Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kisah Jenderal Kopassus Bertempur Tiga Hari Tiga Malam di Tengah Hutan Sulawesi

Foto : Istimewa

Letjen Sintong Panjaitan.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pernah jadi Komandan Kopassus saat satuan pasukan elit TNI AD itu masih bernama Kopasandha, karirnya kemudian mandek pasca peristiwa berdarah Santa Cruz meletus. Kala itu, ia sedang menjabat sebagai Pangdam Udaya.

Ia dianggap ikut bertanggung jawab atas meletusnya peristiwa berdarah yang jadi sorotan dunia internasional tersebut. Ia pun disidang dalam sidang Dewan Kehormatan Militer. Padahal, ketika itu karirnya tengah moncer. Banyak yang memprediksi, karirnya bisa sampai ke puncak, berpeluang jadi KSAD.

Sayang karena peristiwa Santa Cruz itu, karirnya bisa dikatakan mandek. Ia terakhir pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal atau jenderal bintang tiga. Itu pun, setelah ia "diselamatkan" Habibie, yang kelak kemudian jadi Presiden menggantikan Soeharto.

Dia tidak lain adalah Letjen Sintong Panjaitan. Ia sudah purnawirawan. Salah satu jenderal senior Kopassus yang masih hidup sekarang. Sintong Panjaitan sendiri selama berkarir sebagai tentara, kenyang dengan berbagai operasi militer.

Ia adalah salah satu prajurit Kopassus yang saat itu bernama RPKAD ikut menggebuk gerakan G30S PKI. Kala itu, Sintong masih perwira muda. Dan RPKAD masih dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.

Selain ikut menggebuk PKI. Sintong juga saat baru lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) pernah terjunkan ke belantara Sulawesi memburu kelompok pemberontak Kahar Muzakkar. Dalam bukunya, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang ditulis Hendro Subroto, Sintong banyak bercerita tentang pengalamannya saat diterjunkan ke hutan Sulawesi memburu Kahar Muzakkar.

Salah satu pengalamannya yang menarik dan menegangkan saat memburu Kahar Muzakkar adalah pertempuran tiga hari tiga malam yang dihadapinya di tengah hutan belantara.

Sintong bercerita, kala itu, saat ia dikirim ke Sulawesi, dirinya baru saja lulus dari AMN. Begitu lulus dari AMN, ia langsung ditempatkan di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Ketika itu pangkatnya masih Letnan Dua atau Letda.

Usai mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando Angkatan Darat, di Batujajar dan Kursus Dasar Kecabangan Infanteri di Pusat Pendidikan Infanteri selama empat bulan, Sintong diberangkatkan ke Sulawesi.

Awalnya Sintong ditugaskan sebagai pendamping Komandan Peleton 1 yang saat itu dijabat oleh Pembantu Letnan Satu (Peltu) Djamaluddin Loebis pada Kompi Senapan A. Komandan Kompi Senapan ini adalah Letnan Satu Hanafie. Tapi setelah itu Sintong ditunjuk jadi komandan Peleton 1.

Nah, kala memimpin Peleton 1 itu, Sintong bisa dikatakan prajurit bau kencur. Sebab yang jadi anak buahnya itu rata-rata adalah prajurit yang kenyang dengan berbagai pertempuran. Bahkan ada anak buahnya yang merupakan prajurit angkatan 45 atau pernah terlibat dalam perang melawan Belanda.

Dalam bukunya, Sintong bercerita, Gunung Rantekumbala dan sekitarnya menjadi wilayah operasi pasukan Peleton 1 yang dipimpinnya. Di sekitar Gunung Rantekumbala inilah bercokol kelompok pemberontak DI/TII pimpinan Syamsuddin. Kelompok pemberontak ini rajin menyerang pos-pos TNI.

Sampai suatu ketika, pasukan yang dipimpin Sintong tiba di Talangrilau yang merupakan wilayah dengan medan pegunungan. Kata Sintong, ketika pasukannya hendak mendirikan bivak, tiba-tiba datang serangan dari kelompok pemberontak.

Ketika itu menjelang tengah malam. Menurut Sintong dalam bukunya, serangan pertama terhadap pasukannya terjadi sekitar pukul 23.00 waktu setempat. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan. Peluru berdesingan memecah kesunyian hutan di kegelapan malam.

Sampai kemudian, serangan mereda. Namun ternyata, para pemberontak bukan lari. Karena sekitar pukul 04.00 pagi, musuh kembali melancarkan serangan. Pasukan Sintong pun kembali terlibat dalam pertempuran sengit.

Dan serangan tak berhenti saat subuh itu. Sebab pada siang harinya, musuh kembali menyerang pasukan Sintong Panjaitan. Serangan terus berlangsung sampai malam hari. Bahkan, sekitar pukul 22.00, kelompok pemberontak melakukan serangan besar-besaran. Kali ini, kontak tembak benar-benar terjadi dengan sengitnya.

Tiga malam berturut-turut, kelompok pemberontak melakukan serangan. Pasukan Peleton 1 pimpinan Sintong pun terus melawan, sampai amunisi menipis. Sintong kemudian coba mengontak komandan Kompi A agar dikirim peluru tambahan.

Di dapat jawaban, peluru tambahan pun akan dikirim menggunakan helikopter. Tapi kemudian batal. Untungnya, komandan batalyon lantas memerintahkan Peleton 2 pimpinan Letda Abdulrachman mengirim amunisi tambahan ke Peleton 1.

Padahal, jarak antara Peleton 1 dan Peleton 2, kalau dengan jalan kaki bisa ditempuh dengan waktu berjam-jam. Untungnya di hari keempat, dengan bantuan tembakan mortir, pasukan Sintong berhasil membuat musuh lari kocar kacir. Musuh pun kabur meninggalkan arena pertempuran.

Kata Sintong dalam bukunya, setelah itupasukannya langsung melakukan pembersihan. Dan menjelang matahari terbit, di ketinggian bekas tempat kelompok pemberontak melakukan serangan, pasukannya menemukan banyak ceceran darah. Tidak kenal lelah, meski belum memejamkan mata akibat serangan yang bertubi-tubi, Sintong dan pasukannya segera melakukan pengejaran.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top