Laju Inflasi Bisa Makin Kencang
PENYESUAIAN TARIF | Pengemudi ojek online mengangkut penumpang di kawasan Blora, Jakarta, Jumat (9/9). Kementerian Perhubungan merevisi kenaikan tarif ojek online (ojol) dari sebelumnya berkisar 30-50 persen menjadi 6-13 persen yang akan diberlakukan mulai 10 September 2022.
Foto: ANTARA/INDRIANTO EKO SUWARSOJAKARTA - Kenaikan tarif ojek online (ojol) dikhawatirkan dapat memicu efek domino yang dapat menghambat pemulihan ekonomi nasional. Selain memacu inflasi, penyesuaian tarif ojol tersebut dapat berdampak buruk terhadap perekonomian nasional.
Peneliti Indef, Nailul Huda, mengungkapkan sektor transportasi merupakan penyumbang inflasi tertinggi kedua setelah makanan, minuman, dan tembakau.
"Inflasi kita saat ini cukup tinggi di 4,69 persen (Agustus 2022). Adanya kenaikan BBM dan diikuti dengan kenaikan transportasi bisa mengerek inflasi jauh lebih tinggi lagi. Ini yang kita tidak mau," katanya dalam paparan rilis survei nasional Polling Institute bertajuk "Kenaikan Tarif Ojek Online di Mata Pengguna dan Pengemudi" secara daring di Jakarta, Minggu (11/9).
- Baca Juga: Ekspor UMKM
- Baca Juga: Pengembangan Kawasan Aerotropolis Gerakkan Sektor Industri Kargo dan Logistik
Nailul menuturkan Indef telah menghitung jika kenaikan tarif ojol bisa memicu kenaikan inflasi hingga dua persen, secara makro akan mengurangi PDB hingga 1,76 triliun rupiah dan menyebabkan gaji atau upah tenaga kerja nasional secara riil turun 0,0094 persen.
"Selain itu, menurunkan pendapatan usaha sebesar 0,0107 persen, ada potensi penurunan jumlah tenaga kerja sebesar 14 ribu jiwa dan ada potensi kenaikan jumlah penduduk miskin 0,14 persen," katanya.
Sementara itu, jika kenaikan tarif ojol mendorong kenaikan inflasi nasional hingga 0,5 persen, maka pengurangan PDB diprediksi 436 miliar rupiah, upah tenaga kerja turun 0,0006 persen, potensi penurunan jumlah tenaga kerja hanya 869 jiwa dan kenaikan jumlah penduduk miskin juga relatif terbatas dengan 0,04 persen.
"Ini yang relatif masih bisa diterima oleh kondisi makro ekonomi kita," katanya.
Seperti diketahui, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menetapkan kenaikan tarif ojek online sebesar 6-10 persen yang mulai berlaku Minggu (11/9). Penyesuaian tarif tersebut telah melalui kajian matang agar tidak terlalu mengurangi penumpang ojol meski tarif dinaikkan.
Sementara itu, Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai kenaikan tarif ojol diprediksi membuat banyak pengguna ojol beralih menggunakan sepeda motor pribadinya. Menurut Yayat, kelebihan utama sepeda motor adalah penggunaan BBM hemat.
"Orang akan lebih banyak pindah ke sepeda motor, karena sepeda motor itu luar biasa. Motor baru itu, untuk setiap satu liternya ada yang bisa (mencapai jarak) 62 km," katanya dalam rilis survei nasional Polling Institute bertajuk "Kenaikan Tarif Ojek Online di Mata Pengguna dan Pengemudi" secara daring di Jakarta, kemarin.
Yayat mencatat jika penggunaan satu liter BBM bisa untuk jarak 40 km, bisa dibandingkan berapa besar efisiensi yang bisa dilakukan pelaju dengan menggunakan angkutan umum atau ojol.
"Makanya, kalau survei mengatakan bahwa kemungkinan besar orang akan pindah ke sepeda motor, benar. Karena kekuatan motor adalah pada superhematnya dalam konteks penggunaan energi dengan jarak yang ditempuh," imbuhnya.
Sementara itu, hasil survei Polling Institute mencatat sebanyak 29,1 persen pengguna ojek online akan tetap memakai ojol sebagaimana biasanya, meski tarifnya naik menyusul kenaikan harga BBM.
Direktur Eksekutif Polling Institute, Kennedy Muslim, dalam paparannya secara daring di Jakarta, kemarin, menjelaskan pilihan untuk tetap menggunakan ojol sebagaimana biasanya itu jadi opsi utama, disusul oleh opsi untuk menggunakan sepeda motor pribadi.
"Opsi untuk tetap menggunakan ojol sebagaimana biasanya itu memang tertinggi, ada 29,1 persen. Ini menunjukkan bahwa betapa tergantungnya masyarakat urban dengan transportasi ojek online," katanya.
Respons tertinggi kedua jika kenaikan tarif ojol diberlakukan, lanjut Kennedy, adalah menggunakan sepeda motor pribadi sebanyak 26,6 persen diikuti tetap menggunakan ojol dan kombinasi motor sendiri sebesar 14 persen, menggunakan motor sendiri/angkutan umum 5,3 persen, atau menggunakan angkutan umum 5,3 persen.
Lebih lanjut, Kennedy mengemukakan kenaikan tarif ojol juga mengancam mitra ojol itu sendiri. Misalnya, dengan kenaikan tarif sebesar 2.000 rupiah per perjalanan, sekitar 25 persen pengguna mundur dan beralih ke moda lain.
Adapun jika kenaikan tarif mencapai sekitar 4.000 rupiah per perjalanan, kemungkinan ada sekitar 72 persen pengguna yang tidak akan menggunakan ojol lagi.
Oleh karena itu, meski mayoritas mitra driver setuju/sangat setuju dengan kenaikan tarif, namun demikian konsekuensi logis sebagai dampak kenaikan tarif mendapat respons yang sangat bertolak belakang oleh mitra driver.
- Baca Juga: Masyarakat RI Perlu Solusi Keuangan Lebih Fleksibel
- Baca Juga: Luar Biasa, 56 Bulan Untung Terus
"Mayoritas cenderung menitikberatkan pada volume order yang tidak berkurang tanpa ada kenaikan tarif, 53,1 persen. Atau bahkan cukup besar kalangan mitra yang lebih menginginkan tarif diturunkan agar order lebih banyak, 21,1 persen," katanya.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Antara, Muchamad Ismail
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Selama 2023-2024, ASDP Kumpulkan 1,72 Ton Sampah Plastik
- 2 Kemenperin Desak Produsen Otomotif Tiongkok di Indonesia Tingkatkan Penggunaan Komponen Lokal
- 3 Irena Sebut Transisi Energi Indonesia Tuai Perhatian Khusus
- 4 Jepang Siap Dukung Upaya RI Wujudkan Swasembada Energi
- 5 Perkuat Kolaborasi, PM Jepang Dukung Indonesia untuk Jadi Anggota Penuh OECD
Berita Terkini
- Brigjen Purn Mengendarai Mobil Terjun ke Laut
- BPS DKI Catat Jumlah Penduduk Miskin di Jakarta Turun, Kini yang Miskin hanya Segini
- 10.000 Hektare Tambak Tak Produktif di Bekasi Bakal Direvitalisasi
- Tamparan Hukum, Ketua PN Surabaya Ditangkap
- Asing Was-was terhadap Kebijakan Trump, Saham Perbankan Loyo