Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pemberantasan Korupsi - Ungkap Nama Obligor yang Masih Bermasalah

Mahasiswa UI Minta KPK Usut Tuntas Kasus BLBI

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB Universitas Indonesia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar meninjau ulang penerbitan surat keterangan lunas (SKL) bagi obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah melunasi kewajibannya.


Mereka juga mendesak lembaga antikorupsi itu untuk memproses hukum semua pihak yang terlibat dalam skandal BLBI, terutama obligor terbesar yang menerima dana talangan terbesar dan merugikan negara paling besar.


"Kami menuntut KPK untuk mengungkap nama-nama obligor BLBI yang masih bermasalah kepada publik dan mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih," kata Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI 2017, Steven S Giovanni, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/7).

Dia menambahkan, KPK semestinya juga meninjau ulang histori proses pelunasan dan penerbitan SKL tersebut.


Seperti dikabarkan, KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi penerbitan SKL untuk pemilik BDNI. Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka.


Terkait dengan kasus itu, sejumlah kalangan juga meminta KPK berani mengusut obligor terbesar yang masih memiliki tunggakan utang BLBI paling besar dan merugikan negara dalam jumlah terbesar.

Pengusutan pada obligor kakap itu, yang hingga kini seolah belum tersentuh hukum, dinilai bakal memudahkan proses pengusutan obligor lainnya serta penuntasan skandal BLBI.


Sebelumnya, Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI 2017 menyerahkan hasil kajiannya tentang Kasus BLBI kepada KPK.

Dalam kajian setebal 22 halaman tersebut, BEM FEB UI memaparkan latar belakang, pihak yang terlibat, dan rekomendasinya terhadap kasus tersebut ke KPK.


Menurut Steven, pihaknya melakukan kajian untuk mengingatkan rekan-rekannya sesama mahasiswa dan masyarakat akan kasus BLBI yang masih menjadi utang kasus penegakan hukum di Indonesia.


"Kajian kita lebih mengarah pada latar belakang, siapa saja pihak yang terlibat posisi kasusnya dan apa rekomendasi kami atas kasus tersebut ke KPK," kata dia.


Pihaknya berharap KPK tidak tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam Kasus BLBI. "Karena banyak sekali yang terlibat dalam kasus tersebut," ujar Steven.


Dalam kajiannya, BEM FEB UI menemukan bukti secara keseluruhan pemerintah menggelontorkan dana hingga 640,9 triliun rupiah dalam bentuk paket restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan kepada bank-bank penerima dana BLBI.

"Pada masa krisis ada kurang lebih 400 bank yang beroperasi dan kemudian kebanyakan ditutup dan menerima bantuan likuiditas dari pemerintah," ujar Steven.


Namun, lanjut dia, perlu diperjelas bahwa hingga saat ini penerima dana bantuan likuiditas ini tidak diungkap seluruhnya ke publik. "Penerima dana bantuan penyehatan perbankan yang diungkap ke publik, hanya penerima fasilitas BLBI," papar Steven.


Penyaluran dana BLBI, yang tujuan utamanya adalah untuk menyehatkan perekonomian sektor perbankan, pada kenyataannya tidak sesuai dengan harapan pemerintah.

Dana 144,54 triliun yang diterima bank-bank dalam penyehatan ternyata tidak digunakan sesuai dengan prosedur penggunaan BLBI namun ada penyimpangan sehingga menimbulkan kerugian negara.


Berdasarkan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kata Steven, dari 144,54 triliun rupiah dana BLBI yang disalurkan, sekitar 95,78 persen atau setara dengan 138,44 triliun rupiah ternyata disalahgunakan oleh penerima dana.

"Hal tersebut semakin diperparah karena jaminan yang diserahkan ke pemerintah tidak sesuai nilai pasar."


Utang Negara


Sejumlah kalangan sebelumnya mengemukakan utang BLBI dalam bentuk obligasi rekapitalisasi perbankan yang terbitkan pemerintah merupakan biang membengkaknya utang negara yang kini mencapai hampir 4.000 triliun rupiah.


Menanggapi hal itu, ekonom UMY, Achmad Ma'ruf, mengingatkan cara-cara lama dalam mengelola utang dengan menggali utang lebih dalam mesti segera ditinggalkan.

Ekonomi dunia belum menunjukkan perbaikan sehingga jika utang jangka panjang terus diambil untuk menutup utang jatuh tempo maka pemerintahan saat ini hanya mengulang apa yang dilakukan 10 tahun pemerintahan sebelumnya.


Lebih dari itu, lanjut dia, pada saat ini mesti diambil langkah tegas untuk mengurangi beban segera yakni penghentian pembayaran bunga obligasi rekap eks BLBI.

"Pelajaran itu untuk masa sekarang dan masa depan, dan langkah tegas penghentian bunga rekap adalah kewajiban setelah mengambil pelajaran. Tidak ada cara lain karena sudah sangat sulit," kata Ma'ruf. eko/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top