
Masih Panjang Perjalanan Persepakbolaan Indonesia untuk Jadi Sebuah Industri
Pesepak bola PSIS Semarang Sudi Abdallah (kiri) berupaya melewati hadangan pesepak bola Persis Solo Eduardi Kunde (kanan) pada pertandingan BRI Liga 1 di Stadion Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah, Senin (20/1).
Foto: ANTARA/Makna ZaezarJAKARTA - Pengamat sepak bola Mohamad Kusnaeni atau yang akrab disapa Bung Kus menilai jalan sepak bola Indonesia untuk dapat menjadi industri sepenuhnya masih panjang.
Maka tidak mengherankan jika klub-klub sepak bola Indonesia masih mengalami masalah keuangan dalam perjalanannya mengikuti kompetisi, contoh terkini dialami PSIS Semarang yang dimiliki oleh PT Mahesa Jenar Semarang. Klub diketahui memiliki tanggungan operasional sebesar Rp45 miliar selama dua tahun.
“Tidak mengejutkan jika banyak klub profesional yang mengaku masih merugi. Bahkan kerugian operasionalnya bisa puluhan miliar per tahun,” kata Bung Kus saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
“Untuk mengikuti kompetisi profesional sekelas Liga 1, butuh anggaran di atas Rp50 miliar per tahun. Sementara pemasukan klub mungkin di kisaran Rp25-50 miliar,” lanjutnya.
Bung Kus kemudian menyampaikan bahwa klub mungkin saja dikelola dengan anggaran yang lebih kecil. Namun hal itu akan berdampak pada kemampuan mereka merekrut pemain berkualitas, yang pada gilirannya akan membuat klub kesulitan bersaing dan manajemen klub mendapat tekanan dari para penggemar.
“Ini memang seperti ayam dan telur. Agak sulit menentukan mana yang harus lebih dulu difokuskan,” ucap Bung Kus.
Maka pada praktiknya, urusan keuangan klub menjadi sangat bergantung pada kekuatan finansial pemilik atau investor klub. Keuangan klub tidak sepenuhnya bergantung kepada kualitas tata kelola atau profesionalitas manajemen.
Bung Kus menambahkan bahwa di sejumlah liga profesional, terdapat peraturan financial fair play atau pembatasan bujet. Dengan demikian persaingan kompetisi dapat menjadi lebih proporsional dan bukan tergantung kepada kekuatan keuangan semata.
Ia menyebut bahwa wacana pembatasan bujet sudah lama disuarakan di lingkungan klub kasta tertinggi, tetapi dalam praktiknya belum ada keseriusan untuk menerapkan.
“Apa boleh buat, sekarang tinggal kejelian masing-masing klub dalam mengoptimalkan sumber daya yang mereka punya. Ketika titik optimal itu sudah terlampaui, biasanya klub tinggal berpasrah diri menerima kenyataan,” pungkasnya. Ant
Berita Trending
- 1 Inter Milan Bidik Puncak Klasemen Serie A
- 2 Di Forum Dunia, Presiden Prabowo Akui Tingkat Korupsi Indonesia Mengkhawatirkan
- 3 Polda Kalimantan Tengah Proses Oknum Polisi dalam Kasus Penipuan Pangkalan Gas Elpiji
- 4 India Incar Kesepakatan Penjualan Misil dengan Filipina Tahun Ini
- 5 Australia Tuduh Jet Tempur Tiongkok Lakukan Tindakan Tak Aman
Berita Terkini
-
ToT, AS akan Bantu Merancang Reaktor Nuklir untuk India
-
Kemenperin: Yakin Saja, Penggunaan Energi Ramah Lingkungan Jauh Lebih Hemat dibanding Fosil
-
Laudato Si’ di Indonesia: Menelusuri Akar Masalah Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya Bagi Para Pengungsi
-
Drone Berhulu Ledak Hantam Pelindung Radiasi PLTN Chernobyl, Ukraina Tuding Russia
-
Presiden Targetkan 6 Juta Siswa Sudah Terima Program MBG Akhir Juli 2025