Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Persatuan Umat - Kenalkan Sejarah melalui Dunia Pendidikan

Lestarikan Jati Diri Bangsa

Foto : koran jakarta/m aden maruf

m erawat kebangsaan - Ketua Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Prasetyo Sunaryo (kedua dari kiri) bersama Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono (kedua dari kanan) saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Merawat Kebangsaan, Menggali Jati Diri Bangsa (Refleksi Sejarah, Bangsa, dan Letak Geografis)”, di Jakarta, Senin (27/5) .

A   A   A   Pengaturan Font

Jati diri bangsa bisa dibangun dengan mengingat kembali sejarah, bahasa, dan geografis.

JAKARTA - Memasuki abad 21, teknologi menjadi penggerak perubahan segala aspek kehidupan umat manusia, mendorong setiap bangsa untuk menetapkan agenda merawat dan melestarikan jati diri bangsa, termasuk bangsa Indonesia.

Selain terus melaksanakan agenda demokrasi lima tahunan, bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga identitasnya sebagai bangsa agar dalam pergaulan antarbangsa yang intens, bangsa ini tetap terjaga jati dirinya.

Pendapat tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk Merawat Kebangsaan, Menggali Jati Diri Bangsa (Refleksi Sejarah, Bangsa, dan Letak Geografis), di Jakarta, Senin (27/5) petang.

Hadir sebagai pembicara, di antaranya Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Prasetyo Sunaryo, Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia (Undip), Chriswanto Santoso, dan pakar sejarah maritim, Singgih Tri Sulistiyono.

Prasetyo mengatakan kebangsaan adalah kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara atau jati diri sebuah bangsa. Karena itu, menurutnya, segala masalah bangsa ini bisa diselesaikan dengan mudah bila semua pihak memiliki kesadaran sebagai bangsa dan memelihara kenangan kolektif sejarah bangsanya.

"Jati diri atau identitas bangsa ini bisa dibangun dengan mengingat kembali sejarah, bahasa, dan geografis. Itu sama halnya meneropong Indonesia dari sisi masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia," imbuh Prasetyo.

Singgih Tri Sulistiyono berpendapat, sejarah adalah bagian terpenting pembentukan sebuah bangsa dan negara. Kesadaran sebagai sebuah bangsa atau kesadaran tentang keindonesiaan tidak akan dapat dibangun tanpa mempelajari sejarah. "Bangsa Indonesia lahir dari proses sejarah sebagai narasi pengalaman kebersamaan (collective memory)," ujarnya.

Menurut Singgih, memori atau pengalaman bersama ini akan mengikat perasaan bersama. Sebab, substansi keindonesiaan adalah hanya sebuah perasaan kebersamaan sebagai sebuah komunitas bangsa. Jika bangsa ini melupakan sejarah, perasaan itu semakin lama semakin luntur.

Tanpa mempelajari sejarah secara berkelanjutan, sama halnya bangsa Indonesia melupakan atau bahkan menghilangkan keindonesiaannya. Bahkan menghilangkan bagian atau periode sejarah, sama halnya menghilangkan bagian dari keindonesiaan.

"Demikian juga melalui sejarah, identitas kebangsaan bisa digali. Identitas kebangsaan Indonesia juga lahir dari dinamika sejarah," ujar Singgih.

Pengenalan Sejarah

Senada dengan Prasetyo, Singgih mendorong pengenalan sejarah melalui dunia pendidikan. Menurutnya, pendidikan sejarah dapat membentuk sikap anak bangsa terhadap komunitas bangsanya. "Dengan pendidikan sejarah, peserta didik tidak hanya menguasai materi dan substansi sejarah, tetapi juga mampu memahami dan mengerti masa kini atas dasar pemahaman terhadap masa lampau," imbuh Singgih.

Bagi Indonesia saat ini, pendidikan sejarah di sekolah jangan hanya terkait dengan ranah kognitif semata. Bahkan, aspek afektif dan psikomotor jauh lebih penting untuk generasi muda dalam rangka pembentukan sikap nasionalisme dan keindonesiaan.

"Pendidikan sejarah juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana untuk menciptakan kesadaran sejarah yang terkait dengan pengalaman dan penghayatan anak bangsa terhadap masa lampau bangsanya. Pada gilirannya kesadaran sejarah akan menimbulkan empati terhadap bangsanya," papar Singgih.

Anak bangsa yang memiliki kesadaran sejarah akan mencari jawaban atas persoalan kekinian dengan belajar sejarah. Hal ini cocok dengan ucapan Bung Karno, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah)".

Sementara itu, bahasa menjadi petunjuk identitas bangsa yang dapat dilihat dari kata-kata yang digunakan. Misalnya, banyak bahasa asing yang turut membentuk bangsa ini. "Sebelum manusia mengenal kata, ia lebih dulu mengenal simbol. Kata adil misalnya, bangsa ini menyerap kata adil dari bahasa Arab. Ini menjadi pertanyaan, apakah bangsa ini mengalami ketidakadilan sepanjang sejarahnya sehingga tidak ada kata genuine mengenai adil?" ujar Prasetyo.

ruf/E-3

Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top