Komunikasi Publik Pemerintah Masih Lemah
Pakar Komunikasi dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing.
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan melarang ekspor produk minyak kelapa sawit. Tapi tidak berapa lama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menyatakan, minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) tidak termasuk komoditas dalam larangan ekspor. Tidak lama kemudian, bahkan masih termasuk hitungan jam, pemerintah meralat, bahwa CPO juga termasuk ikut dilarang.
"Ini menunjukkan dari sisi komunikasi lemahnya komunikasi pemerintah dalam menjelaskan kebijakan pada publik," kata Pakar Komunikasi Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (5/5).
Menurut Emrus, dari unsur komunikasi, setiap kebijakan pemerintah, merupakan unsur pesan komunikasi. Ketika kebijakan pemerintah berubah dari satu kutub ke kutub komunikasi yang berseberangan, seperti diperbolehkan ekspor menjadi dilarang ekspor, maka sangat berpotensi semakin menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah.
"Karena itu, kredibilitas source (sumber) dan pesan dari pemerintah bisa terganggu dan cenderung ke arah menurun (negatif)," ujarnya.
Perbedaan kebijakan tersebut, lanjut Emrus, boleh jadi belum melalui proses pembicaraan serius, bahasan dan pengkajian secara holistik dan mendalam di internal pemerintah. Terutama dari aspek kredibilitas unsur-unsur komunikasi yaitu sumber, pesan, saluran, khalayak dan efek yang mungkin terjadi. Ini sebagai fenomena dan petunjuk konkrit bahwa komunikasi publik pemerintah masih lemah dan belum berubah.
"Dari unsur materi pesan komunikasi, misalnya, perlu menggali data berapa sesungguhnya kemampuan produksi minyak goreng yang bersumber dari kelapa sawit. Kemudian, dibandingkan dengan berapa volume kebutuhan dalam negeri," katanya.
Atas dasar tersebut, kata dia, bisa ditetapkan kebijakan distribusi dan pengawasan ketat di lapangan. Sehingga tidak terjadi penimbunan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, masih dalam unsur pesan komunikasi, perlu dikaji berapa kewajiban negara kita sesuai dengan WTO dalam memenuhi kebutuhan dunia terkait dengan minyak goreng.
"Jadi, harus ada sinkronisasi materi pesan antara kebutuhan dalam negeri dan kewajiban sesuai dengan WTO. Sebab, negeri kita sebagai bagian dari WTO," ujarnya.
Emrus menambahkan, lemahnya komunikasi publik pemerintah ini bukan kali pertama. Salah satu diantaranya komunikasi publik pemerintah termasuk kategori jelek terkait dengan Omnibus Cipta Kerja.
"Persoalan masih lemahnya komunikasi publik pemerintah ini, dengan segala kerendahan hati, saya sebagai komunikolog berpendapat, merupakan konsekuensi dari belum munculnya kesadaran baru dari pemerintah kita bahwa betapa pentingnya pengelolaan komunikasi publik bagi sebuah rezim pemerintahan yang dipilih melalui proses demokrasi, seperti negeri kita," kata dia.
Di luar unsur komunikasi tersebut, kata Emrus, yang tak kalah pentingnya, pemerintah perlu melakukan kajian kemungkinan pengaruh kartel pengelolaan kelapa sawit sebagai kelompok kekuatan politik di dalam maupun di luar pemerintah.
"Jadi, negeri ini harus belajar menyelesaikan masalah minyak goreng ini tanpa menimbulkan masalah baru di dalam negeri maupun terkait dengan WTO," ujarnya.
Redaktur : Marcellus Widiarto
Komentar
()Muat lainnya