetus setelah ia memeriksa banyak artefak ukiran kuno selama kariernya dan ia berpikir bahwa tulang hyena yang ditemukan sekitar setengah abad lalu di situs Les Pradelles dekat Angouleme sebagai suatu temuan arkeologis yang tidak biasa. "Meskipun artefak ukiran kuno sering ditafsirkan sebagai karya seni, temuan tulang di Les Pradelles tampaknya lebih fungsional," kata d'Errico seperti dikutip dari jurnal sains Nature edisi Rabu (2/6) lalu.
Dia berpendapat bahwa takikan pada tulang itu mungkin menyandikan catatan informasi numerik. Dan jika itu benar, maka anggapan bahwa manusia modern yang mulai mengembangkan sistem notasi numerik akan pupus karena manusia Neanderthal mungkin juga telah mulai melakukan penghitungan.
Ketika d'Errico mempublikasikan kesimpulannya pada 2018, belum ada ilmuwan yang meneliti awal mula umat manusia mulai belajar berhitung. Saat ini asal usul angka semakin menarik perhatian karena para peneliti dari berbagai bidang menangani masalah dari sudut pandang yang berbeda.
Ilmuwan dengan bidang penelitian kognitif, antropolog, dan psikolog, melihat budaya kontemporer untuk memahami perbedaan di antara sistem bilangan yang ada dan semua itu didefinisikan sebagai simbol yang digunakan masyarakat untuk menghitung dan memanipulasi angka. Harapan mereka adalah bahwa petunjuk yang terkubur dalam sistem modern dapat menjelaskan detail asal-usul manusia.
Sementara itu, para arkeolog mulai mencari bukti notasi numerik kuno, dan ahli biologi evolusioner yang tertarik pada bahasa, sedang mengeksplorasi asal-usul dari kata bilangan. Studi-studi ini telah mendorong para peneliti untuk merumuskan beberapa hipotesis terperinci pertama terkait pengembangan sistem bilangan prasejarah, selain akan menguji hipotesis yang berbeda mengenai pertanyaan-pertanyaan soal kapan, mengapa, dan bagaimana sistem bilangan muncul dan menyebar di seluruh dunia.
Bagian dari Insting
Meskipun para peneliti pernah berpikir bahwa manusia adalah satu-satunya spesies dengan kemampuan berhitung, penelitian sejak pertengahan abad ke-20 telah mengungkapkan bahwa sejumlah hewan juga memiliki kemampuan itu.
Atas asumsi itu, seorang ahli saraf di Universitas Tubingen, Jerman, bernama Andreas Nieder, menyatakan bahwa manusia memiliki apresiasi bawaan terhadap angka. "Semua itu muncul melalui proses evolusi seperti seleksi alam," kata Nieder.
Penafsiran yang berbeda diungkapkan oleh Rafael Nunez, seorang ilmuwan kognitif di University of California, San Diego, AS, dimana ia berpendapat bahwa persepsi manusia tentang angka biasanya jauh lebih canggih dan tidak bisa muncul melalui proses seperti seleksi alam. Menurut Nunez banyak aspek dari angka justru dihasilkan oleh evolusi budaya, dimana ada suatu proses pada individu untuk belajar melalui peniruan atau pengajaran formal untuk mengadopsi keterampilan baru seperti halnya bagaimana menggunakan suatu alat.

Semakin Pelik
Selain meneliti tulang Les Pradelles, d'Errico juga melakukan studi banding dengan temuan tulang betis babon berusia sekitar 42.000 tahun yang juga ditandai dengan 29 takikan dari penggalian di Border Cave, Afrika Selatan.
D'Errico menduga bahwa manusia modern yang hidup di sana pada saat itu menggunakan tulang untuk merekam informasi numerik dengan angka yang lebih banyak dan ini mengindikasikan bahwa manusia yang hidup pada era itu telah memiliki kognisi yang canggih karena memiliki kemampuan penghitungan yang lebih pelik. Jika dugaan d'Errico ini benar, maka kemampuan ini ratusan ribu tahun lebih awal dari yang diperkirakan para ilmuwan sebelumnya.
Dari studi banding ini, d'Errico kemudian mengembangkan skenario untuk menjelaskan bagaimana sistem bilangan mungkin muncul melalui tindakan memproduksi artefak semacam itu.
Menurut d'Errico, semuanya dimulai secara tidak sengaja, karena hominin awal secara tidak sengaja meninggalkan bekas di tulang saat mereka menyembelih hewan. Kemudian, hominin membuat lompatan kognitif ketika mereka menyadari bahwa mereka dapat dengan sengaja menandai tulang untuk menghasilkan desain abstrak. Pada titik tertentu setelah itu, lompatan lain terjadi yaitu tanda individu mulai memiliki arti, dengan beberapa di antaranya mungkin menyandikan informasi numerik.
Dalam catatan penelitiannya, d'Errico mengakui bahwa ada celah dalam skenario ini. Tidak jelas faktor budaya atau sosial apa yang mungkin mendorong hominin purba untuk mulai menandai tulang atau artefak lain dengan sengaja, atau kemudian memanfaatkan tanda tersebut untuk merekam informasi numerik.

Kepemilikan Materi
Sementara itu arkeolog kognitif bernama Karenleigh Overmann dari University of Colorado di Colorado Springs, dalam penelitiannya telah mengembangkan hipotesis tersendiri untuk menjelaskan bagaimana sistem bilangan mungkin muncul di era prasejarah.
Overmann menekankan bahwa tidak ada kekurangan intelektual tentang masyarakat yang menggunakan sistem bilangan yang relatif sederhana namun yang ia permasalahkan yaitu tekanan sosial apa yang menyebabkan masyarakat terdorong untuk mengembangkan sistem bilangan yang lebih rumit.
Dalam studi pada 2013, Overmann menganalisis data antropologis yang berkaitan dengan 33 masyarakat nomaden dahulu kala di seluruh dunia. Dia menemukan bahwa mereka yang memiliki sistem bilangan sederhana karena sering kali mereka memiliki sedikit harta benda, seperti senjata, peralatan, atau perhiasan. "Mereka yang memiliki sistem bilangan yang rumit selalu memiliki urutan harta kekayaan yang lebih banyak," ungkap Overmann.
Analisis Overmann ini membuktikan bahwa masyarakat mungkin membutuhkan berbagai kepemilikan materi jika mereka ingin mengembangkan sistem bilangan seperti itu. nature.com/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top