Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Manusia Telah Gunakan Api Sejak 800 Ribu Tahun yang Lalu

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Api memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, para peneliti menemukan penggunaan api telah dilakukan sejak 800.000 tahun lalu ketika evolusi manusia pada tahap Homo habilis.

Peneliti Weizmann Institute of Science bekerja keras untuk menyelidiki kapan peradaban manusia menggunakan api atau setidaknya menjelaskan apa yang dimaksud dengan "asap". Untuk menjawab pertanyaan itu, para peneliti menggunakan metode inovatif dengan mengandalkan teknologi kecerdasan buatan.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) beberapa hari lalu, para ilmuwan mengungkapkan metode inovatif dan canggih yang telah mereka kembangkan dan gunakan untuk mendeteksi jejak api nonvisual yang berusia setidaknya 800.000 tahun dan bukti ini menjadi salah satu bukti paling awal yang dapat diketahui tentang penggunaan api.
"Teknik yang baru dikembangkan dapat memberikan dorongan ke arah yang lebih ilmiah yaitu jenis arkeologi berbasis data. Tetapi mungkin yang lebih penting ini dapat membantu kita lebih memahami asal usul kisah manusia, tradisi kita yang paling dasar dan eksperimen serta inovasi kita," kata Dr Filipe Natalio dari Departemen Tanaman dan Ilmu Lingkungan Weizmann Institute of Science
Penggunaan api yang terkendali oleh hominin purba kelompok yang mencakup manusia dan beberapa anggota keluarga manusia yang telah punah. Mereka diduga berasal dari setidaknya satu juta tahun yang lalu, hingga sekitar waktu yang diyakini para arkeolog ketika Homo habilis memulai transisinya menjadi Homo erectus.
Homo habilis adalah sebuah spesies dari genus Homo, yang hidup sekitar 2,5 juta sampai 1,8 juta tahun yang lalu pada masa awal Pleistocene. Sedangkan Homo erectus adalah spesies hominid yang berkaitan erat dengan asal muasal umat manusia di Bumi.
Itu bukan kebetulan, karena teori kerja, yang disebut hipotesis memasak (cooking hypothesis). Dalam teori ini penggunaan api berperan penting dalam evolusi manusia. Menggunakan api memungkinkan hominin memiliki kemampuan memasak, tetap hangat, membuat alat canggih, dan menangkal pemangsa.
Memanaskan daging berperan penting tidak hanya menghilangkan patogen (bakteri dan virus) tetapi meningkatkan pencernaan protein dan nilai gizi yang efisien, membuka jalan bagi pertumbuhan otak. Namun masalah untuk membuktikan penggunaan api di masa lalu kekurangan data.

Pembakaran Terkontrol
Menemukan bukti arkeologis mengenai piro teknologi terutama bergantung pada identifikasi visual dari modifikasi yang dihasilkan dari pembakaran objek berupa perubahan warna. Sedangkan metode tradisional telah berhasil menemukan bukti luas penggunaan api yaitu 200.000 tahun.
Meskipun ada beberapa bukti api yang berasal dari 500.000 tahun yang lalu, namun para arkeolog tetap jarang menemukan bukti. Sejauh ini hanya lima situs arkeologi di seluruh dunia yang memiliki bukti yang dapat diandalkan tentang api kuno.
"Kami mungkin baru saja menemukan situs keenam," kata Dr Natalio.
Bersama-sama, mereka memelopori penerapan AI dan spektroskopi dalam arkeologi untuk menemukan indikasi pembakaran terkontrol alat-alat batu yang berasal dari antara 200.000 dan 420.000 tahun yang lalu di Israel.
Kini mereka kembali, bergabung dengan mahasiswa PhD Zane Stepka, Dr. Liora Kolska Horwitz dari Hebrew University of Jerusalem dan Profesor Michael Chazan dari University of Toronto, Kanada.
Tim menaikkan taruhan dengan mengambil "ekspedisi memancing" dengan melemparkan jauh ke dalam air dan melihat apa yang bisa mereka tarik kembali. "Ketika kami memulai proyek ini," kata Natalio. "Para arkeolog yang telah menganalisis temuan dari situs pertambangan Evron yang memberi tahu kami bahwa kami tidak akan menemukan apa pun. Kami seharusnya bertaruh," kata dia.
Situs pertambangan Evron yang terletak di Galilea barat, Israel, merupakan situs arkeologi terbuka yang pertama kali ditemukan pada pertengahan 1970-an. Selama ekskavasi yang dipimpin oleh Profesor Avraham Ronen, para arkeolog menggali sejauh 14 meter. Pada kedalaman ini ditemukan sejumlah besar fosil hewan dan alat-alat Paleolitik berusia antara 800.000 dan 1 juta tahun yang lalu
Pada salah satu situs tertua di Israel, tak satupun dari temuan dari situs atau tanah ditemukan bukti visual panas. Abu dan arang terdegradasi dari waktu ke waktu, menghilangkan kemungkinan menemukan bukti visual pembakaran. Jadi, jika para ilmuwan Weizmann ingin menemukan bukti adanya api, mereka harus mencari lebih jauh.
Ekspedisi "memancing" dimulai dengan pengembangan model AI yang lebih canggih daripada yang mereka gunakan sebelumnya. "Kami menguji berbagai metode, di antaranya metode analisis data tradisional, pemodelan pembelajaran mesin dan model pembelajaran mendalam yang lebih canggih," kata Ido Azuri ilmuwan kecerdasan buatan di Weizmann Institute of Science yang mengepalai pengembangan model.
"Model pembelajaran mendalam yang berlaku memiliki arsitektur khusus yang mengungguli yang lain dan berhasil memberi kami kepercayaan diri yang kami butuhkan untuk menggunakan alat ini lebih lanjut dalam konteks arkeologi yang tidak memiliki tanda-tanda visual penggunaan api," ungkap dia.
Keuntungan AI adalah mereka dapat menemukan pola tersembunyi di banyak skala. Dengan menunjukkan komposisi kimia bahan hingga ke tingkat molekuler, keluaran model dapat memperkirakan suhu pemanasan alat-alat batu. Hal ini pada akhirnya memberi informasi tentang perilaku manusia di masa lalu.
Dengan metode AI yang akurat, tim dapat mulai menangkap sinyal molekuler dari peralatan batu yang digunakan oleh penduduk di pertambangan Evron hampir satu juta tahun yang lalu. Untuk tujuan ini, tim menilai paparan panas dari 26 alat batu api yang ditemukan di situs tersebut hampir setengah abad yang lalu. hay/I-1

Memasak Membuat Manusia Lebih Cerdas

Ke mana pun manusia pergi di dunia, mereka membawa dua hal yaitu bahasa dan api. Saat melakukan perjalanan melalui hutan tropis, mereka menimbun bara api tua yang berharga dan melindunginya dari hujan.
Ketika mereka menetap di Arktik yang tandus, mereka membawa memori api, dan membuatnya kembali di bejana periuk yang diisi dengan lemak hewani. Charles Darwin sendiri menganggap ini sebagai dua pencapaian paling signifikan dari umat manusia.
Menurut teori provokatif oleh ahli biologi Harvard, Richard Wrangham, ia percaya bahwa api diperlukan untuk bahan bakar organ tubuh untuk memungkinkan semua produk budaya lainnya, termasuk bahasa, terekam dalam otak manusia. Setiap hewan di Bumi dibatasi oleh anggaran energinya, kalori yang diperoleh dari makanan hanya akan meregang sejauh ini.
Tubuh manusia saat istirahat mencurahkan kira-kira seperlima energinya ke otak, terlepas dari apakah untuk berpikir atau tidak. Jadi, peningkatan ukuran otak yang belum pernah terjadi sebelumnya dimulai oleh hominid sekitar 1,8 juta tahun, diperoleh dari kalori tambahan yang diambil dari beberapa fungsi lain dalam tubuh.
Banyak antropolog berpikir bahwa terobosan kuncinya adalah menambahkan daging ke dalam makanan. Tetapi Wrangham dan koleganya dari Harvard, Rachel Carmody, berpikir bahwa itu hanya sebagian dari apa yang sedang terjadi dalam evolusi saat itu.
Yang penting, kata mereka, bukan hanya berapa banyak kalori yang bisa dimasukkan ke dalam mulut, tetapi apa yang terjadi pada makanan setelah sampai di sana. Berapa banyak energi berguna yang diberikannya, setelah dikurangi kalori yang dihabiskan untuk mengunyah, menelan, dan mencerna? Terobosan sebenarnya, menurut mereka, adalah memasak.
Dalam mengejar penelitiannya tentang nutrisi primata, Wrangham turut mempelajari simpanse dengan Jane Goodall di Taman Nasional Gombe Stream. Di taman nasional ini, ia telah mencicipi apa yang dimakan monyet liar dan simpanse. "Buah dari pohon Warburgia memiliki rasa panas yang membuat bahkan satu buah pun menjadi tidak enak untuk dicerna oleh manusia," kata Goodall seperti dikutip laman Smithsonian Mag. "Tapi simpanse bisa makan setumpuk buah-buahan ini dan mencari lebih banyak lagi," imbuh dia.
Wrangham kemudian membuktikan teori bahwa simpanse menggabungkan daging mentah dengan daun pohon di mulutnya untuk memudahkan mengunyah dan menelan. Daunnya, menurutnya, memberikan daya tarik bagi gigi pada permukaan otot mentah yang licin dan kenyal.
Diet makanan mentah sangat berbahaya bagi manusia terutama bagi anak kecil. Untuk menghindarinya kemudian secara perlahan mulai makan makanan yang dimasak karena makan makanan mentah membuat manusia tetap kelaparan. Saat ini, di alam liar, orang biasanya bertahan hanya beberapa bulan tanpa memasak, bahkan jika mereka bisa mendapatkan daging. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top