Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 29 Jun 2021, 15:40 WIB

LPSK Harus Melindungi Korban Pemerkosaan Oknum Polisi

Ilustrasi korban pemerkosaan.

Foto: Istimewa

JAKARTA - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk segera menjangkau korban pemerkosa oknum polisi di Maluku. Sebab korban juga memiliki riwayat dibungkam oleh aparat. Perlindungan dan pemulihan korban harus dilakukan sesegera mungkin.

"Prioritas penanganan kasus harus diberikan dan difokuskan kepada Korban. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban kekerasan seksual berhak untuk memperoleh bantuan berupa bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis," kata Maidina dalam keterangannya yang diterima Koran Jakarta, Selasa (29/6).

Menurut Maidina, hal inilah yang harus segera diberikan kepada korban. Hak korban juga termasuk pada upaya untuk menjamin korban mendapatkan restitusi atau ganti kerugian. Jaminan perlindungan keselamatan pun harus diberikan kepada anak korban dan keluarganya, mengingat pelaku dari peristiwa ini adalah aparat.

"Kasus ini juga menunjukkan pentingnya informasi ke publik terkait batasan kewenangan aparat Kepolisian. Kewenangan besar tanpa batas sering kali diglorifikasi oleh media-media televisi besar yang bekerja sama dengan humas kantor kepolisian, mengglorifikasi perbuatan anggota kepolisian yang dilakukan tanpa kewenangan mulai dari melakukan menggerebekan di ruang privat masyarakat, memberhentikan dan menanyakan privasi masyarakat, utamanya kelompok perempuan yang bukannya dilindungi malah ditanya-tanya dan dipersalahkan ketika ada di ruang publik pada waktu tertentu," tuturnya.

Maidina sendiri menilai perbuatan ini tidak lepas dari glorifikasi yang dilakukan oleh media dan pihak Humas Kepolisian tersebut, anggota kepolisian merasa berhak untuk melakukan tindakan terhadap masyarakat, baik takut terhadap situasi yang dihadapinya maupun takut terhadap anggota kepolisian yang sering kali mengancam tanpa dasar. Padahal kewenangan kepolisian untuk mengekang kebebasan orang dibatasi dalam KUHAP. Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka.

"Dan hanya apabila telah terbit surat perintah penangkapan yang didasari adanya bukti permulaan yang cukup. Anggota kepolisian jelas tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau upaya paksa begitu saja sesuai perintahnya tanpa dasar yang jelas dan sesuai undang-undang," ujarnya.

Ditegaskannya pula, kasus ini juga menjadi penguat untuk menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor kepolisian. Tempat penahanan ini sering menjadi sarang penyiksaan dan tindakan melanggar hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat. Legitimasi adanya tempat penahanan di kantor kepolisian bersifat sementara. Dalam penjelasan Pasal 22 KUHAP bahwa tempat penahanan di kantor kepolisian hanya dibenarkan ketika tidak ada Rutan.

"Sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia tempat penahanan harus dibedakan dari institusi yang melakukan penahanan untuk menjamin adanya pengawasan bertingkat," ujarnya.

Sementara terhadap pelaku, ia meminta harus diusut secara komprehensif, baik tindakan di luar kewenangan yang dilakukan, terlebih tindakan pemerkosaan terhadap anak yang dilakukannya. Pemberatan pidana terhadap pelaku yang merupakan aparatur negara harus diaplikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengingat peran sentral pelaku yang seharusnya memberikan rasa aman kepada korban.

"Untuk itu, ICJR mendorong Pemerintah dan DPR serta lembaga independen lain seperti Komnas HAM dan Ombudsman untuk melakukan audit kepada kewenangan besar kepolisian yang minim mekanisme pengawasan," katanya.

Kata Maidina, KUHAP harus segera diubah untuk memperkuat pengasawan dan kontrol atas kewenangan Polisi, termasuk menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor-kantor polisi. Untuk jangka panjang, penting untuk Pemerintah dan DPR menyisir pasal-pasal karet di Rancangan KUHP yang berpotensi memperbesar kewenangan Kepolisian dalam kondisi pengawasan yang sangat minim di KUHAP.

"Pemerintah dan DPR juga sudah harus mulai mengkaji soal pengaturan hak-hak korban yang tersebar di berbagai undang-undang, khususnya korban kekerasan seksual, hal ini bisa dimulai dengan perumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau menyusun aturan baru terkait bantuan dan perlindungan korban kejahatan," ujarnya.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Agus Supriyatna

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.