Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Masih Bersama The Fed

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Ronny P Sasmita

Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2019 dan 2020. Pemangkasan dipicu sejumlah faktor mulai dari perlambatan ekonomi Eropa dan Tiongkok, perang dagang AS-Tirai Bambu, dan kemungkinan "no deal" Brexit. IMF memperkirakan ekonomi global akan tumbuh 3,5 persen pada 2019 dan 3,6 persen pada 2020. Ini berarti turun 0,2 persen dan 0,1 persen dari proyeksi Oktober. Proyeksi terbaru itu dilansir menjelang pertemuan para pemimpin dunia dan CEO dalam rangkaian World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss.

Pertumbuhan ekonomi zona Euro diproyeksikan melambat dari 1,8 persen menjadi 1,6 persen pada 2019 atau lebih rendah 0,3 persen dari proyeksi IMF tiga bulan lalu. IMF juga memangkas pertumbuhan ekonomi tahun ini untuk negara-negara berkembang menjadi 4,5 persen atau turun 0,2 persen dari proyeksi sebelumnya.

IMF mempertahankan pertumbuhan ekonomi AS pada level 2,5 persen di 2019 dan 1,8 persen 2020. Hal ini didorong permintaan domestik yang terus berlanjut. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pun diprediksi tetap di level 6,2 persen pada 2019 dan 2020. Sementara itu, Inggris diperkirakan mencapai pertumbuhan 1,5 persen pada tahun ini, meskipun ada ketidakpastian yang bersumber dari Brexit. Lain dari itu, ada yang unik terkait dengan ekonomi Jepang di mana IMF memproyeksikan ekonominya tumbuh 1,1 persen atau naik 0,2 persen dari prediksi sebelumnya.

Penyebab utama turbulensi global yang berakibat pada perlambatan daya gedor pertumbuhan ekonomi dunia tersebut masih datang dari kantor The Fed. Sekalipun Donald Trump berkali-kali mengancam The Fed agar tidak lagi menaikkan suku bunga, ternyata fakta berbicara lain. The Fed punya pertimbangan tersendiri dalam memutuskan waktu dan besaran basis poin suku bunga dinaikkan.

Hal tersebut jelas terbukti dari keputusan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) pada Desember jelang akhir tahun 2018. Dalam kacamata ekonomi moneter, keputusan yang diambil The Fed sangat bisa dipahami. Ada beberapa alasan mendasar kenaikan tingkat bunga The Fed tersebut. Salah satunya, tingkat bunga riil AS yang sekarang masih sangat rendah.

Laju inflasi AS secara tahunan terbaru jika diukur dengan indeks harga konsumen berada pada kisaran 2,2 persen. Jika tingkat bunga FFR hanya 2 persen, maka tingkat bunga riilnya masih negatif. Bahkan setelah tingkat bunga FFR dinaikkan, tingkat bunga riilnya masih berada pada kisaran 0 persen.

Tingkat bunga riil 0 persen hanya tepat jika kondisi ekonomi sangat tertekan, tetapi tidak tepat bagi ekonomi AS yang pertumbuhan riil produk domestik bruto (PDB)-nya tahun 2018 lebih dari 3 persen. Ini jauh melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi semasa pemerintahan Presiden Barack Obama yang sekitar 2,2 persen, ditambah tingkat pengangguran yang sangat rendah, sekitar 3,7 persen.

Menurut The Fed, tingkat pengangguran AS yang rasional berada pada kisaran lebih tinggi dari 4,4 persen. Tingkat bunga riil yang sangat rendah dapat menyebabkan berbagai masalah serius bagi perekonomian. Pelaku bisnis akan menyikapi rendahnya tingkat suka bunga dengan menumpuk utang berlebihan, bahkan bisa melewati kapasitasnya.

Perbankan dan lembaga keuangan dalam meraup keuntungann tentu akan memberikan pinjaman pada nasabah yang kualitasnya rendah serta memperlonggar syarat peminjaman yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan kehati-hatian. Investor portofolio pun diperkirakan akan mendongkrak harga saham pada tingkat yang kurang sustainable.

Dengan kondisi itu, pemerintah tentu akan terdorong untuk memperbesar defisit fiskal karena biaya untuk membayar bunga utangnya sangat rendah. Akhirnya, baik pengelolaan bisnis maupun fiskal negara akan keluar dari tata kelola yang hati-hati dan feasible.

Lebih Tinggi

Alasan lainya, kenaikan suku bunga bagi Forum Open Market Committee (FOMC/Rapat Dewan Gubernur) karena saat ini AS membutuhkan suatu tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan begitu, mereka bisa menurunkan tingkat bunga di kemudian hari, jika diperlukan. Ini terutama bila ekonomi AS mengalami resesi dan The Fed harus melakukan stimulus permintaan domestik agar ekonomi AS pulih kembali.

Ekspansi moneter yang dilakukan The Fed setelah GFC-2008 sebagai terlama sejak perang dunia kedua. Sampai sekarang sudah bertahan lebih dari 114 bulan sejak ekspansi moneter dimulai Juni 2009. Walaupun ekspansi telah berlangsung lama, ada beberapa sinyal yang mengkhawatirkan dalam perekonomian global.

Di antaranya, penurunan harga saham, pelemahan sektor perumahan, perlambatan negara utama Eropa dan ketidakpastian ekspor AS. Semuanya mengindikasikan, resesi yang akan datang berpeluang terjadi sekitar dua tahun lagi. Dalam tiga episode resesi sebelumnya, AS telah memangkas FFR: 500, 480, dan 530 basis poin. Sedang tingkat bunga FFR hanya 2 persen.

Dengan bahasa lain, jika terjadi resesi, tinggal 200 basis poin kemampuan The Fed untuk menurunkan tingkat suku bunga hingga menyentuh level 0 persen. Walaupun Swiss National Bank, European Central Bank, dan Jepang pernah memangkas tingkat bunga di bawah 0 persen, negara-negara tersebut menghadapi masalah serius. Hal ini terutama di sektor perbankan dan keuangan nonperbankan (utamanya asuransi). Masalah lain yang bakal dihadapi ketiga bank sentral tersebut belum dapat ditebak, tatkala tingkat bunga mulai dinormalisasikan.

Baca Juga :
Letusan Semeru

Jadi, dengan mengantongi alasan-alasan yang secara ekonomi moneter cukup rasional, rasanya The Fed belum akan khawatir dengan ancaman-ancama Donald Trump. Artinya, The Fed akan terus menaikkan suku bunga sampai batas atas yang telah direncanakan sejak beberapa waktu lalu. Risikonya, negara-negara yang masuk kategori emerging markets akan tetap dihantui kecenderungan pembalikan modal ke Amerika (sudden reversal/strong dollar).

Risiko tersebut kemudian berpadu dengan imbas negatif perlambatan ekonomi Tiongkok, isu perang dagang, stagnasi kawasan Eropa, dan fluktuasi harga komoditas. Tidak bisa tidak, prospek ekonomi global masih belum cerah. Ini terutama bagi negara pasar berkembang seperti Indonesia. Maka, harus ada antisipasi jauh lebib luas ketimbang sekadar mitigasi moneter a head the curve. Tapi harus lebih komprehensif dan fundamental, termasuk membenahi struktur ekonomi nasional yang masih sangat rapuh.

Penulis pengamat ekonomi

Komentar

Komentar
()

Top