Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Borobudur Cartoonist Forum 2017

Ketika Kartunis Indonesia Bercerita dalam Legenda

Foto : istimewa

Pertemuan para kartunis dalam even Borobudur Cartoons Forum yang digelar di Hotel Pondok Tingal Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Pertemuan tersebut mengukuhkan kembali eksistensi kartunis di era digital.

A   A   A   Pengaturan Font

Borobudur Cartoonist Forum (BCF) 2017, yang digelar di Hotel Pondok Tingal Borobudur, Magelang, Jawa Tengah menjadi forum kumpul-kumpul kartunis legendaris.

Penggagas Temu Kartunis, Darminto M Sudarmo mengaku sudah lama berkeinginan mengumpulkan para kartunis baik yang sudah senior maupun anak-anak muda pegiat kartun dan juga peneliti, karena didorong rasa gelisahnya akan perkembangan kartun nasional.

"Padahal Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang pernah menggelar Festival Kartun Internasional, tapi itu pada 1987-88 di puncak kejayaan media cetak nasional. Sampai sekarang dunia kartun seperti makin kelam. Nah, kami tidak mau itu terjadi," katanya.

Darminto adalah salah satu legenda kartunis nasional. Ia mendirikan Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu) saat masih di sekolah menengah pada akhir 70-an. Kokkang yang dipicu Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogya) memicu Yahena SR mendirikan Seccac (Semarang Cartoons Club) yang kemudian mendorong eforia pendirian perkumpulan kartunis di seluruh Indonesia.

Masa-masa itu menjadi masa penuh kenangan manis para kartunis Tanah Air. Darminto yang masih duduk di bangku SMA mendapat wesel rutin dari berbagai media cetak karena karya kartunnya rutin dimuat koran. Puncak karir Darminto terjadi pada 1990 saat ia menjadi Wapimred Majalah Humor (majalah terbesar kartun Tanah Air yang pernah ada) hingga majalah tersebut tutup pada akhir 90-an.

Masa-masa kejayaan koran dan majalah jadi masa puncak kartunis begitu pula dengan menurunnya oplah koran cetak karena perkembangan teknologi digital membuat pamor kartunis turun.

"Kami ingin bersama-sama mencari jalan keluar, kartunis tidak boleh patah semangat. Harus mau belajar lagi dan mencari celah bagaimana bisa tetap berkarya di dunia digital," kata Yahena SR. YK/R-1

Sebagai Haiku Digital

Diinisiasi oleh Seccac dan Kokkang, serta didukung Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia), Pakyo, Pakarso (Paguyuban Kartunis Solo), Perkara (Persatuan Kartunis Rawamangun), Kartans (Kartunis Tandang Semarang), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran) dan Republik Aeng-aeng, BCF ingin melanjutkan tradisi Temu Kartunis Nasional I, yang pernah diadakan pada 1985 di Semarang.

Ratusan kartunis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya dari Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta, Bali, Medan, Makassar, selama 2 hari berdiskusi bersama tokoh-tokoh kartunis Indonesia seperti Pramono R Pramoedjo, GM Sudarta, Dwi Koendoro, FX Subroto, Herry Wibowo, Jitet Koestana, Koes Indarto dan lain-lain.

Kartun, sebagaimana cabang pengetahun yang lain, memiliki berbagai disiplin yang perlu dipetakan kembali jalur-jalur distribusi digitalnya. Karikatur sebagai seni mendeformasi wajah. Editorial atau political kartun, gag kartun atau lelucon, script kartun atau komik, kartun instalasi atau 3 dimensi, dan animasi yang menjadi genre kartun paling komplek dan paling maju di era digital ini.

Di tengah perkembangan media digital yang masif di mana kekuatan pembaca untuk mengunyah kata-kata makin berkurang sehingga gambar yang bisa berbicara kuat menjadi kebutuhan vital, ruang bagi kartunis sebenarnya terbuka lebar. Kartunis musti bisa menunjukkan disiplin yang berbeda dengan kompetitornya yang mengandalkan software gambar berbasis komputer.

"Kartun, dalam satu gambar berbicara jutaan kata. Kedalaman konsep sehingga bisa menghasilkan gambar yang kuat sangat diperlukan," kata Darminto.

Ya, kartun adalah karya haiku (puisi pendek Jepang yang penuh kedalaman makna) dunia digital. Karenanya ia akan terus ada dan maju bersama momentum yang akan datang. YK/R-1

Bangkit dari Kubur

Jitet Koestana, dalam BCF 2017 ini menjadi salah satu inspirasi bagi ratusan kartunis yang hadir dari seluruh Indonesia. Ia berkarir 11 tahun di Kompas, kemudian sukses bermetamorfosa menjadi kartunis dunia digital hingga saat ini. Jitet, menyusun jalan hidup digitalnya dengan rajin mengikuti berbagai kontes kartun yang diselenggarakan negara-negara maju di dunia. Total, ada 130 lebih award yang ia menangkan dan tentu saja mayoritas merupakan penghargaan dan hadiah dari kontes di luar negeri.

"Kuncinya cuma satu kita musti lebih bersemangat bicara tentang masa depan ketimbang romantisme kejayaan koran cetak. Koran cetak tak akan pernah kembali, semua bangkrut, tapi digital maju pesat. Ini peluang besar kita apalagi kalau sudah digital sudah tidak ada batas geografis," terangnya.

Dan Jitet memberi bocoran, ruang dan kemakmuran di dunia digital sebenarnya lebih menjanjikan ketimbang di era cetak. Salah satu buktinya, hadiah yang didapatkan Jitet dari kontes di luar negeri mencapai ratusan juta rupiah.

Selain itu perkembangan pariwisata memunculkan kebutuhan merchandising yang tinggi, kartunis bisa mengambil peluang ini dengan menjual jasa gambar kartun dengan lebih baik dan modern. Lagian, di tengah serbuan software gambar digital, gambar manual masih memiliki nilai lebih di mata konsumen. Kaos oleh-oleh juga butuh pasokan kartun yang kreatif, belum lagi merchandising yang lain seperti mug, pin, kartun 3 dimensi, dan sebagainya.

"Perkembangan digital sangat pesat. Gambar, video, dan suara. Membaca kata-kata di dunia digital tak sekuat ketika era cetak, makanya meme berkembang. Nah itu juga peluang kartunis untuk mendistribusikan karyanya. Desain website, ilustrasi yang kuat, webtoon, banyak sekali," jelas Jitet.

Darminto mengungkap fakta gelap para juru gambar ini, yakni mayoritas gagap teknologi. Kartunis senior bahkan banyak yang tidak bisa email atau mengerti media sosial. Sebagian terlalu pakem pada media 2 dimensi, kertas dan pensil. Kartunis juga jauh dari dunia distribusi karya di era digital.

"Bagaimana dapat duitnya kalau kartunis tidak mengerti. Kalau dulu tinggal gambar, kirim ke koran, dimuat, dikirim wesel. Banyak kartunis pusing dengan era digital ini," katanya.

BCF bertekad membawa semua kartunis bangkit dari kubur. Forum ini akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang. Kabar gembira datang dari Jakarta pada September ini, Darminto M Sudharmo, Denny Satriadi, dan Seno Gumira Ajidharma menjadi 3 pendiri Perpustakaan Humor Indonesia yang berdiri di seputaran Cikini Jakarta Pusat. YK/R-1

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top