Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Lenyapnya Maskot Angkutan Ibu Kota

Foto : KORAN JAKARTA/peri irawan
A   A   A   Pengaturan Font

Dua armada bajaj merah, teronggok begitu saja di kawasan Petogogan, Jakarta Selatan. Badan bajaj ini hanya dijadikan gudang sementara oleh pelaku usaha pinggir jalan. Satu bajaj menjadi tempat menyimpan alat-alat bengkel tambal ban, dan satu lagi disulap jadi tempat makan.

Padahal, Bajaj merah ini sudah dianggap sebagai maskot Ibu Kota Jakarta. Seperti halnya becak motor atau Bentor di Medan, juga Andong di Jogja. Bajaj seringkali menjadi sasaran pelancong sebagai tanda mereka telah menginjak tanah Betawi.

Bahkan, Bajaj merah ini pernah dijadikan objek kreativitas pelaku perfilman amatir. Bajaj merah dijadikan pahlawan ketika berubah menjadi robot transformer di sebuah pemukiman kumuh. Namun, cerita ini hanya terlintas dalam sebuah film pendek yang beredar beberapa waktu lalu.

Kini, maskot Ibu Kota itu hilang ditelan jaman. Selain karena kebijakan pemerintah yang ingin menghapuskannya, bajaj merah pun sudah ditinggal pelanggannya. Rata-rata, mereka teronggok begitu saja menjadi besi tua tanpa guna.

Mesin dua taknya yang bersuara khas bakal dirindukan banyak orang. Hanya memang, asapnya yabg membumbung yang seringkali mengganggu pengguna jalan. Kini, bajaj merah itu telah berganti dengan bajaj biru. Mesin bajaj biru menggunakan sistem empat tak dengan bahan bakar gas.

"Kan sudah dilarang sama pemerintah. Makanya, semua pengemudi menggantinya dengan bajaj biru. Kalau yang merah ini, sudah kayak sampah. Nggak ada guna lagi," ujar Neneng (50 tahun), pedagang Nasi Rames yang memanfaatkan badan bajaj untuk jualannya, di Petogogan, Jakarta Selatan, Senin (10/7).

Diakuinya, pemilik bajaj merah itu sengaja memarkirkan bangkai bajaj di pinggir jalan karena dilarang beroperasi. Hanya saja, bajaj yang sudah rusak parah itu dimanfaatkannya untuk berjualan. Dia mengaku tidak mengetahui, kenapa bangkai bajaj itu dionggokkan begitu saja.

"Ya kalau dijual juga, sudah tidak laku mungkin. Sudah rongsok begini. Tapi sayang juga kalau sampai punah, ini kan jadi ciri khas Jakarta," katanya.

Dulu, kawasan ini dipenuhi bajaj merah. Bengkel-bengkel kendaraan pun seringkali disesakinya. Hanya saja, bajaj merah telah berganti biru. Bengkel pun tak lagi ramai karena kehilangan pelanggannya.

Diakui Anshori, 65 tahun, pengemudi bajaj biru, servis atau pemeliharaan bajaj biru tak seribet bajaj merah. Namun, servis itu harus dilakukan oleh bengkel resmi karena belum banyak bengkel yang bisa menyervis mesin dengan bahan bakar gas. Sedangkan saat dirinya masih mengemudi bajaj merah, servis mesin pun masih bisa dilakukan sendiri.

"Kalau yang merah kan bisa dibenerin sendiri, paling beli onderdil. Tapi memang, seringkali harus dibongkar pasang, karena bajaj merah itu cukup tua. Sedangkan untuk bajaj biru, kan pakai gas. Mesinnya empat tak, mau tak mau harus ke bengkel resmi," jelasnya.

Menurutnya, mengangkut penumpang dengan bajaj biru lebih gesit dibanding bajaj merah. Hanya saja, biaya perawatannya cukup mahal. Mengganti oli saja bisa mencapai lebih dari Rp 100 ribu. Tapi, dari sisi bahan bakar lebih irit.

"Kalau dibanding-bandingkan, mending pakai bajaj merah. Karena kan dulu, masih banyak penumpang. Kalau sekarang, penumpangnya sudah nggak ada. Jadi, kita kebanyakan melongo saja. Kalah sama ojek online," jelasnya.

peri irawan/P5

Komentar

Komentar
()

Top