Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ancaman Krisis Pangan I Usaha Pertanian di Indonesia Belum Efisien, Biaya Produksi Mahal

Ketahanan Pangan Penting untuk Menjaga Kedaulatan Negara

Foto : ANTARA/Arif Firmansyah

Tingkatkan Kesejahteraan Petani I Sejumlah petani merontokkan bulir padi organik di Agro Eduwisata Organik (Aewo) Mulyaharja, Kota Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Salah satu kunci produksi pangan berkelanjutan adalah dengan meningkatkan kesejahteraan petani.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Para guru besar dari berbagai kampus ternama di Tanah Air menilai ketahanan pangan sangat penting dalam menjaga kedaulatan negara. Hal itu karena ancaman krisis pangan sudah menjadi fenomena global yang harus dihadapi negara-negara di dunia termasuk Indonesia.

Sekretaris Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Indang Trihandini, di Depok, Kamis (18/7), mengatakan begitu banyak hasil penelitian di bidang pangan yang bisa membantu untuk merevitalisasi potensi ketahanan pangan yang modern dan berbasis ilmiah.

"Kajian ini diperlukan untuk memetakan langkah apa saja yang harus dilakukan dalam mengatasi masalah penyediaan pangan di Indonesia," kata Indang dalam webinar bertajuk "Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, Berbagai Permasalahan, dan Usulan Pemikiran" yang dipandu Guru Besar Fakultas Hukum UI, Sulistyowati Irianto.

Selain Indang, seminar juga menghadirkan narasumber Dwi Andreas Santosa dan Suryo Wiyono dari IPB University, serta Subejo dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketiganya membahas berbagai permasalahan penyediaan pangan dan solusi/ gagasan untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.

Dwi Andreas dalam kesempatan itu menyoroti permasalahan di sektor pertanian dan pangan dalam sepuluh tahun terakhir. Menurut dia, kedaulatan pangan yang menyejahterakan petani dapat ditempuh melalui re-orientasi ekonomi-politik kedaulatan pangan, yakni pembangunan pertanian berbasis petani kecil (small-scale farmer based agricultural development).

Untuk itu, kunci produksi pangan berkelanjutan adalah peningkatan kesejahteraan petani dengan tetap mempertahankan Pulau Jawa sebagai lumbung pangan, diversifikasi, dan produktivitas. Menurut Subejo, kedaulatan pangan negara bukan hal yang bisa ditawar.

Salah satu contohnya adalah Singapura yang selama bertahun-tahun menjadi juara 1 untuk food security. Meskipun tidak memiliki sawah dan kebun, tetapi dengan kemampuan finansialnya, Singapura mampu membeli pangan dari seluruh dunia. Kendati demikian, saat pandemi, pasar sangat sulit menerima stok barang.

Banyak negara lebih mementingkan stok barang sendiri daripada menjualnya ke pasar internasional, sehingga meski memiliki banyak uang, Singapura tidak dapat mengakses pangan dengan baik sebagaimana saat kondisi normal. Saat ini, ada enam komoditas pangan Indonesia yang bergantung pada impor, yakni gandum, gula, garam, kedelai, jagung, dan bawang putih.

Adapun untuk beras berasal dari padi sawah (95 persen) dan padi gogo/lahan kering (5 persen), dengan sebagian besar (55,87 persen) diproduksi di Pulau Jawa. Seluruh usaha pertanian Indonesia belum efisien dan memakan biaya produksi yang lebih mahal dibandingkan Filipina, Tiongkok, India, Thailand, dan Vietnam. Selain itu, Indonesia juga menjadi negara dengan food loss terbesar kedua di dunia, yakni 300 kilogram per orang per tahun.

Dengan mencermati fakta tersebut, Suryo Wiyono menekan pentingnya membangun infrastruktur produksi yang diimbangi dengan edukasi pada masyarakat. Perluasan areal tanam perlu dilakukan dengan tetap memperhatikan empat pilar pengembangan lahan pangan. Adapun pemanfaatan teknologi juga diperlukan untuk menghasilkan beragam varietas padi dan menciptakan sistem terintegrasi untuk menghemat biaya produksi.

Pendidikan dan pelatihan harus diberikan kepada petani agar mereka dapat beradaptasi terhadap perubahan. Selain itu, kebijakan dari kelembagaan diperlukan untuk mendorong penerapan inovasi pertanian, terciptanya sinergi pusat dan daerah, serta tersedianya rumah belajar petani.

Kerja Sama

Pada kesempatan lain, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan pihaknya sudah memiliki banyak hasil riset di bidang pertanian yang telah terbukti dapat mendukung ketahanan pangan.

"Di UGM, kami memiliki berbagai hasil penelitian yang tidak hanya membantu meningkatkan produksi dan efisiensi pertanian, tetapi juga mendorong penerapan teknologi modern yang berbasis ilmiah. Misalnya, pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan serangan hama, serta metode budi daya yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan," katanya.

Kerja sama antara lembaga penelitian, pemerintah, dan masyarakat sangat penting untuk merevitalisasi potensi ketahanan pangan yang modern dan berbasis ilmiah. Dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian ini, kita dapat meningkatkan kemandirian pangan nasional, mengurangi kebergantungan pada impor, dan pada akhirnya mencapai kedaulatan pangan.

Ketahanan pangan, jelasnya, adalah fondasi bagi kedaulatan negara. Tanpa ketahanan pangan, negara akan selalu bergantung pada impor dan rentan terhadap fluktuasi harga pangan global. Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan akses pengetahuan dan teknologi memang menjadi kebutuhan petani, terutama pengetahuan praktis yang bisa dilakukan dengan sumber daya yang dimiliki petani.

Qomar pun berharap penelitian para akademisi bisa dimulai dari permasalahan pada petani, baik permasalahan teknis produksi, kelembagaan, maupun distribusi, sehingga bisa terhubung langsung dan hasil penelitian menjadi solusi untuk petani.

"Mengapa demikian, supaya penelitian itu tidak berjalan terpisah dengan masalah petani, tetapi harus menjawab persoalan riil di lapangan sehingga memberi manfaat secara langsung," katanya. Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan pekerjaan rumah di sektor pertanian masih banyak, di antaranya faktor input seperti pupuk, bibit, dan lain sebagainya masih kurang. Begitu pula dengan infrastruktur yang masih kurang dan modal yang terbatas. "Kalau mau memperbaiki dan menciptakan kedaulatan pangan, harus memberi solusi atas masalah tersebut," kata Esther.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top