Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kemandirian Pangan - Impor Beras Selalu Meningkat Jelang Tahun Politik

KPK Harus Dalami Laporan "Mark Up" Impor Beras

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Laporan Studi Demokrasi Rakyat (SDR) terkait dugaan penggelembungan atau mark up impor beras harus ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah hukum perlu ditempuh untuk membuktikan dugaan tersebut. Selama ada impor beras, potensi terjadinya tindakan korupsi selalu ada.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi menyatakan masyarakat perlu mendukung KPK mengusut dugaan mark up impor beras tersebut sampai tuntas. Terrlebih lagi, dugaan ini berpotensi merugikan negara.

"Bangsa ini punya sejarah buruk soal korupsi impor beras maupun beberapa komoditas pangan lainnya," tegasnya kepada Koran Jakarta, Selasa (9/7).

Badiul mengatakan, kalau proses aduan cukup kuat dan ditindaklanjuti, tinggal nanti dibuktikan di pengadilan. "Selama didukung fakta data yang valid dan kredibel laporan itu sah-sah saja. Yang terpenting Badan Pangan Nasional (Bapanas) maupun Bulog yang merupakan pihak terlapor tinggal buka saja informasi maupun data yang dilaporkan, itu jauh lebih bijak," paparnya.

Seperti dikatahui, tren impor beras meningkat jelang tahun politik. Pada 2018, tercatat impor beras mencapai 2,2 juta ton, sementara pada 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras mencapai 3,06 juta ton.

Badiul berharap pemerintah membenahi tata kelola impor pangan, dan dipastikan tidak menjadi lahan para pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan korupsi atau tindakan lainnya yang merugikan keuangan negara.

"Pemerintah, seharusnya sudah melakukan tindakan yang lebih nyata untuk memenuhi kebutuhan beras tidak lagi dari impor. Misalnya, memperkuat keberpihakan pada petani, meningkatkan produksi dalam negeri, memberikan jaminan harga yang baik saat panen raya," tegasnya.

Menanggapi adanya laporan pihak terkait mengenai dugaan mark up impor 2,2 juta ton, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Gusti Ketut Astawa mengungkapkan pihaknya tidak masuk ke dalam pelaksanaan importasi yang menjadi kewenangan Bulog. "Bulog juga sudah mengklarifikasi bahwa terkait perusahaan Vietnam tersebut tidak pernah memberikan penawaran harga ke Bulog," ujar Ketut.

Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Mokhamad Suyamto mengatakan perusahaan Tan Long Vietnam yang diberitakan memberikan penawaran beras, sebenarnya tidak pernah mengajukan penawaran harga sejak bidding tahun 2024 dibuka.

Terkendala "Demurrage"

Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR, Kamis (20/6), menjelaskan Demurrage yang menjadi persoalan.

Dia menjelaskan Demurrage atau keterlambatan bongkar muat, terangnya, merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan sebagai bagian dari risiko handling komoditas impor. "Jadi misalnya dijadwalkan 5 hari, menjadi 7 hari. Mungkin karena hujan, arus pelabuhan penuh, buruhnya tidak ada karena hari libur, dsb. Dalam mitigasi risiko importasi, Demurrage itu biaya yang sudah harus diperhitungkan dalam kegiatan ekspor impor. Adanya biaya demurrage menjadi bagian konsekuensi logis dari kegiatan eskpor impor," ucap Bayu.

Adapun Bulog, papar Bayu, selalu berusaha meminimalkan biaya demurrage. Hal itu sepenuhnya menjadi bagian dari biaya yang masuk dalam perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengeskpor.

Seperti diketahui, Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto selaku pelapor mengatakan, jumlah beras yang diimpor itu 2,2 juta ton dengan selisih harga mencapai 2,7 triliun rupiah. "Harganya jauh di atas harga penawaran. Ini menunjukkan indikasi terjadinya praktik mark up," kata Hari saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (3/6).


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top