Kualitas Udara di Jakarta Membahayakan Kesehatan
Greenpeace berpendapat diperlukan strategi dengan target dan pentahapan yang jelas untuk memperbaiki kualitas udara DKI Jakarta.
JAKARTA - Greenpeace Indonesia memantau kualitas udara DKI Jakarta dengan mengukur polutan yang merupakan partikel halus PM2,5 sesuai dengan standar yang gunakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Alat yang kami gunakan dalam memantau PM2,5 juga sudah kami uji komparasi dengan alat scientific lainnya (Thermo Scientific PDR 1500) dengan hasil konsistensi sekitar 98 persen, yang artinya secara metode dan tingkat keakuratan, alat yang kami gunakan cukup representatif untuk mengindikasikan kualitas udara di suatu tempat," kata Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu, di Jakarta, Kamis.
Menurut Bondan, pengukuran kualitas udara kini harus mencakup polutan yang lebih kecil, yakni PM2,5. Faktanya, dengan ukuran yang lebih kecil diketahui dampak kesehatannya jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan PM10 yang merupakan partikel kasar.
WHO pun, ia mengatakan telah menggunakan standar ini dengan ambang batas sebesar 25 g/m3 untuk harian dan 10 g/m3 untuk rata-rata satu tahun. "Sifat dari PM2,5 ini adalah persistent, tidak bisa diserap seluruhnya oleh tanaman sehingga masih akan ada partikel halus yang akan terpapar kepada manusia," lanjut dia.
Dengan demikian, strategi pemerintah daerah yakni penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang saat ini hanya sekitar 10 persen dari aturan yang seharusnya 30 persen dimiliki oleh DKI Jakarta, dirasa belum optimal untuk menanggulangi masalah polusi udara. Apalagi sekarang pembangunan infrastruktur cukup marak terjadi di kawasan Ibu Kota.
Menurut dia, diperlukan strategi dengan target dan pentahapan yang jelas untuk memperbaiki kualitas udara DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya, dengan menyasar sumber polutannya.
Pemprov gunakan PM10 Menurut Bondan, pandangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, khususnya Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah yang melihat PM10 masih layak menjadi parameter pengukuran kualitas udara, tidaklah tepat.
Ia mengatakan polutan PM2,5 sudah berada jauh di atas standar minimal baik itu berdasarkan patokan WHO maupun Baku Mutu Udara Ambien Nasional (65 g/m3 untuk harian dan 15g/m3 untuk tahunan). Contohnya, pada 18 dan 19 Juli 2017, stasiun pemantauan milik Kedutaan Besar Amerika Serikat menunjukkan angka 73 g/m3 dan 80 g/m3 di Jakarta Selatan.
Sebelumnya diberitakan bahwa Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah menyebut pihaknya tidak memakai hasil pemantauan Greenpeace sebagai tolak ukur penilaian. Sebab, DKI memiliki alat pantau udara sendiri.
Saefullah tidak tahu apakah alat ukur yang digunakan oleh Greenpeace sama dengan yang digunakan oleh pemerintah DKI. "Tergantung metodologinya, kita percaya alat kita dulu," ujar dia. emh/Ant/P-5
Redaktur : M Husen Hamidy
Komentar
()Muat lainnya