Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Lembaga Perwakilan yang Bersih

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Dinda Balqis

Pemilihan umum (pemilu) memang selalu menjadi topik yang tak pernah habis untuk dibahas. Pemilu Tahun 2019 untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi/ Kabupaten/Kota. Pasangan calon (paslon) untuk presiden dan wakil sudah diumumkan. Sejenak kesampingkan riuh tanggapan terhadap paslon presiden dan wakil presiden yang akan berlaga di Pemilu 2019. Pemilu untuk memilih anggota legislatif pun tak kalah penting posisinya. Karena rakyat Indonesia harus selektif dalam memilih calon-calon yang akan duduk di lembaga perwakilan tersebut.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif sudah lama diberlakukan. PKPU sebagai regulasi pencalonan Pemilu 2019. Setiap kebijakan memunculkan pro kontra, tak terkecuali PKPU Nomor 20 Tahun 2018. PKPU ini bisa dibilang menjadi yang paling kontroversial dan banyak menerima penolakan. Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 legislatif dioarang mantan terpidana korupsi.

Pasal 4 ayat (2) PKPU Nomor 20 Tahun 2018, memberikan kewenangan kepada setiap partai politik untuk menyeleksi bakal calon legislatif sesuai dengan AD dan ART, dan/atau aturan internal masing-masing. Namun, jika dalam pengajuan calon ke KPU ditemukan bakal calon yang teridentifikasi sebagai mantan narapidana korupsi, KPU berwenang menolak. Penangkalan pencalonan juga berlaku bagi mantan narapidana narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.

Sejak diberlakukan PKPU ini sudah mulai menerima gelombang penolakan. Tak sedikit mantan narapidana korupsi yang berniat "nyaleg" mengajukan gugatan uji materi PKPU Nomor 20 Tahun 2018 ke Mahkamah Agung (MA).

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 seharusnya disambut positif dengan tangan terbuka. KPU semestinya dipandang secara ksatria untuk mengusahakan Indonesia agar bebas dari praktik korupsi, bukannya dipandang sebagai musuh. Hasil survei Transperancy International Indonesia (TII), dari data Global Corruption Barometer 2017 versi Indonesia menempatkan legislatif sebagai lembaga terkorup.

Hal ini bukan asal bunyi. Penempatan lembaga legislatif di posisi puncak praktik korupsi didukung fakta, sejak tahun 2004-2013, terdapat 74 anggota DPR, 2.545 anggota DPRD Provinsi dan 431 anggota DPRD Kabupaten/Kota terjerat korupsi. Angka tersebut terus bertambah hingga memasuki triwulan ketiga tahun 2018.

Lembaga legislatif memiliki kewenangan cukup krusial. Sebagai negara hukum, Indonesia berlandaskan aturan-aturan hukum yang mayoritas dalam bentuk tertulis untuk penyelenggaraan negara. Lembaga legislatif memegang kekuasaan membentuk UU menurut konstitusi. Melalui UU tersebutlah keabsahan suatu tindakan diakui negara.

Kekuasaan yang sebesar itu tentu harus diemban oleh orang-orang yang baik dan memiliki keseriusan sebagai pengemban amanah pembentuk UU sesuai dengan aspirasi masyarakat. Masih membekas dalam ingatan, upaya-upaya yang dilancarkan DPR melalui kebijakan-kebijakannya untuk melemahkan KPK.

Indoneisa Corruption Watch (ICW) mencatat, ada beberapa manuver DPR untuk melemahkan kerja pemberantasan korupsi. Pertama, tahun 2008, DPR sempat menolak memberikan anggaran kepada KPK untuk pembangunan gedung baru. Kedua, wacana pembubaran KPK yang digaungkan tahun 2011. Ketiga, mendorong KPK sebagai lembaga adhoc, yang bersifat sementara. Wacana ini tentu tidak masuk akal, karena lembaga adhoc dibentuk dengan maksud khusus untuk mempersiapkan atau merencanakan sesuatu. Sangat tidak sinkron dengan tujuan pembentukan KPK.

Keempat, melakukan pelemahan melalui proses legislasi untuk merevisi Undang-Undang KPK. Yang paling anyar melemahkan KPK melalui hak angket DPR. Dari semua itu terlihat betapa bernafsunya DPR membombardir KPK yang telah mengusik zona nyaman para legislatif. Kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki DPR dipakai secara semena-mena hingga menjurus tak masuk akal untuk melindungi mereka dari jerat hukum.

Amanah konstitusi menyeleweng jauh dari yang seharusnya karena digunakan oleh mereka yang haus kekuasaan. Seharusnya langkah KPU melalui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 diapresiasi untuk membersihkan lembaga perwakilan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bukan menjegal KPU dengan alasan hak politik atau bertentangan dengan UU.

Prihatin

Data KPU-Bawaslu menunjukkan masih ada partai yang mengusung calon legislatif mantan narapidana korupsi. Terdapat setidaknya 207 caleg di berbagai tingkatan yang merupakan mantan narapidana korupsi. Sepertinya partai sudah kekurangan kader yang memiliki moral politik bersih. Sehingga partai tetap nekat mencalonkan mantan narapidana korupsi.

Para mantan narapidana yang ingin ikut "nyaleg" seakan merasa terzolimi oleh PKPU ini. satu-persatu menggugat ke MA. Hal ini seperti bertarung dengan nurani. Negara memang tidak memiliki hak menghakimi seorang mantan narapidana koruptor. Namun, negara berhak mengupayakan segala untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Seharusnya semua pihak menerima dengan lapang dada. Langkah yang diambil KPU ini sudah sejalan dengan tujuan pemberantasan korupsi. Selama ini, semua pihak baik dari partai maupun calon-calon yang akan maju dalam pemilu selalu menggaungkan pemberantasan korupsi. Langkah sederhana yang seharusnya mereka ambil saat ini mendukung langkah KPU.

KPU telah mempublikasikan pihak-pihak yang tetap mendaftarkan calon dari mantan narapidana korupsi. Sehingga masyarakat seharusnya lebih selektif dalam memilih wakilnya di lembaga legislatif. Langkah partai yang tetap mencalonkan mantan narapidana korupsi sebaiknya diberikan sanksi. Partai harusnya bisa sadar bahwa dengan kembali mencalonkan mantan narapidana korupsi akan mencoreng kredibilitas sendiri.

Pilihan masyarakat sangat menentukan masa depan negara Indonesia. Jangan biarkan orang-orang jahat kembali menduduki kursi kekuasaan.

Masyarakat hanya tinggal memilih di antara 2 pilihan, yaitu 5 tahun menuju kesejahteraan atau 5 tahun kembali dirongrong oleh tikus-tikus negara. Segala elemen masyarakat harus ikut bersinergi bersama KPU untuk mewujudkan lembaga perwakilan yang bersih, bebas dari praktik korupsi.


Penulis Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas

Komentar

Komentar
()

Top