Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sejarah Bangsa

Liechtenstein, Negara yang Wilayahnya Membeli dari Romawi Suci

Foto : afp/ Fabrice COFFRINI
A   A   A   Pengaturan Font

Wangsa Liechtenstein tidak mendapatkan kursi di parlemen Austria di Wina (Imperial Diet) yang berada di bawah Kekaisaran Romawi Suci. Untuk mendapatkan status tersebut, Das Furstenhaus von Liechtenstein membeli tanah dari para penguasa feodal Habsburg dan dilanjutkan dengan pembelian yang lain.

Selain Vatikan, Andorra, Monako, San Marino, dan Luksemburg, daratan Eropa masih memiliki negara kecil lain yaitu Liechtenstein. Negara tanpa lautan ini luas wilayahnya hanya 160 kilometer persegi dan populasi 39.790 jiwa menurut data 2019.

Liechtenstein menjadi satu-satunya negara terkecil di dunia yang dijepit oleh dua negara yaitu Austria dan Swiss. Lokasinya berada di deretan Pegunungan Alpen dan negara ini dibagi menjadi 11 kotamadya dengan ibu kotanya adalah Vaduz dan kota terbesarnya adalah Schaan.

Sama seperti Swiss, negara ini didukung oleh sektor keuangan yang kuat yang berpusat di Vaduz dengan menggunakan mata uang frank Swiss. Dulunya dikenal sebagai surga pajak kaum miliarder yang berpuncak pada urusan pajak pada 2008. Namun Liechtenstein kini telah melakukan upaya besar untuk menghilangkan reputasi negatif itu.

Selain sektor keuangan, Liechtenstein yang berada di Pegunungan Alpen ini memiliki alam yang indah. Bersalju pada musim dingin menjadikannya tujuan wisata olahraga musim dingin di Eropa bersama dengan Swiss, Prancis, Italia, dan Austria.

Sejarah tanah Liechtenstein dimulai dari Tiberius. Ia menjadi kaisar Romawi kedua bersama saudaranya, Drusus, yang menaklukkan seluruh wilayah Alpen pada 15 Masehi (M). Liechtenstein kemudian diintegrasikan ke dalam provinsi Romawi, Raetia.

Pada abad ke-6, seluruh wilayah menjadi bagian dari Kekaisaran Frank setelah kemenangan Clovis I atas Alemanni di Tolbiac pada 504 M. Pada 1200, kekuasaan di dataran tinggi Alpen dikuasai oleh Wangsa Savoy, Zahringer, Habsburg, dan Kyburg.

Ketika Dinasti Kyburg jatuh pada 1264, Habsburg di bawah Raja Rudolph I, Kaisar Romawi Suci yang memperluas wilayah mereka hingga dataran tinggi Alpen bagian timur yang mencakup wilayah Liechtenstein pada 1273.

Wilayah ini kemudian diserahkan kepada Pangeran Hohenems. Untuk mendapatkan status di Parlemen Austria di Wina atau Imperial Diet, seorang aristokrat dari wangsa atau dinasti Liechtenstein bernama Das Furstenhaus von Liechtenstein yang kekayaannya melimpah membeli tanah dari para feodal di Habsburg, Austria, pada tahun 1699.

Keluarga Liechtenstein memperoleh tanah, terutama di Moravia, Austria Hilir, Silesia, dan Styria. Sebelum dibeli, tanah tersebut dikuasai para penguasa feodal dari mereka yang lebih senior, khususnya berbagai cabang Habsburg.

Karena tidak memiliki tanah, dinasti Liechtenstein tidak dapat memenuhi persyaratan duduk di parlemen. Padahal beberapa pangeran Liechtenstein melayani beberapa penguasa Habsburg sebagai penasihat dekat, tanpa adanya wilayah yang dikuasai langsung dari takhta kekaisaran. Namun mereka hanya mempunyai sedikit kekuasaan di Kekaisaran Romawi Suci.

Tanah yang dibeli digolongkan sebagai unmittelbar, atau dikuasai tanpa kepemilikan feodal perantara, langsung dari Kaisar Romawi Suci.

Pada awal abad ke-17, Karl I dari Liechtenstein diangkat menjadi Furst (pangeran) oleh Kaisar Romawi Suci, Matthias, setelah memihaknya dalam pertempuran politik. Setelah itu Hans-Adam I diizinkan untuk membeli Herrschaft (Lordship) Schellenberg yang sangat kecil dan wilayah Vaduz (masing-masing pada tahun 1699 dan 1712) dari Hohenems.

Pada 23 Januari 1719, setelah tanah tersebut dibeli, Charles VI, Kaisar Romawi Suci, mendekritkan bahwa Vaduz dan Schellenberg bersatu dan mengangkat wilayah yang baru dibentuk itu menjadi martabat Furstentum (kerajaan) dengan nama Liechtenstein. Nama ini untuk menghormati pelayan sejatinya kekaisaran yaitu Anton Florian dari Liechtenstein.

Pada tahun tersebut, Liechtenstein menjadi negara anggota berdaulat dari Kekaisaran Romawi Suci. Pada awal abad ke-19, sebagai akibat dari Perang Napoleon di Eropa, Kekaisaran Romawi Suci berada di bawah kendali efektif Prancis, menyusul kekalahan telak di Austerlitz oleh Napoleon pada 1805.

Pada 1806, Kaisar Francis II turun takhta dan membubarkan Kekaisaran Romawi Suci. Momentum ini mengakhiri pemerintahan feodal selama lebih dari 960 tahun di wilayah itu. Napoleon kemudian mereorganisasi sebagian besar kekaisaran menjadi Konfederasi Rhine.

Dinamika Politik

Restrukturisasi politik ini mempunyai konsekuensi luas bagi Liechtenstein. Lembaga-lembaga kekaisaran, hukum, dan politik bersejarah telah dibubarkan. Negara tidak lagi mempunyai kewajiban kepada tuan feodal mana pun di luar negaranya.

Sejak 25 Juli 1806, ketika Konfederasi Rhine didirikan, Pangeran Liechtenstein menjadi anggota, bahkan pengikut, dari hegemoninya Kaisar Prancis Napoleon I hingga pembubaran konfederasi pada 19 Oktober 1813.

Segera setelah itu, Liechtenstein bergabung dengan Konfederasi Jerman (20 Juni 1815 - 23 Agustus 1866), yang dipimpin oleh Kaisar Austria. Pada 1818, Pangeran Johann I memberi wilayah tersebut konstitusi terbatas.

Pada saat yang sama Pangeran Aloys menjadi anggota pertama Wangsa Liechtenstein yang menginjakkan kaki di kerajaan yang menyandang nama mereka. Kunjungan berikutnya baru terjadi pada 1842. Hingga akhir Perang Dunia I, Liechtenstein pertama-tama terikat erat dengan Kekaisaran Austria dan kemudian dengan Austria-Hongaria.

Para pangeran yang berkuasa terus memperoleh sebagian besar kekayaan mereka dari perkebunan di wilayah Habsburg, dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dua istana mereka di Wina.

Johann II menunjuk Carl von In der Maur, seorang bangsawan Austria, untuk menjabat sebagai Gubernur Liechtenstein. Kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh Perang Dunia I memaksa negara tersebut untuk mengadakan kesatuan bea cukai dan moneter dengan tetangganya yaitu Swiss.

Selain itu, kerusuhan rakyat akibat kehancuran ekonomi akibat perang secara langsung menyebabkan kudeta Liechtenstein pada bulan November 1918, yang menciptakan proses konstitusi baru berdasarkan monarki konstitusional yang diperkenalkan pada tahun 1921.

Pada 1929, Pangeran Franz I yang berusia 75 tahun berhasil naik takhta. Pada bulan Maret 1938, tepat setelah aneksasi Austria oleh Nazi Jerman, Franz menunjuk cucu laki-lakinya yang berusia 31 tahun dan calon pewaris, Pangeran Franz Joseph, sebagai wali.

Setelah mengangkat cucu keponakannya, ia pindah ke Feldberg, Cekoslowakia, dan pada tanggal 25 Juli, ia meninggal saat berada di salah satu kastil keluarganya, Kastil Feldberg, dan Franz Joseph secara resmi menggantikannya sebagai Pangeran Liechtenstein.

Selama Perang Dunia II, Liechtenstein secara resmi tetap netral, mencari bantuan dan bimbingan dari negara tetangga, Swiss. Harta keluarga dari tanah dan harta benda dinasti di Bohemia, Moravia, dan Silesia dibawa ke Liechtenstein untuk diamankan.

Operasi Tannenbaum, rencana Nazi untuk menaklukkan Swiss, juga mencakup Liechtenstein, dan impian Pan Jerman Nazi untuk menyatukan semua penutur bahasa Jerman di Reich juga mencakup penduduk Liechtenstein. Namun, Nazi akhirnya menyerah dalam melaksanakan rencana ini, dan Liechtenstein terhindar dari pendudukan Nazi.

Pada 20 September 1990, Liechtenstein diterima di PBB sebagai negara anggota ke-160. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top