Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Unjuk Rasa di Prancis I Harian Parisien Tulis Prancis Masuki Periode Ketidakstabilan Politik

Macron Tawarkan Kelonggaran

Foto : AFP/Yoan VALAT

Temui Serikat Pekerja l Presiden Prancis, Emmanuel Macron (tengah), didampingi anggota kabinetnya saat melakukan pertemuan dengan serikat pekerja di Istana Kepresidenan Elysee, Paris, Senin (10/12). Pertemuan dengan serikat pekerja ini dilakukan sebagai langkah untuk mengakhiri aksi unjuk rasa antipemerintah.

A   A   A   Pengaturan Font

Presiden Macron akan menawarkan lagi kebijakan kelonggaran sebagailangkah untuk mempercepat diakhirinya aksi unjuk rasa antipemerintah yang melanda Prancis.

PARIS - Setelah aksi demonstrasi antipemerintah yang berubah menjadi aksi kekerasan, mengguncang Paris dan kota-kota lainnya selama tiga pekan berturut-turut, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, diperkirakan akan mengajukan tawaran kelonggaran terbaru untuk mengakhiri aksi unjuk rasa yang telah merugikan perekonomian negara itu.

Kelonggaran baru yang ditawarkan Presiden Macron rencananya disampaikan saat ia berbicara dalam siaran nasional pada Senin (10/12) malam waktu setempat. Pejabat pemerintah mengatakan, Presiden Macron akan mengumumkan langkah-langkah cepat dan konkret, untuk menanggapi aksi unjuk rasa yang sempat melumpuhkan negaranya.

Sebelumnya, pemimpin Prancis berusia 40 tahun itu telah mengambil risiko tinggi karena tak mau menyampaikan sikap resmi terhadap kerusuhan yang melanda Paris setelah satu pekan lebih. Presiden Macron menyerahkan seluruh penanganan atas aksi protes yang sebagian besar ditujukan pada dirinya sendiri, kepada aparat keamanan.

"Dia sedang menghadapi 'momentum kebenaran'. Prancis akan memasuki periode yang mengkhawatirkan dalam ketidakstabilan politik," kata surat kabar Parisien dalam tajuk utamanya edisi.

Pada sisi ekonomi, aksi pengunjuk rasa yang berlangsung secara nasional dengan memblokade jalanan, penjarahan dan vandalisme di seluruh penjuru negeri, telah memberikan pukulan berat bagi sektor ritel dan perhotelan.

Akibat aksi unjuk rasa itu, Bank Sentral Prancis bahkan harus menurunkan perkiraan pertumbuhan kuartal keempat menjadi hanya 0,2 persen dari 0,4 persen.

"Kami tidak dapat memulihkan ini. Itulah kenyataan pahit bagi bisnis setelah pemilik toko yang tokonya rusak atau dijarah pada Sabtu lalu," komentar Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire, dalam sesi wawancara di radio RTL.

Menteri Le Maire menambahkan, dia mendukung percepatan pemotongan pajak sebagai jawaban dari salah satu tuntutan pengunjuk rasa yang disuarakan selama satu bulan terakhir. Namun, Menteri Tenaga Kerja Muriel Penicaud, menolak gagasan kenaikan upah minimum pekerja yang masuk dalam daftar tuntutan para pelaku unjuk rasa.

"Jika kita menaikkan semua gaji, otomatis banyak usaha akan bangkrut, atau mereka harus menaikkan harga jual barang," kata Menteri Penicaud.

Beragam Tuntutan

Aksi unjuk rasa besar-besaran di Prancis yang dimulai pada 17 November lalu, awalnya terjadi sebagai respons atas kenaikan harga BBM. Aksi itu meluas, berujung seruan agar Presiden Macron mundur karena alasan ia hanya mengutamakan kepentingan orang-orang kaya dan meremehkan warga pedesaan yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Para pengunjuk rasa banyak berasal dari berbagai provinsi di Prancis, dengan tuntutan yang berbeda-beda, mulai dari pajak yang lebih rendah, upah minimum yang lebih tinggi, hingga menuntut pengunduran diri Macron. Semua tuntutan itu membuat negosiasi akan semakin sulit.

Langkah awal yang diambil Presiden Macron untuk mengurai benang kusut akibat aksi unjuk rasa besar-besaran ini yaitu bertemu dengan serikat pekerja dan pelaku usaha untuk mencari solusi dari krisis paling berat yang ditanggungnya. AFP/SB/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top