Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Stok Pangan

Klaim Surplus Beras Tiap Tahun Semu, Hanya Sebatas Angka

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Klaim pemerintah mulai dari Kementerian Pertanian hingga Badan Pangan kalau Indonesia mengalami surplus beras hanya semu sebatas angka. Sebab, kalau benar-benar surplus tentunya Indonesia tidak perlu mengimpor beras lagi, tetapi justru sebaliknya mengekspor stok yang surplus.

Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, baru-baru ini mengatakan surplus yang diklaim pemerintah tidak diketahui persis di mana keberadaan stoknya. "Yang realistis saja, kalau memang kita surplus harus ekspor, ekspor kan ada laporan pajaknya, ini tidak ada, artinya yang surplus itu bagaimana? Ya itu, surplus di angka saja," kata Yeka.

Disebutkan, produksi padi sejak 2019-2022 juga stagnan rata-rata di kisaran 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Kondisi itu diperburuk dengan produktivitas sawah di dalam negeri rata-rata hanya mampu berproduksi 5,1 ton per hektare dalam lima tahun belakangan.

Kondisi tersebut juga seiring dengan luas panen yang mandek di angka 10,71 juta hektare. Kendati demikian, pemerintah selalu mengeklaim bahwa produksi beras surplus dari angka konsumsi tahunan. Data BPS pada 2018-2022, rata-rata surplus beras sebesar 2,5 juta ton per tahun.

Menanggapi hal itu, Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Masyhuri, mengatakan salah data beras di Indonesia sangat dimungkinkan karena tiga faktor. Pertama, salah dalam proses pendataan, kedua, kontrol gudang beras di Bulog yang dimungkinkan sangat mudah salah baik itu karena kesengajaan maupun tidak. Faktor ketiga, pemerintah tidak punya data beras di gudang-gudang swasta maupun yang disimpan oleh petani dan rumah tangga biasa.

"Jadi, data beras di kita itu sulit sekali akurat. Belum lagi data beras yang sengaja disimpan untuk mempermainkan harga, sulit sekali melacaknya," kata Masyhuri.

Indikator yang paling mudah untuk melihat stok beras di Indonesia adalah harga di pasaran. Kalau harga beras di pasar mahal, itu mengindikasikan Indonesia kekurangan stok beras, sehingga pemerintah harus merespons cepat dengan operasi pasar atau bahkan impor.

"Maka yang diperlukan adalah sampling data produksi dan intinya tingkatkan produksi beras kita dan diversifikasi pangan. Di sisi produksi ini jelas masih jauh dari harapan, alih fungsi lahan, input pertanian, semua masih jauh dari harapan," jelas Masyhuri.

Sementara El Nino sudah di depan mata dan ancaman perubahan iklim juga makin nyata. Maka mau tidak mau, kembali ke pertanian pangan dan mengutamakan peningkatan kualitas dan kuantitas panen serta diversifikasi pangan adalah suatu keharusan bagi pemerintah.

"Logikanya dengan kekeringan, umbi-umbian harus digalakkan, komoditas yang tidak terlalu butuh air harus digalakkan," papar Masyhuri.

Masih Misteri

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan hingga sekarang polemik data surplus produksi barang pertanian masih misteri. Akhir tahun lalu juga terjadi perbedaan data antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Kementan mengeklaim ada surplus produksi beras, sedangkan Kemendag mengeklaim barang tidak ada di pasar. "Saya melihat tidak ada sinkronisasi data di produksi beras maka kita bisa menggunakan indikator harga sebagai salah satu indikator ketersediaan barang," ungkap Huda.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top