Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Kuartal II - Target Pertumbuhan Ekonomi 2017 Sulit Tercapai

Konsumsi Tertahan, Ekonomi RI Lesu

Foto : Sumber: BPS
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II- 2017 yang tidak beranjak dari angka yang dibukukan pada kuartal I-2017, yakni sebesar 5,01 persen dinilai mengindikasikan bahwa perekonomian nasional sedang tidak sehat.

"Pertumbuhan ekonomi stagnan atau tidak mengalami perubahan. Memang belum menuju krisis, ekonomi hanya sedang lesu," kata ekonom Indef, Bhima Yudhistira, saat dihubungi, Senin (7/8). Menurut dia, penyebab stagnasi pertumbuhan itu bisa ditelusuri dari kebijakan pemerintah menaikkan harga listrik golongan 900 VA.

Dampaknya dirasakan pada penurunan daya beli pada Januari-Juni 2017. Kemudian, perlambatan konsumsi juga terjadi pada kelompok masyarakat atas.

Mereka menunda konsumsi dan mengalihkan pendapatan ke tabungan, motifnya lebih ke berjaga-jaga. Ini antara lain terlihat dari kenaikan tabungan masyarakat sebesar 60 triliun rupiah menjadi 1.571 triliun rupiah pada Juni lalu.

"Kemudian, kalau dilihat dari belanja pemerintah juga tahun ini tidak bisa diharapkan. Selain karena penyerapannya masih rendah, dampak penghematan anggaran juga akan dirasakan di semester II," lanjut Bhima.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2017 sebesar 5,01 persen (year on year/yoy) atau sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya. Bahkan, mengalami penurunan bila dibandingkan periode sama 2016 yang sebesar 5,18 persen.

Padahal, APBN mematok target pertumbuhan ekonomi 2017 di kisaran 5,2 persen. Bhima berpendapat target pertumbuhan itu sulit tercapai karena kinerja konsumsi rumah tangga pada kuartal-II masih di bawah ekspektasi, hanya tumbuh 4,95 persen atau naik 0,01 persen dari kuartal I-2017.

"Ini terbilang rendah karena tahun lalu bisa tumbuh 5,07 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini jadi motor pertumbuhan ekonomi," papar dia. Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia, Telisa Aulia Valianty, menambahkan penurunan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2017 bisa terlihat dari penjualan ritel dan otomotif yang melambat.

Hal itu dipicu oleh beberapa kebijakan pemerintah belakangan ini yang mempersulit posisi masyarakat kelas bawah. Menurut Telisa, kebijakan pencabutan subsidi listrik benar- benar menekan daya beli masyarakat sehingga perlu sesegera mungkin untuk dipulihkan.

"Berdasarkan beberapa kajian yang melemah terutama di pendapatan masyarakat bawah karena dicabutnya subsidi listrik dan penciptaan lapangan kerja yang minim serta upah yang stagnan," ungkap dia.

Salah Perhitungan

Kepala BPS, Suhariyanto, mengemukakan melesetnya asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN disebabkan pemerintah salah memperhitungkan harga komoditas yang turun dan tidak mengantisipasi pergeseran musim panen.

"Kemungkinan nanti pertumbuhan akan didongkrak konsumsi pemerintah," ujar dia. Menurut Suhariyanto, pemerintah harus fokus pada dua sektor yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni industri dan pertanian. Data BPS menunjukkan pertumbuhan sektor industri dan pertanian melambat.

Pada kuartal II tahun ini, industri pengolahan hanya tumbuh 3,54 persen, turun dibanding kuartal I-2017 yang tumbuh 4,24 persen. Bahkan, bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal II-2016, sebesar 4,63 persen, pelambatannya lebih besar.

Sementara itu, laju pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan pada kuartal II-2017 mencapai 3,33 persen, atau turun dibandingkan kuartal I-2017 yang mampu mencapai 7,12 persen.

Sedangkan bila dibandingkan kuartal II-2016 yang sebesar 3,34 persen, relatif tidak bergerak. Suhariyanto memaparkan guna memperbaiki pertumbuhan ekonomi ke depan, kuncinya sektor industri dan pertanian mesti dikembangkan.

"Sharenya sepertiga dari perekonomian. Dampaknya akan positif untuk mengerek pertumbuhan karena bisa langsung menyasar masyarakat bawah," kata dia. Bhima juga mengemukakan pemerintah perlu memperbaiki peran industri pengolahan dalam perekonomian yang cenderung terus menurun.

Apabila hal itu terus dibiarkan, penyerapan tenaga kerja secara agregat akan menurun dan berakibat pada penurunan pendapatan masyarakat secara umum. ahm/ers/WP

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top