Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Angka Kemiskinan

Masyarakat Kelas Menengah Jepang Turun

Foto : Foto: Istimewa

« Perusahaan juga lebih menekankan keamanan kerja daripada mengimbangi peningkatan jangka pendek dalam kinerja. »

A   A   A   Pengaturan Font

TOKYO - Ekonom dari Oxford Economics, Shigeto Nagai, dalam laporannya menulis jumlah masyarakat kelas menengah di Jepang mulai berkurang seiring dengan meningkatnya angka kemiskinan di negara Matahari terbit itu secara perlahan-lahan. Setelah penggelembungan aset (bubble burst/ gelembung ekonomi) pecah pada 1990-an, pendapatan menurun di seluruh segmen dan bagian rumah tangga berpenghasilan rendah telah meningkat ketika kelompok-kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi menyusut.

Sepuluh tahun awal 1990- an atau yang dikenal dengan "Dekade Jepang yang Hilang" ditandai oleh stagnasi ekonomi dan deflasi menyusul ledakan di tahun-tahun sebelumnya.

"Meskipun ketimpangan belum melebar dan pendapatan tidak terkonsentrasi di tingkat atas, bagian rumah tangga berpendapatan rendah telah meningkat dan menekan kelompok berpenghasilan menengah dalam proses penurunan pendapatan sekuler di seluruh persentil," kata ekonom itu.

Menurut data terbaru dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, angka kemiskinan Jepang adalah 15,7 persen. Jumlah itu merujuk pada masyarakat dengan pendapatan rumah tangga kurang dari setengah rata-rata dari seluruh populasi.

"Kelas menengah di Jepang menghilang, meskipun secara bertahap," kata Nagai memperingatkan.

Seumur Hidup

Lebih lanjut, Nagai mengatakan kekuatan pendorong utama yang menentukan distribusi pendapatan Jepang adalah sistem kerja seumur hidup. "Sistem ini telah ada selama beberapa dekade dan didirikan selama periode pertumbuhan tinggi negara itu pada 1950-1960-an, ketika terjadi kekurangan tenaga kerja yang sangat serius," tuturnya.

Menurut dia, sistem itu terutama dipraktikkan oleh perusahaan yang relatif mapan dan memiliki tiga pilar, yakni jaminan implisit untuk menjaga karyawan sampai pensiun, upah berdasarkan senioritas, dan serikat buruh berbasis perusahaan.

Dalam sistem ketenagakerjaan yang relatif stabil namun kaku ini, upah hanya naik secara bertahap.

"Perusahaan juga lebih menekankan keamanan kerja daripada mengimbangi peningkatan jangka pendek dalam kinerja atau produktivitas perusahaan," kata Nagai.

Ekonom itu mengatakan kepada CNBC bahwa kenaikan upah diputuskan oleh negosiasi musim semi tahunan yang dikenal sebagai Shunto, di mana upah pekerja yang berserikat ditentukan oleh serikat pekerja dan manajemen. Yang membedakan proses ini dari tempat lain adalah bahwa kenaikan gaji pokok biasanya menyebar di seluruh skala upah berbasis senioritas. Akibatnya, sistem tidak menciptakan "penghasil 1 persen teratas" tidak seperti sistem kompensasi Barat di mana penghasilan eksekutif puncak biasanya lebih besar daripada karyawan lain.

"Faktanya, gaji eksekutif dapat diabaikan dibandingkan dengan tempat-tempat seperti AS. Bagaimanapun, elite di Jepang telah puas dengan skala gaji yang lebih datar ini," katanya.

Paruh Waktu

Selama bertahun-tahun, perusahaan-perusahaan Jepang juga telah mengonversi pekerja biasa yang sebelumnya dapat menikmati sistem kerja seumur hidup yang relatif istimewa, menjadi pekerja paruh waktu.

Menurut Nagai, pergeseran tersebut dimulai pada awal 2000-an ketika perusahaan berusaha untuk bertahan dari persaingan dengan meningkatnya ekonomi pasar berkembang seperti Tiongkok, yang diuntungkan dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah.

Baru-baru ini, peningkatan pekerja paruh waktu diperkirakan juga berasal dari partisipasi pasar tenaga kerja yang lebih besar di antara dua demografi, yakni perempuan yang membutuhkan pekerjaan, tetapi mungkin tidak memiliki komitmen waktu karena memiliki tugas pengasuhan anak, dan manula yang tidak lagi dapat menikmati pensiun karena jumlah pensiun mereka yang tidak cukup.

Data biro statistik Jepang, jumlah karyawan tidak tetap naik 2,1 persen pada 2019. Kenaikan itu jauh lebih cepat dari pertumbuhan karyawan biasa, 0,5 persen. n SB/CNBC/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top