Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Industri Perbankan | Pertumbuhan Kredit Tahun ini Diperkirakan Masih “Single Digit”

Kredit Tumbuh Melambat di H1-2018

Foto : ISTIMEWA

Chief Economist PT Bank CIMB Niaga, Adrian Panggabean.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Chief Economist PT Bank CIMB Niaga, Adrian Panggabean, memperkirakan pertumbuhan investasi dan kredit perbankan pada paruh kedua atau semester II-2018 melambat. Melambatnya pertumbuhan tersebut karena perubahan di seluruh segmen pasar aset sehingga memicu terjadinya repricing di neraca perbankan.

"Akibatnya, target-target likuiditas dan penyaluran kredit perbankan pun berubah. Semakin datarnya yield curve di pasar obligasi memperkuat disinsentif terhadap proses intermediasi perbankan. Interaksi dari kesemua faktor inilah yang berpotensi menurunkan laju pertumbuhan kredit perbankan dan laju penghimpunan modal di pasar finansial," kata Adrian dalam catatannya, di Jakarta, Selasa (31/7).

Menurut dia, pangkal dari kondisi tersebut adalah prospek pertumbuhan investasi dalam 6-12 bulan ke depan diperkirakan akan tertekan.

"Kami merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan kredit perbankan di 2018 menjadi 8 persen dari sebelumnya 8,5 persen dan pertumbuhan investasi dalam PDB menjadi 5 persen dari sebelumnya 6 persen," kata Adrian.

Kenaikan suku bunga acuan BI 7 day Reverse Repo Rate sebesar 1 persen atau 100 basis poin ke level 5,25 persen mengakibatkan kurva term structure Bank Indonesia (BI), kurva JIBOR, dan valuasi aset di pasar obligasi dan saham, ikut bergeser.

Yield curve, misalnya, bergeser naik di seluruh tenor obligasi. Bukan hanya itu, bentuknya pun lebih datar dibanding dua bulan sebelumnya. Interest rate cycle berbalik tajam dari siklus turun dalam 18 bulan sebelumnya, menjadi siklus naik dan diperkirakan tetap tinggi dalam 18 bulan ke depan.

Fluktuasi Tajam

Pada semester I-2018 lalu, papar Adrian, cukup menarik karena dimulai dan diakhiri dengan fluktuasi tajam di pasar finansial Indonesia. Fluktuasi di pasar saham, obligasi, dan valuta, masih berlangsung sampai akhir Juli 2018 karena menguatnya indeks dollar (DXY) yang belakangan ini kerap menembus level 95 telah menekan mata uang dunia khususnya mata uang negaranegara emerging market termasuk rupiah).

"Naiknya DXY juga dibarengi dengan arus keluar portofolio asing di pasar saham dan obligasi. Yang menarik data menunjukkan ternyata arah arus pergerakan modal bukan hanya mengarah ke negara maju, tetapi juga menyebar ke negara-negara emerging market itu sendiri," kata Adrian.

Akibatnya, terjadi fluktuasi dalam cross currency diantara negara-negara emerging market. Pelemahan rupiah di awal triwulan kedua 2018 kemudian direspons oleh Bank Indonesia lewat kenaikan suku bunga BI 7 day Reverse Repo Rate 25 basis poin (bps) di akhir Mei 2018. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertebal spread antara aset dollar dan aset rupiah dengan harapan memperkuat rupiah.

Baca Juga :
Kinerja Perbankan

Kenaikan suku bunga acuan kemudian terefleksi dalam perubahan bentuk kurva kebijakan moneter (term structure), kemudian direspons oleh pasar (khususnya investor asing) lewat aktivitas jual di pasar modal. Investor di pasar obligasi pun mengantisipasi potensi merosotnya harga dengan melakukan aksi profit taking yang dilanjutkan dengan konversi aset dari denominasi rupiah ke dollar.

"Kesemuanya berujung pada teraksentuasinya pelemahan rupiah. Sekuens ini terulang sebanyak tiga kali sepanjang Mei dan Juni 2018, karena BI menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali dengan total 100 bps atau 1 persen dalam kurun dua bulan tersebut," katanya. bud/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Vitto Budi

Komentar

Komentar
()

Top