Rabu, 12 Mar 2025, 08:11 WIB

Koreksi Bitcoin di Level 80.000 Dollar AS bisa jadi Peluang Investor

Koreksi atau penurunan harga yang dialami Bitcoin merupakan imbas dari sentimen negatif terhadap outlook kebijakan moneter AS tahun 2025, Jakarta, Selasa (24/12/2024).

Foto: ANTARA

Jakarta, 12/3- Analis Reku Fahmi Almuttaqin menilai, koreksi Bitcoin di kisaran 80.000 dolar AS justru bisa menjadi peluang bagi investor institusi yang memandang Bitcoin sebagai instrumen lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi.

“Meskipun demikian, altcoin, terutama yang terkait proyek AI atau teknologi, mungkin akan lebih rentan terkoreksi lebih dalam akibat valuasi yang terlalu optimis dan korelasinya dengan sentimen saham-saham AS di sektor teknologi seperti Nvidia. Ke depan, laporan inflasi dan perkembangan kebijakan fiskal AS akan menjadi katalis utama,” kata Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, penurunan harga Bitcoin saat ini mencerminkan adanya penyesuaian portofolio besar-besaran di kalangan investor dan manajer aset.

Sebagaimana diketahui, pasar saham Amerika Serikat (AS) kehilangan nilai sebesar 4 triliun dolar AS dalam sehari pada perdagangan Senin (10/3). Tiga indeks saham utama Wall Street yaitu S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones Industrial Average masing-masing mengalami penurunan lebih dari 2 persen dalam satu hari tersebut.

Sektor teknologi menjadi salah satu yang paling terpukul dengan indeks S&P 500 sektor teknologi turun 4,3 persen. Apple dan Nvidia masing-masing turun sekitar 5 persen sedangkan Tesla melemah lebih dari 15 persen.

Lebih dari itu, Delta Air Lines memotong proyeksi laba akibat ketidakpastian ekonomi, dan investor beralih ke aset safe-haven seperti obligasi pemerintah AS.

Sementara di pasar kripto, Bitcoin turun sekitar 5 persen sedangkan Ethereum turun 10 persen lebih, meningkatkan tekanan likuidasi di tengah tingginya volatilitas pasar. Laporan inflasi Consumer Price Index (CPI) AS yang akan dirilis pada 12 Maret dan ancaman shutdown pemerintah semakin menambah ketegangan pasar.

Fahmi mengaitkan situasi ini dengan potensi stagflasi yang mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang melambat, inflasi tinggi, serta ancaman resesi di Amerika Serikat (AS) akibat kebijakan impor yang lebih ketat dan pengetatan anggaran pemerintah.

Proyeksi sementara menunjukkan kenaikan sebesar 0,23 persen, lebih rendah dari kenaikan Januari sebesar 0,5 persen. Namun, inflasi tahunan AS diperkirakan masih berada di angka 3 persen, yang masih cukup jauh dari target The Fed sebesar 2 persen.

“Dengan hasil pertemuan KTT Kripto Gedung Putih yang belum banyak memberikan katalis positif bagi pasar kripto, serta kebijakan suku bunga The Fed yang masih tertahan, tekanan di pasar kripto berpotensi berlanjut. Namun, potensi pergeseran sentimen tetap terbuka, terutama jika Bitcoin semakin dipandang sebagai inflation hedge,” lanjut Fahmi.

Lebih lanjut, ia memandang langkah pemerintahan Trump untuk mensahkan Strategic Bitcoin Reserve AS juga bisa menjadi faktor yang meningkatkan legitimasi Bitcoin di mata investor tradisional maupun negara lain yang tengah mengeksplorasi langkah serupa.

Fahmi menyarankan bahwa bagi investor yang lebih mengutamakan fundamental aset, investasi pada kripto dengan kapitalisasi pasar besar masih menjadi pilihan menarik.

Fitur seperti Packs di platform Reku, yang memungkinkan diversifikasi aset dengan berbagai crypto blue chip serta saham AS unggulan, bisa menjadi strategi efektif.

Sementara itu, bagi investor yang ingin memanfaatkan volatilitas pasar, fitur Futures dengan opsi Long atau Short dan leverage hingga 25 kali bisa menjadi alat untuk mengoptimalkan kondisi saat ini.

Dengan berbagai ketidakpastian yang masih membayangi pasar keuangan global, investor institusi yang mengadopsi strategi akumulasi pada Bitcoin mungkin akan memperoleh keuntungan dalam jangka panjang jika aset ini terus dianggap sebagai perlindungan terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi.

Redaktur: -

Penulis: Antara, Arif

Tag Terkait:

Bagikan: